Kamis, 03 Maret 2016

* Seharian Menyusuri Kota Mataram (Bagian-2)

Pantai Senggigi
Menyusuri Senggigi, Legiannya Lombok

KALAU mau mencari hiburan di Lombok, datanglah pada malam hari ke Senggigi. Semua jenis hiburan ada di sini. Bisa dibilang, Senggigi adalah Legian yang ada di Lombok. Sayang, Tribun menyambanginya saat siang.

Perjalanan menuju Senggigi dengan sepeda motor dari Kota Mataram memakan waktu sekitar 45 menit. Cukup melelahkan memang. Namun driver mengajak Tribun melewati jalan-jalan alternatif, keluar masuk kampung hingga kawasan pertanian, sehingga tidak membosankan.

Begitu memasuki kawasan Senggigi, semilir segarnya angin laut menerpa wajah. Sejauh mata memandang, hanya hamparan pasir putih kecokelatan dan laut yang membiru. Jalan aspal mulus berliku, naik turun di hijaunya dinding perbukitan, kian mengundang decak kagum.

Dari Jl Raya Senggigi, ada banyak pintu masuk menuju bibir pantai. Pengujung bisa masuk dari sisi mana saja dan tidak dipungut bayaran, kecuali tiket parkir seharga Rp 5 ribu. Meski menjadi tempat wisata terkenal di Lombok, ternyata Pantai Senggigi, terlihat biasa saja.

Dia tidak seindah dan sebesar Patai Kuta, Bali. Hanya ada beberapa perahu tradisional yang bersandar. Di sepanjang pantai terlihat warung-warung milik warga sekitar, termasuk warga Suku Sasak, yang menjual aneka makanan dan minuman.

Yang paling terkenal adalah Sate Bulayah. Harganya Rp 12 ribu per porsi untuk sate ayam dan sapi. Bulayah sendiri dalam bahasa setempat berarti lontong. "Sehari bisa dapat Rp 800 ribu kalau lagi ramai. Kalau sepi seperti sekarang paling besar Rp 300 ribu," ucap Patmawati (17).

Warga asli Suku Sasak ini mengaku berjualan bersama ibunya, yang mengais rezeki di Senggigi selama 25 tahun. Di sudut lain, terlihat sejumlah wisatawan mancanegara tengah asyik snorkeling. Sebagian lainnya duduk-duduk santai di steigher yang dibangun menjorok ke tengah pantai. Satu di antaranya Roy Hendersen (30), turis asal Kanada.

Roy datang bersama dua rekannya asal Yogyakarta yang juga dua bersaudara, Vivi (30) dan Ryan (24). Sepintas Roy lebih mirip turis asal Tiongkok atau Singapura karena matanya yang sipit. "Masih alami ya pantainya. Masih perlu sentuhan di sana- sini. Di luar itu, semuanya, ok," kata Roy dalam bahasa Inggris.

Roy mengaku baru tiba di Lombok dan langsung ke Senggigi. "Satu lagi. Di sini, saya kesulitan menemukan fasilitas air hangat di kamar kecil. Tidak seperti di Thailand dan Malaysia," ujar Roy memberi masukan.
Vivi menambahkan, harga di Senggigi lumayan mahal.

Terutama untuk jasa penyebarangan. "Kami dimintai Rp 150 ribu, hanya untuk menyeberang yang waktunya hanya sekitar 3 menitan. Itu terlalu mahal. Kami seperti dirampok," ucap Vivi.

Vivi yang kecewa, segera bergegas karena mereka sudah ditunggu jemputan untuk menuju Gili Trawangan. Wisatawan lainnya, Morgan (45), yang datang bersama istrinya, Michelle (43), mengaku telah mendengar pesona Senggigi pada malam hari.

Karena itulah, mereka menyempatkan diri mendatangi Senggigi. "Siang kami jalan-jalan, lihat pantainya. Sebenarnya, tujuan kami ingin mencari hiburan. Katanya, tempat nongkrong di sini bagus-bagus," kata Morgan, wisatawan asal Australia.

Morgan dan istrinya sudah memesan kamar di Graha Beach Senggigi. Seperti layaknya Kuta, Bali, ratusan hotel memang juga menjamur di Senggigi. "Sejak 90-an, Senggigi telah dikenal sebagai obyek wisata. Saat itu, baru ada satu hotel di sini, yaitu, Senggigi Beach Hotel. Sekarang, jumlahnya ratusan," kata Kepala Unit Pelaksana Dinas Teknis (UPDT) Pelabuhan Senggigi, Iskandar Zulkarnaen.

Ditemui di kantornya, Iskandar menjelaskan pada saat high seasson, pengunjung Pantai Senggigi bisa mencapai 2 ribu orang per hari. Tepatnya pada bulan Juli hingga September tiap tahunnya. Melihat kondisi Pantai Senggigi, Tribun sempat menyimpulkan jangan-jangan, wisatawan berkunjung bukan karena semata pantainya, namun karena hiburan malamnya. "Benar. Baru kali ini saya ketemu seseorang, yang bisa langsung menyimpulkan bahwa Senggigi bukan menjual pantai. Melainkan dunia malamnya," puji Iskandar.

Ia memaparkan, kehidupan di Senggigi menggeliat pada malam hari. Aneka bar, pub, karaoke, kafe, dan berbagai tempat nongkrong lainnya buka sejak senja meredup hingga fajar menjelang. "Khusus hiburan semua ada di sini. Pernah ke Legian, Bali? Nah, Sentral Senggigi ini seperti Legian," ujar Iskandar.

Meski menjadi pusat hiburan malam, sepengetahuannya tidak pernah terjadi keributan. Wisatawan yang datang, baik lokal maupun mancanegara, bisa menghibur diri sampai pagi, tanpa gangguan. "Alhamdulillah. Aman-aman saja selama ini. Keadaan dijamin kondusif," tegas lelaki berkacamata yang telah bertugas sejak empat tahun lalu ini.

Meski mayoritas menggeliat pada malam hari, namun sejumlah toko, kafe, dan mini market, buka juga pada sing hari. Satu di antaranya tempat penyewaan alat-alat menyelam, Blue Coral Diving. "Memang di sini banyak tempat party, dugem. Banyak klub malam. Yang terkenal itu Sahara dan Marina," kata Pengelola Blue Coral Diving, Neo (28).

Meski banyak turis datang untuk menikmati party, namun ada juga yang memilih diving. Lokasi favorit diving menurutnya adalah Gili Trawangan, Gili Air, dan Gili Meno. "Untuk Introdite atau pemula Rp 1 juta per orang untuk dua kali diving karena didampingi mentor. Untuk yang punya lisensi, Rp 850 ribu per orang.
Namun, soal harga bisa dibicarakan. Apalagi jika dalam partai banyak," papar Neo.

Usai menikmati pesona Senggigi, Tribun memilih kembali ke Mataram. Selama perjalanan pulang, ada armada angkutan rakyat yang cukup menyita perhatian. Namanya, Cidomo. (hasyim ashari/bersambung)

Tidak ada komentar: