Kamis, 25 Desember 2008

Rumah Tanpa Huruf R

Saat kecil dulu, kalau berkelahi dengan teman sepermainan saya sering diolok. Bahan olok-olokan itu pula yang memancing perkelahian semakin menjadi-jadi. Tidak jarang yang berakhir dengan baju robek, atau wajah membiru. Atau setidaknya menangis tersedu.

Bocah yang paling suka mengolok saya adalah Kubil. Nama aslinya adalah Hardi. Rumah kami hanya dibatasi kebun langsat dan rambutan. Disebut Kubil karena meski orang Betawi asli, matanya sipit. Persis tokoh kartun Kubil di Harian Pos Kota.

Hampir setiap hari, apalagi kalau dia kalah main sepakbola, Jaban, atau Tojo. Senjata pamungkasnya pasti keluar. "Cadel, cadel, cadel!!" begitu dia menghardik saya.
Saya kemudian membalasnya dengan mengatakan "Congek woii congek!"
Seperti halnya saya, Kubil juga punya kekurangan. Dari telinganya mengeluarkan cairan berwarna putih kekuningan yang beraroma tidak sedap. Kalau sudah saling ejek begitu, selanjutnya pasti baku hantam.

Begitulah. Jujur saya merasa minder karena lidah saya pendek. Jadi, tidak bisa mengucapkan huruf R. Perasaan itu masih tumbuh saat saya di SMP dan SMA. Apalagi, setiap Senin atau Sabtu, saya kerap diminta jadi Pemimpin Upacara Bendera. Atau minimal membaca UUD 1945.
"Kepada pembina upacala, holmat glakk!" begitu kira-kira.

Saya sedikit terhibur karena di kampung saya ada anak Jakarta yang baru pindah. Satu keluarga, mereka tidak bisa menyebut huruf R. Bahkan, kalau berbicara yang mereka sebut huruf L bukan R. Ternyata, ada yang lebih parah. Dari sana saya mulai kritis. Karena, Babeh, Enyak, dan ketiga adik saya bisa melafalkan R dengan baik. Artinya, cadel bukanlah keturunan.

Dari sejumlah referensi, cadel adalah ketidakmampuan mengucapkan satu huruf unik. Umumnya huruf R. Meski ada juga sebagian orang yang justru bisa menyebut huruf R namun cadel untuk huruf lainnya. Orang Jepang misalnya, kebanyakan cadel pada huruf L.

Cadel sendiri dibedakan menjadi dua, yaitu cadel karena faktor psikologis dan cadel karena faktor neurologis. Cadel yang disebabkan faktor neurologis berarti disebabkan adanya gangguan di pusat bicara.

Untuk mengatasinya, mereka (umumnya anak) dengan gangguan ini harus segera dibawa ke neurolog. Pada prinsipnya, gangguan ini masih bisa ditangani. Namun bila kerusakannya termasuk parah, bukan tidak mungkin akan terbawa sampai dewasa.

Cadel yang kedua adalah cadel yang disebabkan faktor psikologis. Karena kehadiran adik, contohnya, maka untuk menarik perhatian orang tua, anak akan menunjukkan kemunduran kemampuan bicara dengan menirukan gaya bicara adik bayinya.

Untuk mengatasinya, orang tua harus menunjukkan bahwa perhatian padanya tidak akan berkurang karena kehadiran adik. Selain itu, orang tua juga harus terus mengajak anak bicara dengan bahasa yang benar, jangan malah menirukan pelafalan yang tidak tepat. Pada kasus yang parah, dianjurkan membawa anak ke ahlinya agar bisa tergali apa masalah yang melatarbelakanginya.

Singkat cerita, saya terkena cadel neurologis dan terbawa hingga dewasa. Layaknya orang dewasa, saya membutuhkan pendamping hidup. Sungguh tak dinyana, perempuan yang saya nikahi, Mina, juga tidak fasih melapal huruf R. Bahkan, kadarnya lebih parah dari saya. Kalau lagi iseng saya sering menggodanya, juga sebaliknya.

Setahun setelah menikah, kami dianugerahi bocah mungil Bagas Kusuma Wardhana. Saat lahir, selain nama, apalagi yang dipikirkan kalau bukan jangan-jangan Bagas juga tidak bisa bisa menyebut huruf R. Kekhawatiran itu makin memuncak saat Bagas belajar bicara, huruf S, ,N, dan huruf R-nya tidak karuan. Huruf lainnya, vokal kah atau konsonan bisa ia serap dengan baik dan mengucapkannya dengan baik pula.

Sebelum kehadiran Bagas, saya dan istri kalau tidak terpaksa, sangat jarang menyebut kata yang ada huruf R-nya. Begitu Bagas mbrojol ke muka bumi, kami tambah jarang menyebutnya. Khawatir kalau Bagas ikut-ikutan.

Jadilah, nyaris selama empat tahun ini, di rumah kami jarang sekali terdengar ada huruf R diucapkan. Kami terus merangsang Bagas agar bisa menyebut huruf R, S, dan N. Saat umurnya, 2 tahun tujuh bulan, dia mengalahkan huruf S dan N. Tapi, tidak untuk huruf yang kami takuti, R. Dia masih saja cadel. Jangan-jangan....jangan-jangan...kami sudah berpikiran buruk saja. Karena memang hampir menyerah.

Saya kemudian coba berimprovisasi, tanpa konsultasi ke psikolog, bagaimana agar bagas sukses menaklukan huruf R. Di antaranya dengan membelikan VCD lagu-lagu pop dewasa dan sebuah lap top mainan yang mengajarkan mengeja huruf dan angka.

Di luar itu, kami memberikan keleluasaan Bagas untuk bermain sesukanya. Termasuk dengan anak- anak yang usianya lebih tua. Jujur, dia lebih banyak belejar mengenal sendiri, terutama huruf R.


Hasilnya, sungguh di luar dugaan. Dua pekan lalu, Bagas sudah bisa menyebut hurur R dengan baik. Saking senangnya, kadang kami membuatnya jengkel. Misalnya, ketika menyebut kata kamar. Kami kerap melontarkan pertanyaan terbuka dan berulang-ulang.

Misalnya, Bagas tadi sembunyi di mana?
Dia menjawab, "Di kamar,"
"Dimana? " tanya saya lagi.
"Di kamar," katanya.
"Maaf Gas, Ayah tidak dengar,"
"Di kamar Ayah. Makanya perhatiin kalau Bagas lagi ngomong," ujarnya geram.

Aku dan istriku tersenyum lebar.
Alhamdulillah..Bagas tidak cadel. Tidak seperti Ayah dan Bundanya. Kini, setelah hampir empat tahun, akhirnya ada huruf R di rumah kami. Duh...Senangnya bukan main! Padahal, kami hanya dikasih huruf R.

Kamis, 18 Desember 2008

Muda-Andreas Cetak Sejarah


*Kemenangan Ketiga Calon Independen

Saya masih ingat betul, pengamat politik Fachry Ali, sempat berujar saat mengomentari kemenangan Irwandi Yusuf yang menangi Pemilu Gubernur Nanggroe Aceh Darussalaam (NAD), pada 11 Desember 2006.

Irwandi dan Muhammad Nazar adalah pasangan calon independen. Mereka mengantongi 38,20% suara sekaligus mengalahkan pasangan Golkar malik Raden-Sayed Fuad Zakaria dan kandidat dari PPP Ahmad Humam Hamid-Hasbi Abdullah.

"Kasus Irwandi Yusuf itu langka. Belum pernah ada kejadian sebelumnya calon independen menang. Di negara-negara yang mengakomodir calon independen dalam undang-undangnya, mungkin kemenangan calon independen NAD ini adalah baru pertama kali di dunia," kata Fachry Ali.

Tampaknya, pengamat dari LIPI itu harus segera meralat ucapannya. Sebab, Oktober 2008, sejarah kemenangan calon independen terulang untuk kedua kalinya. Kali ini, giliran pasangan OK Arya Zulkarnain-Gong Matua Siregar yang memenangi Pemilu Bupati Batubara, Sumatera Utara.

Keduanya mengantongi 34,67 persen suara. Unggul atas pesaing terdekat psangan Yahdi Khoir Harahap-Surya yang diusung PAN dan Golkar.

15 Desember 2008, pencapaian cemerlang calon nonpartai politik juga mewarnai Pemilu Bupati Kubu Raya, Kalimantan Barat. Pasangan independen Muda Mahendrawan-Andreas Muhrotien tidak tergoyahkan meski pemilihan harus dua putaran.

Keduanya mengalahkan Pasangan Sujiwo-Sapta Oktohari yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI P) dengan perbandingan suara 123.448 dan 91.539. Dengan begitu, berarti sudah tiga pasangan calon Independen yang memenangi pemilihan kepala daerah di Indonesia sejauh ini.

Terlepas dari berbagai faktor, saya hanya ingin mencermati bagaimana Irwandy Yusuf, OK Arya Zulkarnain, dan Muda Mahendrawan membetot perhatian masyarakat.

Irwandi Yusuf adalah cerdik pandai dibalik upaya perdamaian di Aceh. Selain ditunjuk sebagai senior Representative GAM (TNA) untuk Misi Pemantau Aceh (AMM), ia juga dipercaya petinggi GAM di Swedia sebagai Koordinator Juru Runding GAM. Saat rapat pertama di Aceh Monitoring Mission, dia tampil sebagai koordinator Juru Runding GAM di Aceh (2001-2002).

sementara Oka Arya dan Muda Mahendrawan, gigih berupaya memekarkan wilayah masing-masing. Oka memperjuangkan Kabupaten Batubara lepas dari Kabupaten Induknya, Asahan. Sementara Muda Mahendrawan begitu mengakar karena kukuh mengusung pemekaran Kabupaten Pontianak menjadi Kabupaten Kubu Raya.

Kemenangan calon independen sebenarnya bukan barang baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Pada 1955, Indonesia pernah mengakui M Hasan yang duduk sebagai anggota legislatif dari luar partai politik. Untuk partai, Indonesia juga sempat terhenyak saat Partai Dayak menang di Kalimantan.

Bukti sejarah itu pula yang menegaskan sesungguhnya calon independen memiliki akar dalam sejarah ketatanegaraan negara kita.

Tapi, tetap saja kemenangan ketiga pasangan calon independen di atas menimbulkan perbincangan hangat di masyarakat. Teman-teman ngopi saya sempat mempertanyakan apa yang sesungguhnya terjadi dengan mesin-mesin partai politik?

Kurang besar apa PDI P dan Golkar di Kubu Raya? Kurang kuat bagaimana PAN, Golkar, dan PPP di Aceh?

Mustahil mereka tidak bergerak. Apalagi, tiap partai memiliki hierarki kepengurusan dan basisi massa yang jelas. Dan, paling mungkin digerakkan menjadi mesin penghimpun suara terefektif. Karena, umumnya mereka loyal terhadap pengurus partai yang lebih tinggi.

Inilah, meminjam istilah mantan Ketua MPR, Amien Rais, sebuah pelajaran berharga bagi partai politik. Betapa kehadiran calon independen membuat oase di tengah hujatan dan kurang berwibawanya partai politik akhir-akhir ini.

Partai-partai lebih sering sibuk dengan dirinya sendiri. Mereka sepertinya membicarakan kepentingan publik, tapi hanya di awal, untuk kemudian rakyat hanya menjadi bahan tawar-menawar kekuasaan. Mereka sepertinya sibuk memperhatikan konstituen, tapi hanya saat-saat pemilihan umum untuk akhirnya mereka lupakan.

Lihat saja, bagaimana partai politik berkecenderunan untuk menjadi oligarki karena seringkali kurang mengkonsultasikan pencalonan seseorang melalui partai dengan konstituennya. Partai sekadar menjadi
juri untuk meloloskan seseorang menjadi calon kepala daerah.

Kehadiran calon independen sebetulnya merupakan mekanisme kontrol terhadap partai-partai politik.
Namun demikian, partai-partai politik tidak perlu takut menyikapai fenomena ini, selama memiliki manajemen yang baik dan bertanggung jawab kepada konstituennya. Dan mereka mengembalikan fungsi sebagai organisasi yang mengartikulasikan kepentingan publik.

Memang calon independen ini lebih pas dipakai dalam pemilihan kepala daerah dibandingkan dalam pemilihan presiden. Tetapi, siapa yang bisa menyangka. Gubernur Aceh sudah, Bupati Batu-bara sudah. Bupati Kubu Raya sudah. Presiden Indonesia, mungkinkah?

Pengalaman di Amerika Serikat memperlihatkan sulitnya calon independen menang dalam pemilihan presiden. Sepanjang sejarah negeri Paman Sam itu, hanya George Washington yang bisa menjadi presiden tanpa lewat partai. Apalagi ada mekanisme pemilihan pendahuluan guna menentukan calon partai dalam pemilihan presiden untuk menjamin aspirasi rakyat.

Tak pelak, calon independen seperti Ross Perot atau Ralph Nader, hanya menjadi semacam penggembira. Walaupun mereka punya banyak uang. Di tataran politik lokal, calon independen memang bisa menang meski sepanjang sejarah, baru tiga gubernur nonpartai yang terpilih.

Terakomodirnya calon Independen tidak terlepas keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang mengabulkan yudicial review pasal 59 UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pilkada. Isinya calon perseorangan dibolehkan ikut berlaga dalam pemilihan kepala daerah dengan memerhatikan ketentuan pasal 58 UU Pemda melalui mekanisme yang demokratis dan transparan.

Di luar itu, hakikat demokrasi adalah kesetaraan semua warga untuk mendapatkan hak mereka. Tak ada yang diistimewakan, tak ada pula yang dikekang, termasuk soal hak dipilih. Inilah makna yang pantas digarisbawahi dari keputusan Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan keputusan itu, kini kandidat kepala daerah tak perlu mendapat dukungan partai untuk berlaga di ajang pemilihan kepala daerah.

Itulah fakta demokrasi kita. Publik tidak bodoh. Mereka punya mekanisme sendiri untuk menolak hegemoni partai. Ketika partai tidak lagi merepresentasikan konstituennya, mereka memilih untuk tidak memilih atau mencoblos calon independen, seperti yang terjadi di Aceh, Batubara, dan Kubu raya. Fenomena maraknya golongan putih dan populernya calon independen seharusnya menjadi pelajaran bagi partai-partai.

Hadirnya calon independen tidaklah berarti menyingkirkan peran partai. Demokrasi yang sehat tetap membutuhkan partai, karena di sinilah mekanisme rekrutmen calon pemimpin yang lebih teratur bisa berjalan. Partai juga diperlukan untuk menyederhanakan konflik politik dalam masyarakat.

Tugas partai-partai politik sekarang adalah bagaimana agar mereka mampu memperkecil kesenjangan antara harapan publik dan peran yang dijalankan partai. Bila kesenjangan itu teratasi, calon independen dengan sendirinya tak akan banyak mendapat pendukung.

Minggu, 14 Desember 2008

Wajah Sastra Kalimantan Barat

Diambil dari http://dedyariasfar.blogspot.com
Posting: Jumat, 15 Agustus 2008, pukul 07:12

Perkembangan sastra di Kalimantan Barat satu tahun terakhir ini menunjukkan gairah yang menggembirakan. Surat kabar lokal mulai giat memberi ruang kepada peminat sastra untuk mengapresiasikan naluri seni sastra mereka.

Bahkan surat kabar lokal dapat dikatakan telah menjadi barometer sejarah sastra di Kalimantan Barat. Hal ini tentu akan sangat baik jika itu terus terjadi, artinya surat kabar lokal secara konsisten menyediakan kolom tersendiri untuk para peminat sastra dan sebaliknya para peminat sastra pun dapat memanfaatkan peluang yang disediakan dengan bersungguh-sungguh.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa periodesasi sastra di Kalimantan Barat, salah satunya dapat dilihat melalui surat kabar lokal. Berdasarkan hal tersebut, tulisan ini akan mengungkapkan bagaimana sejarah awal perkembangan sastra di Kalimantan Barat dan situasi sastra berdasarkan terbitan surat kabar lokal Pontianak dan implikasinya bagi perkembangan sastra di Kalimantan Barat.

Pengantar
Kalimantan Barat merupakan merupakan satu daerah di wilayah Nusantara yang menyimpan kesan menarik mengenai tradisi sastra. Tercatat, pada Abad ke-19, tercipta syair-syair sejarah yang sangat berkesan dengan untaian kata-kata indah, yang bercerita tentang Kalimantan Barat dan masyarakatnya, misal Syair Pangeran Syarif dan Syair Perang Cina Monterado.

Syair Pangeran Syarif berlatarkan waktu 27 Muharam 1313 Hijrah, bertepatan dengan 7 Juli 1895 Masehi. Sultan Matan dari Ketapang menulis sebuah syair yang mengungkapkan pengalaman, pikiran, dan perasaannya setelah sembilan minggu berada di Pontianak; dari bulan pertama bulan Zulkaedah 1312 Hijrah hingga 13 Muharam 1313 Hijrah, dan tiba kembali ke Matan pada 18 Muharam 1313 Hijrah.

Syair ini menceritakan tentang Pontianak dan sultannya serta peran kolonial dalam pemerintahan kesultanan Pontianak (Arena Wati 1989). Sedangkan syair Perang Cina Monterado membicarakan kehidupan sosial, sejarah kedatangan, dan penempatan orang-orang Cina di Monterado serta pertempuran hebat yang terjadi pada tahun 1853 s.d. 1854 Masehi di Monterado.

Sebab-sebab pemicu perang dan prilaku ekonomi masyarakat Dayak dan Melayu dalam interaksinya dengan orang-orang Cina di Monterado pun tergambarkan dengan cukup baik melalui bait-bait syair ini (Arena Wati 1989:39).

Gambaran mengenai kehidupan masyarakat Kalimantan Barat di atas jelas terungkap dengan memanfaatkan sastra sebagai wujud apresiasi dan pemberitaan. Sastra dijadikan sebagai “surat kabar atau majalah” untuk menginformasikan segala macam peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat pemilik tradisi sastra tersebut. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan, sekarang ini—koran atau surat kabar menjadi sarana aktualisasi diri pengarang dalam memperkenalkan karya tulis mereka agar dapat diapresiasi oleh khalayak atau penikmat sastra.

Peran strategis surat kabar dalam mempopulerkan sastra, sudah lama dimanfaatkan oleh para pelaku seni sastra di Nusantara. Bahkan di Kalimantan Barat, periodesasi sejarah sastra dapat dinilai dan dilihat melalui karya-karya yang pernah terbit dalam surat kabar dan majalah, misal Yusakh Ananda dan Munawar Kalahan yang memanfaatkan media massa cetak untuk mengapresiasikan kemampuan dan kepiawaian mereka dalam berkarya dan menghasilkan karya sastra di awal-awal tahun 1950-an.
Oleh karena itu, perbincangan dalam tulisan ringkas ini membahas karya sastra yang muncul di harian Ap.Post dan Equator sebagai representasi wajah sastra Kalimantan Barat di Pontianak.

Sejarah Kepengarangan di Kalimantan Barat
Perkembangan kesusastraan Indonesia, secara resmi telah dimulai pada saat Komisi Bacaan Rakyat (Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur) didirikan pada tahun 1908. Bahkan A Teeuw menunjuk angka tahun 1920 sebagai lahirnya kesusastraan Indonesia modern.

Gagasan ini mulai digugat ramai sarjana, diantaranya adalah Ibnu Wahyudi, yang berpendapat bahwa sastra Indonesia modern dimulai pada 1870-an, yang ditandai dengan terbitnya puisi Sair Kedatangan Sri Maharaja Siam di Betawi.[1] Sarjana lain yang juga tidak setuju dengan angka tahun 1908 dan 1920 sebagai tonggak awal sastra Indonesia modern adalah Maman S.

Mahayana, walaupun beliau tidak menyebutkan angka tahun yang pasti, kapan lahirnya sastra modern di Indonesia. Namun, Maman S. Mahayana berpendapat bahwa banyak karya sastra yang bertebaran di media massa pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang tidak dianggap atau diperhitungkan dalam menandakan lahirnya sastra Indonesia modern (Mahayana 2005:411).

Para pakar sastra mengabaikan karya-karya penting yang muncul dalam surat kabar dan majalah. Kalau kita menyimak pendapat Teeuw dan Ajip Rosidi kelahiran kesusastraan Indonesia modern hanya berdasarkan karya-karya yang dipublikasikan sebagai buku. Karya yang terbit dalam majalah dan surat kabar tidak dianggap dan cenderung ditenggelamkan (Mahayana 2005:392).

Kesusastraan modern di Kalimantan Barat dimulai perkembangannya oleh penyair dan penulis cerpen di majalah-majalah. Perkembangan awalnya dapat dilihat melalui karya-karya Yusakh Ananda dan Munawar Kalahan sekitar tahun 1950-an di majalah Siasat dan Kisah. Munawar Kalahan pada tahun 1950 telah menerbitkan puisinya di majalah Siasat dengan judul “Riwayat Sedih”, kemudian Yusakh Ananda menerbitkan cerpennya di majalah Kisah pada tahun 1953 dengan judul “Kampungku yang Sunyi”.

Dua pengarang dari Kalimantan Barat ini kemudian semakin menyemarakkan panggung sastra nasional—maraknya karya-karya mereka terbit di sejumlah media nasional lainnya di era 1950-an, seperti Mimbar Indonesia, Seni, Zenit, Indonesia, Fantasi, Aneka, dan Duta Suasana membuat mereka semakin dikenal.[2]

Kepengarangan Munawar Kalahan dan Yusakh Ananda di media-media nasional selanjutnya diikuti oleh pengarang Kalimantan Barat lainnya dengan berkiprah melalui siaran sastra dengan nama “Gelanggang” di Radio Republik Indonesia Cabang Pontianak, seperti Slamet Muslana, M.Nazirin Ar, Abdul Madjid Ar, Asfia Mahyus, A. Muin Ikram, Soesani A. Is, M. Siri R, Maria Manggala, Ibrahim Abdurrahman, H. Bustani HA, Gusti Mohamad Mulia, Alydrus, Bey Acoub, Zainal Abidin, H.A, Heri Hanwari, MS Efendi, dan Delly Ananda.

Selanjutnya beberapa dari mereka ini mendirikan kelompok pengarang Taratak Lima. Kelompok Taratak Lima selanjutnya menjadi Yayasan Taratak Lima dengan maksud menghimpun dan mempersatukan seniman dan budayawan Kalimantan Barat.[3]

Selanjutnya pada era tahun 1980 s.d. 1999 kesastraan Kalimantan Barat diramaikan lagi dengan pengarang baru seperti Khairani, Hartisani, Sulaiman Pirawan, Satarudin Ramli, Harun Das Putra, Efendi Asmara Zola, A.S Fan Ananda, Mizar Bazarvio, Odhy’s, dan Yudhiswara.

Dalam perkembangan selanjutnya muncul juga beberapa pengarang muda, seperti Meyzar Syailendra, Pradono, Aspan Ananda, Mulyadi, Abdullah, Syaza Kayong, Chandra Argadinata, Uray Kastarani HAs, Cipto Gunardi, Ibnu Hs, Nuriskandar.[4]

Sekitar tahun 1983, periodesasi sastra di Kalimantan Barat dimarakkan dengan hasil karya M. Yanis. Pada tahun 1983 beliau memulai kiprahnya dalam dunia penulisan di Kalimantan Barat dengan menerbitkan sebuah novel sejarah perjuangan di Kalimantan Barat dengan judul Kapal Terbang sembilan. Novel ini pernah diterbitkan secara bersambung oleh surat kabar Akcaya pada akhir tahun 1979 s.d. awal tahun 1980. Selanjutnya, pada tahun 1998 M.

Yanis menerbitkan lagi sebuah novel sejarah dengan judul Djampea. Beliau juga masih menyimpan sebuah novel sejarah yang belum sempat diterbitkan yang ia beri judul Bukit Kelam di Hulu Melawi. Karya-karya M. Yanis sangat menggembirakan para peminat sastra dan sejarah di Kalimantan Barat. Bahkan sampai saat ini, belum ada satu pun pengarang Kalimantan Barat yang berhasil menjadi penulis produktif—yang menghasilkan beberapa novel dalam periode 1980 s.d.1990-an selain M. Yanis (Dedy Ari Asfar 2006).

Era 2000-an, kepengarangan Kalimantan Barat semakin dimarakkan dengan pendatang-pendatang baru yang masih muda. Mereka menerbitkan hasil karyanya di beberapa media lokal, seperti Pontianak Post dan Equator. Para pengarang muda pendatang baru ini diantaranya adalah Diah Ekawati, Andini Yulina P, Eko Akbar Setiawan, Naszahwatie, Mr. Toem, Heronimus Ragen, Budiman Rahman, Tan Tjian Siong, Wina Kuspriantie, Rosa Feliana Tanaya, A.Muin.D.Achmadi, Aris Kurniawan, Hasyim Ashari, Andrian Nova, Rahmayanti Husna, Afifi Titasahara, Kartika P, Mufidah, Irin Sintriana, Andi Nuradi, Elisa Chandra, Yosaria Elza, Wisnu Pamungkas, Hamdy Salad, Nur Iskandar, Yovita, Ahmad Asma dZ, Saifun Salakim, Laut, Pay Jarot Sujarwo,[5] Phazt Alexandra, Anastasia Nuri Indah, Amrin Z.R, Eko Amriyono, Yusuf Arifin, dan lain-lain. Beberapa diantara mereka bahkan ada yang menerbitkan antologi cerpen dengan judul Titik Nol yang ditulis oleh Pay Jarot Sujarwo, Yovita, dan Amrin Z.R. Bahkan ada pengarang pemula lainnya yang telah menerbitkan novel, yaitu Anthony Ventura dengan judul Crazy Campus.[6]

Dari Lisan Menuju ke Surat Kabar
Tradisi sastra di Kalimantan Barat lebih dominan dalam bentuk sastra lisan. Keberlisanan menjadi ciri yang umum dalam tradisi sastra di kawasan ini (lihat Dedy Ari Asfar 2005a,b,c,d; Chairil Effendi 2005). Tidak ada media massa yang khusus memuat sastra lisan atau mentransformasi sastra lisan ke dalam media cetak.

Surat kabar lokal di Kalimantan Barat seperti Ap.Post dan Equator hanya menyediakan kolom khusus untuk para peminat sastra modern seperti puisi dan cerpen. Selain itu, sesekali ada juga bentuk sastra lisan yang ditransformasikan dalam sastra tulis dengan memuatnya ke dalam media massa cetak lokal di Kalbar. Sastra lisan yang biasa muncul di surat kabar lokal wujud dalam bentuk pantun. Perhatikan sebuah bait pantun berikut.

Dari Siantar ke Berastagi
Dari padang ke Bukit Tinggi
Pegawai kecik sampai pejabat tinggi
Korupsi dah dijadikan ideologi

Bait pantun di atas pernah beberapa kali muncul dalam surat kabar lokal di Kalimantan Barat seperti Ap.Post dan Equator. Bait pantun ini memang tidak dimuat secara khusus dalam kolom apresiasi sastra tetapi ia merupakan sebuah iklan dari radio Kenari untuk berpromosi.

Walaupun demikian, ada sedikit gambaran menarik bahwa sastra lisan juga merambah media cetak untuk dapat dibaca dan dinikmati oleh khalayak dan digunakan sebagai sebuah sarana untuk menyampaikan pemikiran. Fenomena serupa juga tampak dalam kolom Mat Belatong yang muncul tiap-tiap hari minggu di Equator; biasanya ada saja pantun dan syair yang digunakan dalam wacana-wacana yang dilontarkan oleh penulis Mat Belatong tersebut (lihat diantaranya A. Halim R, 30 April 2006 dan 16 Juli 2006:15).

Fenomena ini sekiranya yang penulis sebut sebagai transformasi lisan ke tulisan atau dengan istilah lain dari keberlisanan menuju keberaksaraan dalam sastra di Kalimantan Barat. Perhatikan Contoh pantun dimaksud berikut ini.

Pantun Mat Belatong[7]
Ikan Kepetek ikan buin
Ikan betutu ikan gelama
Kalau Ente jadi pemimpin
Dengarlah pantun khazanah lama

Ikan buin ikan bawal
Jadi pemimpin jangan bual
Ikan semah ikan silauari
Mikol amanah jangan mencuri

Arti Penting Kolom Sastra dalam Surat Kabar lokal
Surat kabar lokal seperti harian Ap.Post dan harian Equator memainkan kiprah yang penting dan sangat berjasa dalam mengantarkan pengarang dan karyanya kepada para penikmat atau pembaca dalam memahami fenomena karya sastra lokal yang ada di Kalimantan Barat. Kedua harian ini menjadi “foto” yang memotret situasi kesastraan yang dimiliki Kalimantan Barat.

Karya sastra yang dimuat dalam surat kabar lokal ini memainkan peran yang sangat penting. Pertama, surat kabar menjadi sarana atau wadah bagi para penulis untuk terus berkarya dan mengenalkan karyanya kepada para penikmat sastra secara berterusan.

Kedua, surat kabar juga berfungsi sebagai “rumah produksi” yang menerbitkan dan mengenalkan penulis karya sastra, dengan kata lain surat kabar mendistribusikan pemikiran seorang penulis dan menjadi penyambung lidah antara pengarang dan pembaca.

Ketiga, surat kabar menajdi batu loncatan bagi pengarang sebelum menerbitkannya menjadi sebuah buku. Artinya, adanya kecenderungan untuk menerbitkan kembali karya-karya sastra terbitan surat kabar menjadi buku—hal demikian sudah dilakukan oleh ramai pengarang dan penerbit sejak dahulu hingga sekarang. Ini dapat dilihat seperti yang dilakukan oleh M. Yanis dengan novel Kapal Terbang Sembilan; sebelum menjadi buku, novel ini pernah diterbitkan secara bersambung di harian Akcaya. Bahkan surat kabar nasional seperti Kompas malah menerbitkan cerpen-cerpen yang pernah mereka muat di harian tersebut menjadi suatu kumpulan buku (antologi).

Seputar Tema Sastra di Ap.Post dan Equator
Tema yang umum muncul dalam cerpen dan puisi di harian Ap.Post adalah seputar cinta remaja, Tuhan, dan kemanusiaan. Di harian Equator tema yang muncul lebih cenderung tema-tema ketuhanan, kemanusiaan, sosial, dan budaya yang bersifat lokal. Diantara sekian banyak penulis, berikut ini penulis paparkan tema yang pernah ditulis dalam bentuk cerpen dan puisi oleh beberapa penulis sebagai contoh.

Cerpen berjudul “Melayu Laut” karya Yosaria Elza dan cerpen “Notongk” yang ditulis oleh Laut merupakan cerpen-cerpen yang membicarakan tema sosial dan budaya yang benar-benar terjadi di Kalimantan Barat. Cerpen yang ditulis oleh Yosaria Elza mengangkat isu identitas etnis penduduk Kalimantan Barat.

Penulis cerpen ini membicarakan isu itu dalam jalinan watak cerita dengan berusaha mengutarakan pemikirannya melalui watak Puasa dan Pak Pung. Perhatikan kutipan berikut.
...“Bapak suku apa, orang apa?”
“Laut pak,” jawab puasa Pendek.
Puasa memang selalu menjawab demikian setiap kali ditanya suku atau bangsa apa. Tapi kali ini, di depan banyak orang, kepala kampung itu, menyalahkannya.

Menurut Pak Pung jawaban yang benar adalah Melayu, bukannya Laut! Laut itu sebutan untuk orang Melayu dahulu dan sudah tak layak lagi dipergunakan. Tak ada “Laut”, seperti juga tidak ada lagi sebutan “Darat” kata Pak Pung. Puasa kian keki karena kata-kata Pak Pung membuat orang yang hadir di pertemuan itu mentertawakannya.

Cerpen Notongk yang ditulis oleh Laut juga menawarkan perspektif sosial dan budaya Kalimantan Barat. Melalui cerpen ini, kita dapat mengetahui sebuah tradisi dalam masyarakat Dayak. Sebuah tradisi yang disebut notongk, yaitu sebuah tradisi ritual untuk menghormati tengkorak (abak) yang pernah menjadi korban tradisi mengayau (Equator Minggu, 8 Januari 2006). Demikianlah tema cerpen yang muncul dalam harian Equator dan masih banyak lagi tema-tema lain yang membicarakan tentang Tuhan, manusia, budaya, dan aspek-aspek lain yang lebih bersifat lokal.

Bahkan Asriyadi Alexander, editor yang menangani kolom seni dan sastra berkomitmen untuk menerbitkan cerpen-cerpen yang bernuansa lokal dengan pelbagai perspektif tetapi tidak menerima karya yang bertemakan cinta dan remaja (KP, 20/3/2006).

Cerpen-cerpen yang dimuat harian Ap.Post sepertinya agak longgar dalam menerbitkan karya-karya sastra penulis pemula lokal. Artinya, sang editor tidak memberikan kriteria khusus karya-karya yang handak diterbitkan, “asal” ada tulisan yang oleh penulisnya disebut cerpen dan dikirimkan ke Pontianak Post, mungkin akan diterbitkan dalam kolom “Apresiasi”, yaitu kolom sastra yang ada di harian Ap.Post.

Hal ini mungkin disebabkan keinginan Ap.Post untuk mewadahi sesiapa saja yang menaruh minat dalam dunia penulisan dan memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada individu dalam berkarya. Tema yang muncul cenderung membicarakan tentang cinta dan remaja, ada juga tema-tema ketuhanan, kamanusiaan, dan sosial.

Kelonggaran yang penulis maksudkan di sini ialah, sepertinya tidak ada proses seleksi yang selektif dalam menerbitkan tulisan di kolom sastra harian Ap.Post sebab tulisan yang tidak begitu menarik dan tidak bernilai sastra pun dapat terbit dengan mudah.

Hal ini dapat dilihat dalam cerpen “Tulisan untuk Pay” oleh Diah Ekawati (Ap.Post, Minggu 31 Oktober 2004), yang menurut penulis hanya semacam surat cinta seorang gadis kepada lelaki yang dipujanya.

Cerpen ini tidak memperlihatkan konflik dan klimaks dalam alur peristiwa cerpen. Padahal inti sebuah cerpen adalah konflik. Cerpen-cerpen yang bertema demikian berdasarkan catatan yang ada pada penulis dapat dilihat juga dalam cerpen “Messages” oleh Kartika P, “Andai” oleh Andini Yulini P, “Bisu” oleh Mr.Toem, “Hati Yang Tersembunyi” oleh Wina Kuspriantie, dan lain-lain.

Namun, ada juga penulis pemula yang menggarap tema-tema sosial yang lagi up to date, seperti kemiskinan, kelangkaan bahan bakar minyak, dan korban pelecehan seksual yang dialami oleh TKW di negeri jiran.


Penutup
Peran penting surat kabar lokal dalam memberdayakan dan mengenalkan penulis sastra tidak dapat dinafikan. Surat kabar lokal menjadi pencatat atau dokumen yang mengesahkan eksistensi penulis sastra lokal di Kalimantan Barat. Bahkan surat kabar lokal di Kalimantan Barat menjadi barometer untuk melihat wajah sastra yang berkembang di Kalimantan Barat.


BIBLIOGRAFI
A. Halim R. 2006. Kolom Mat Belatong. Dalam Equator, Minggu 30 April 2006 dan 16 Juli 2006.
Dedy Ari Asfar 2005a. Kengkarangan: Tradisi Syair Melayu di Pedalaman Ketapang. Makalah yang disampaikan dalam seminar bulanan di Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Barat pada bulan Maret 2005.

Dedy Ari Asfar. 2005b. Identitas Lokal dan “Ilmu Kolonial” di Kalimantan Barat. Dalam Yusriadi, Hermansyah, dan Dedy Ari Asfar. Etnisitas di Kalimantan Barat. STAIN: Pontianak Press.
Dedy Ari Asfar. 2005c. Etnopuitika: Ilmu Linguistik dan Sastra Lisan di Pulau Kalimantan. Makalah yang disampaikan dalam Kongres Linguistik Nasional di Padang, pada 18--21 Juli 2005.

Dedy Ari Asfar. 2005d. Islamic and Pre-Islamic Culture: The Data of Malay Oral Tradition in Cupang Gading, West Kalimantan. Makalah yang disampaikan dalam konferensi Internasional di Imperial Mae Ping Hotel, Chiang Mai, Thailand pada 7—8 Desember 2005.

Dedy Ari Asfar. 2006. Citra Manusia dalam Novel Perjuangan Rakyat Kalimantan Barat Karya M. Yanis. Laporan penelitian. Pontianak: Balai Bahasa Kalimantan Barat.
Ong, Walter J. 1982. Orality and literacy: The Technologizing of the World. New York: Methuen & Co.Ltd.

Mahayana, Maman S. 2005. 9 Jawaban Sastra Indonesia, Sebuah Orientasi Kritik. Jakarta: Bening.
[1] Ibnu Wahyudi mengatakan, awal keberadaan Sastra Indonesia modern dimulai pada 1870-an, yang ditandai dengan terbitnya puisi Sair Kedatangan Sri Maharaja Siam di Betawi (anonim), yang sekarang diterbitkan kembali dalam Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia (KPG, 2000). (Lihat Asep Sambodja Republika Minggu, 21 November 2004).

[2] Musfeptial, 2003, Biografi Pengarang Kalimantan Barat, Pontianak: Balai Bahasa Kalimantan Barat, halaman 12.

[3] Pendiri dan anggota Taratak Lima adalah H. Bustani HA, Gusti Mohamad Mulia, Alydrus, Bey Acoub, Zainal Abidin, H.A, M. Siri, Soesani A. Is, Heri Anwari, MS Efendi, dan Delly Ananda. Penamaan Taratak Lima pertama kali dianjurkan oleh Gusti Mohamad Mulya. Kata Taratak bermakna pondok atau dangau sedangkan Lima bermakna bahwa anggota kelompok ini selalu berkumpul di depan korem, tempat berkumpulnya para pedagang kaki lima. Kelompok ini juga membentuk grup musik dengan nama Kumbang Cari (Musfeptial 2003:13).

[4] Ibid., halaman 16--19.

[5] Beliau ini termasuk penulis yang aktif, karyanya antara lain adalah Antologi Puisi di West Borneo, Kembara Cinta ini Kuceritakan, diterbitkan di Pontianak pada tahun 2005 oleh Pijar Creativity.

[6] Novel ini bertemakan remaja. Anthony Ventura adalah seorang pengarang pemula yang berasal dari
etnik Cina Pontianak. Beliau lahir di Pontianak, 10 Agustus 1980. Pendidikan terakhir, Sekolah Tinggi Manajemen Ilmu Komputer (STMIK) Pontianak tahun 2002. Novelnya Crazy Campus diterbitkan di Depok, Jakarta oleh penerbit Kata Kita tahun 2005.

[7] Pantun ini penulis kutip melalui kolom Mat Belatong oleh A. Halim R dalam harian Equator, Minggu 30 April 2006.

Sabtu, 13 Desember 2008

Surat Cinta Pembaca Cerdas

Sepekan terakhir, perasaan saya berkecamuk. Itu setelah seorang Pembaca Cerdas berinisial Bis, mampir ke blog saya. Kebetulan selain berkenalan, dia juga mengkritisi tulisan pendek saya tentang Tribun Pontianak yang jadi Trend Setter di Kalbar.

Kritik membangun itu dilontarkan di chatbox, yang noatebene hanya untuk pesan singkat. Jadi, kalau dibaca kurang efektif plus cape. Untuk memudahkan membacanya, sekaligus menjadi bahan diskusi agar lebih mengalir, saya berinisiatif menampilkan surat dari Pembaca Cerdas itu ke dalam naskah yang enak dibaca.


Saya sempat meminta Bis untuk menunjukkan alamat blognya, namun sepertinya, ia keberatan kalau jati dirinya ketahuan. He he he...Sebab, terus terang saya tergelitik juga untuk mencermati dan menanggapinya kritiknya tersebut.

Kalau kemudian, surat tersebut saya tanggapi, itu bukan untuk memojokkan koran tetangga. Hanya mungkin ini gerak replek jika dicolek. Dengan itikad baik dan berharap lahir diskusi cerdas, saya bersabar memindahkan pesan Bis ke dalam naskah yang Enak Dibaca dan Perlu (Lha kok kayak tagline majalah TEMPO?)

Agar mengalir, saya langsung menjawab kritik Bis, yang kemarin belum selesai sepenuhnya. Jika pesan Bis si Pembaca Cerdas dicetak miring, tanggapan saya ditulis biasa. Semoga bermanfaat.

Mas ini dari pembaca Pontianak Post. Kritikan saya tentang tribun jadi trend setter.
Gak juga. Justru Pontianak Post sebagai media pertama dan terutama di Kalbar punya ciri khas berbeda dengan Tribun Pontianak. Pertama dari desain grafis. Grafisnya yang visual communication memudahkan masyarakat untuk cepat menangkap pesan yang diberikan.

- Anda memang Pembaca Cerdas. Saya salut. Bisa menganalisis sampai ke grafis. Saya saja baru tahu ada istilah kaya begituan. Tapi, selama 35 tahun baca Pontianak Post, pernahkah Bis melihat di halaman I Pontianak Post, membuat dan membuat grafis hanya untuk berita orang tertimpa pohon akasia.

Selain itu layoutnya juga rapi dan tepat. Maaf ni, kalo Tribun masih acak-acakan. Kriminal disatuin dengan berita lainnya. Habis itu ya, kita kan di Pontianak harusnya Tribun mencotoh koran lokal yang lebih banyak nunjukin berita lokal.

- Hmmm..soal usulnya mencontoh Pontianak Post atau koran lainnya, pikir-pikir dulu dah. Lagi pula, kalau semua koran segeram eh seragam, apa jadinya?

Kalo berita nasional atau internasional mah udah banyak Mas. Di internet juga banyak yang kayak gituan. Selain itu, kalo di Pontianak Post punya halaman metropolis yang melingkupi kota pontianak.

- Suka buka internet juga yach. Punya blog kagak? minta dong! he he he...kalau semua pembaca seperti Anda, malah gak perlu lagi baca koran. Kan udah ada di internet semua. Persoalannya, berapa banyak sih yang bisa akses internet. Ada kok pembaca yang jangankan internet, komputer aja mereka gak punya..kan tanggungjawab kita mencerdaskan kehidupan bangsa.. he he he. Soal halaman, relatif bos..!

Saran saya sih, kolomnya itu loh yang banyak berpihak ke keturunan non pribumi. Ya aneh juga. Coba dijelaskan, mengapa tidak memakai kolom khusus yang memuat semua kalangan seperti Metropolisnya di Ptk Post. Saya rasa lebih tepat. Tidak memicu konflik sara. Emang semacam membedaka-bedakan. Emang dibayar berapa tu buat halaman itu.

- Bis..coba lebih teliti deh. di Tribun Pontianak cuman ada satu halaman, eh bukan deh, setengah halaman, sisanya iklan. Namanya halaman Seng Hie Life. Pontianak Post Group malah punya, bukan lagi satu halaman, tapi satu koran utuh. Inget gak...nama korannya, Kun Dian Ri Bao! Ayo..bandingin bayarannya? Itupun kalau dibayar he he he.

Apalagi, perkara pengecer Pontianak Post yang nempel dengan pengecer Tribun di awal-awal semua cewek. Ya pastilah wong orang tua juga demen. Apalagi ama yang muda. Apalagi, pengecer Pontianak selalu wellcome dengan kedatangan teman baru.

- Faktanya memang begitukan. Adakah pengecer koran di lampu-lampu merah dan persimpangan jalan sebelum kedatangan Tribun. Kagak ada Bos..soal cewek, itu dia persoalannya. Cewek emang kerap jadi persoalan. Sampai-sampai ada yang istrinya dua atau malah gebet temen sekantor or karyawan sendiri. Busyet...!!

Soal soccernya kembali lagi Pontianak Post lebih menonjolkan olah raga lokal. Ketimbang Tribun lagi-lagi dari luar.

- Usul diterima.

Ada lagi saya dengar2 oplah Tribun sudah sampai 30 ribu eks. Rasanya aneh, Pontianak Post aja yang udah bertahun, saat ini 35 ribu eks. Mana mungkin Tribu dalam jangka waktu sekejap bisa meraup begitu banyak. Apalagi untuk ukuran Kalbar. Bayangkan aja, meskipun harga Pontianak Post Rp 2.500, namun pembeli tetap setia. Karena yang penting kualitasnya. Dan strategi Pontianak Post sangat tepat dengan menurunkan harga Metro yang merupakan salah satu grup Pontianak Post. Jadi, Pontianak Post sebagai leader menurunkan Metro untuk menghadapi Tribun.

- Soal oplah, tanya deh ke Pontianak Post, jangan-jangan oplahnya nggak segitu. Sama seperti anda meragukan oplah Tribun Pontianak, jangan-jangan oplahnya juga gak segitu. Soal strategi penurunan harga Metro Pontianak, yang bener Bis..Metro emang harganya turun, tapi halamannya juga ikut menyusut. Sesuai lah. Sekadar mengingatkan, saya tiga tahun jadi Redaktur Metro, setahun jadi Redaktur Pelaksana. Sejak Oktober 2000, saya sudah jadi reporter di Pontianak Post dan Kapuas Post. Sempet jadi Kepala Biro Sanggau, Singkawang, dan Kabupaten Pontianak.

Dan masih banyak lagi. Sori ya mas. Masih banyak yang perlu dibenahi di Tribun.

- Usul bagus tuh. Sebab, dunia terus berubah. Masyarakat terus berkembang. Bisnis semakin ketat. Bunuh diri kalau gak berbenah. Tentu saja berbenah dengan perubahan yang untuk menjadi yang Berbeda dan Lebih Baik. Doain yang Bis, semoga Tribun Pontianak juga punya pembaca setia seperti Bis yang 35 tahun setia ama Pontianak Post.

Sy bukan wartawan Mas. Sy hnya org biasa aja. tp, maaf ni saya lihat Tribun Pontianak tidak menunjukkan ciri sebagai grupnya Kompas.

- Awalnya, Bis saya kira teman saya di kantor yang lama. Saya kenal betul pikiran-pikiran seperti itu lahir dari kepala siapa. Soal pencerminan...coba Bis bercermin di rumah. Apakah wajah, perilaku, dan fostur tubuh Bis mencerminkan wajah, perilaku, dan fostur tubuh dari ayah atau ibu Bis?

Singkat amat penjelasannya. Ya sudah gak perlu dijawab. saya sudah tau jawabannya.

- Itu kenapa Bis saya analogikan dengan Pembaca Cerdas. Hanya dengan penjelasan singkat, Bis sudah tahu jawabannya. Luar biasa..!Tapi, benarkan bukan teman saya di kantor yang lama.. he he he..?

Jumat, 12 Desember 2008

Robo-robo, Media Unifikasi Etnis

SEPERTI tahun lalu, pusat perayaan robo-robo kali ini dipusatkan didua lokasi. Masing-masing di Mempawah Hilir dan Kuala Sungai Kakap. Secara ritual memang tidak ada yang berubah, namun prestisenya telah mengalami pergeseran.

Dulu, upacara yang dimaksudkan untuk memperingati kedatangan Ompu Daeng Manambon di Kuala Mempawah untuk pertama kalinya ini, eksklusif bagi etnis Melayu dan Bugis.

Kini, selaras dengan perubahan tata nilai yang tak terbendung demarkasi SARA, robo-robo menjelma jadi kebanggaan etnis-etnis yang ada di daerah ini. Setidaknya deskripsi seperti itulah yang terlihat dari perayaan robo-robo di Kuala Sungai Kakap, Rabu (23/5). Sepuluh ribu lebih pengunjung dari berbagai etnis, berbaur menanggalkan baju pluralitas larut dalam estetis dan eksotika robo-robo.

"Kami tidak melihat lagi, tradisi ini mutlak milik etnis Bugis dan Melayu. Tetapi muncul kesepakatan, robo-robo milik semua etnis, khususnya yang ada di Sungai Kakap," kata ketua panitia robo-robo, Bachtiar S Sos menjawab AP Post, kemarin. Dijelaskannya, masyarakat Sungai Kakap ingin menunjukkan kepada semua pihak kalau mereka mampu hidup berdampingan dengan baik.

Masyarakat Sungai Kakap akan tetap bersatu dalam keadaan apapun. Karenanya tidak mengherankan jika dalam perayaan robo-robo kali ini, semua etnis dengan pakaian tradisionalnya masing-masing ikut meramaikan perhelatan ini.

Diceritakannya juga, robo-robo kali ini, sedikit berbeda dari perayaan sebelumnya. Jika tahun lalu robo-robo dilaksanakan di darat, kini dilaksanakan di laut. Tidak hanya itu, kali ini robo-robo dijadikan satu paket dengan upacara Sedekah Laut."Paket ini kami kemas dengan harapan, bisa lebih memberikan daya tarik. Sehingga kedepan robo-robo akan jadi aset wisata yang berharga," ujar Sekretaris Camat Sungai Kakap ini.

Langkah ini terbukti efektif. Walaupun belum banyak investor yang tertarik, namun setidaknya pada perayaan kali ini, ada beberapa agen perjalanan wisata yang telah melihat dari dekat potensi robo-robo. Langkah ini juga sejalan dengan keinginan Kabupaten Pontianak, yang akan menjadikan Kecamatan Sungai Kakap sebagai pusat wisata daerah. kini telah tersedia satu kawasan Agrowisata di Pal IX.

"Melihat antusiasme warga, nampaknya obsesi itu bukan tanpa alasan. Tanpa diundangpun warga spontan datang ke Sungai Kakap," tambah Camat Sungai Kakap, Drs Syafrudin. Namun ia juga menyayangkan, sebab selama ini pemerintah kurang bisa melihat potensi wisata ini. Buktinya pendanaan sebesar Rp 9 juta, dalam pelaksanaan robo-robo kali ini, semuanya murni hasil swadaya masyarakat.

Mestinya kata dia, dinas Pariwisata memiliki strategi untuk memperkenalkan tradisi ini kepada masyarakat. Baik lokal maupun mancanegara. Sebab kemampuan masyarakat sebagai pelaksana sangat terbatas. Jika robo-robo berhasil menarik perhatian turis, diharapkan masyarakat sekitarnya akan mendapatkan keuntungan. Terutama yang berkaitan dengan pendapatan dan perekonomiannya. Sebab dalam ajang tersebut masyarakat bisa menawarkan jasa. Baik untuk penginapan maupun dengan menjual aneka kerajinan tangan.

Sementara itu, robo-robo dilaksanakan setiap hari Rabu akhir bulan Sapar. Perayaannya spontanitas dilakukan oleh masyarakat. Prosesi robo-robo itu sendiri dimulai sejak pukul 08.00 WIB hingga 16.00, untuk memanjatkan doa selamat dan tolakbala. Tujuannya agar masyarakat diberikan keselamatan dan dijauhkan dari malapetaka.

Sedekah laut ditandai dengan melarung empat buah Ancak (sesajian) kelautan. Pelepasan itu dilakukan langsung oleh Pawang Laut. Konon, ancak dilarung ke laut lepas, sekitar tiga mil jauhnya dari pantai. Ancak tersebut sebagai tanda ucapan terimakasih atas karunia Tuhan YME kepada warga Sungai Kakap. pelarungan itu sendiri dikawal oleh beberapa buah sampan yang dihiasi dengan indahnya.(hasyim ashari).

Ketika tulisan ini saya buat, saya belum genap setahun sebagai reporter Pontianak Post. Masih belajar nulis...Dimuat tanggal 24 Mei 2001.
Melihat naskah aslinya klik:http://arsip.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Kota&id=2867

Jumat, 14 November 2008

Ikut HA-SIL Ontelis Nasional


Halal Bihalal & Silaturahmi (HA-SIL) Ontelis Nasional 2008 merupakan acara pertemuan penggemar sepeda tua seluruh Indonesia. Acara dilaksanakan di kota Jakarta dengan mengambil tempat di Kwarnas Pramuka dan juga di museum Bank Mandiri. Pada kesempatan tersebut, Sepeda Onte Kalbar (Sepok) mengirimkan dua orang utusannya.

Masing-masing Jayus Agus Tono dan Pak Toro. Jayus sempat memperkenalkan keberadaan Sepok di hadapan seluruh peserta HA-SIL dan mendapat sambutan hangat ditandai dengan riuhnya tepuk tangah.

Ternyata, dibanding komunitas pecinta sepeda lain di tanah air, Sepok bisa dibilang paling muda usianya. Belum genap setahun. Dalam kesempatan itu, Jayus sempat berfoto bersama dengan para pejabat Republik Mimpi. Di antaranya dengan Jarwo Kuwat dan Amien Jais (fotonya masuk di wordpress lho!).Sementara Pak Toro yang punya Gazelle ciamik, ikut lomba Hormat Bendera dan menyabet posisi 4 besar.

HA-SIL sendiri pada hari pertama 1 November 2008 di mulai dengan parade senja ontelis yang hadir dari berbagai daerah dan juga seorang tamu dari Malaysia yang biasa di sapa dengan Chegu Hopper. Ketika masuk waktu sholat magrib seluruh ontelis bersama-sama sholat berjamaah di mesjid Istiqlal, setelah itu melanjutkan perjalanan menuju museum bank Mandiri kawasan kota tua Jakarta.

Rangkaian panjang lima ratusan ontelis yang dikawal oleh 2 petugas kepolisian sangat menyita perhatian warga ibukota yang sedang bermalam mingguan.Bermacam gaya pakaian ontelis mulai dari bergaya sinyo/noni belanda, serdadu, perwira, petani, mandor, berpakaian daerah atau yang cuma bergaya casual…tumpah ruah jadi satu pemandangan unik…

Setelah menggenjot kurang lebih 10km dari istiqlal menuju museum, rombongan disambut oleh teman2 komunitas museum bank mandiri, istrihat sejenak selanjutnya melakukan tur keliling museum, setelah itu dilanjutkan dengan makan malam dan rangkaian acara lainnya. (hsm/sepeda wordpress)

Sepok Ajak Masyarakat Bersepeda

Berawal dari keinginan yang sama untuk melestarikan seni dan budaya tempo dulu, para pemilik sepeda tua mencoba membentuk sebuah komunitas. Meskipun masih asing di kalangan penggemar sepeda daerah ini, keberadaan komunitas sepeda ontel (Sepeda Onte, red) begitu menarik dan unik.

adalah Jayus Agustono salah satu penggagas berdirinya Sepeda Ontel Kalbar atau yang disingkat Sepok. Dari keanggotaan yang semula hanya delapan orang, saat ini menjadi 80 orang. “Tiga tahun lalu komunitas kami hanya berjumlah delapan orang. Sempat vakum dua tahun, sekarang komunitas Sepeda Ontel semakin diminati. Saat ini jumlah anggota Sepok ada 80 orang,” kata Jayus yang saat ini dipercaya memimpin komunitas tersebut.

Sepok, menurut Jayus, resmi berdiri pada 12 Januari 2008. Ini bermula saat komunitas sepeda tua yang berada di wilayah Pontianak Selatan, wilayah Parit Haji Husin (Paris) dan Sei Raya bertemu dengan penggemar sepeda tua di wilayah Pontianak Barat. Bertemunya dikarenakan para penggemar yang kebanyakan orang seni dan pengoleksi barang antik selalu hunting mendapatkan barang-barang orisinil untuk aksesoris sepeda.

“Saat bertemu sekitar akhir Tahun 2007, kami bersepakat untuk membentuk komunitas sepeda tua di Kota Pontianak. Kemudian diberi nama Sepok yang artinya Sepeda Ontel Kalbar. Kita berharap komunitas ini juga melebar ke seluruh wilayah Kalimantan Barat,” ungkapnya.

Jayus yang juga merupakan salah satu pelukis senior milik Kalbar tersebut, menganggap bahwa Sepeda Ontel, merupakan satu komunitas yang unik dan belum ada di daerah ini. Oleh karena itu, ia termotivasi untuk membentuknya. Keberadaan komunitas ini juga diharapkannya bisa memberi angin segar bagi kelestarian barang-barang kuno, antik dan tempo dulu.

Dikatakannya, keberadaan komunitas ini diharapkan mampu merubah imej remaja dan anak muda yang menganggap sepeda merupakan barang yang sudah tidak diperlukan dan tergantikan oleh kendaraan bermotor.
“Sebenarnya imej ini yang harus kita ubah. Saya ingin orang-orang kembali ke masa lalu dan menggunakan sepeda sebagai alat transportasi. Alangkah bersih dan sehatnya kota ini, jika keinginan itu bisa terwujud,” harap dia.

Jayus lalu mencontohkan negara maju, seperti Amerika dan Eropa, yang sudah memasyarakatkan penggunaan sepeda kepada penduduknya. Bahkan Negara China sejak dahulu menjadikan sepeda sebagai alat transportasi warganya. “Di negara maju saja sosialisasi kearah tersebut sudah dilakukan, lantas kenapa kita tidak mencobanya,” ujar Jayus.

Krisis BBM beberapa waktu lalu, lanjut pria yang tinggal di Jalan Paris I ini, membuka mata dunia, bahwa alat transportasi sepeda menjadi sangat penting dan sebagai salah satu solusi dalam mengatasi problem BBM. Sepeda tak lagi menjadi bahan pajangan, tapi benar-benar difungsikan sebagai alat transportasi.

Lebih lanjut Jayus mengungkapkan, tujuan berdirinya komunitas Sepok, bukan semata-mata mencari kesenangan. Keberadaan komunitas ini juga berawal dari kesulitan dan keluhan teman-teman karena semakin hari harga BBM semakin tak terkendali. Sementara jumlah pemilik kendaraan semakin bertambah ramai. "Lalu kami putuskan untuk beramai-ramai menggunakan sepeda, tapi dengan konsep yang berbeda. Maka ditemukanlah Sepeda Onthel," katanya.

Menurut Jayus, pemicu semakin rendahnya minat masyarakat terhadap sepeda, selain karena perubahan zaman yang serba instan, harga jual kendaraan roda dua dan empat tanpa uang muka dan kredit ringan juga menjadi salah satu sebab pesatnya pertumbuhan pemakai kendaraan. Sementara BBM yang dihasilkan semakin hari semakin menipis. "Dunia semakin terjepit karena kebutuhan yang semakin drastis," tukas dia seraya mengajak masyarakat dan remaja ramai-ramai hijrah ke sepeda sebagai alat transportasi.

Dari sinilah, lanjut pria berambut plontos ini, keberadaan sepeda mulai tertinggal. Hanya pecinta dan pehobi olahraga sepeda saja yang masih menganggap barang ini berharga. Sementara bagi remaja dan generasi muda, sepeda tidak modern dan tidak layak lagi dipakai. Persepsi tersebut yang harus diubah. Menurut Jayus, sepeda juga masih menarik untuk tetap dilirik. Bagaimana menjadikan sepeda tersebut berkelas dan mendapat tempat di masyarakat. "Mungkin sepeda Onthel bisa menjadi jawabannya," tukas dia.(budianto/pontianakpost)

Sabtu, 27 September 2008

Sepeda Onte Kalbar


Sama seperti kota-kota lain di Tanah Air, di Pontianak muncul pecinta sepeda tua yang kemudian berhimpun dalam organisasi Sepeda Onte Kalimantan Barat (Sepok).

Ikhwal pembentukan Sepok, sebenarnya sudah lama. Hanya saja, aktivitasnya belum begitu intensif. Anggotanya pun hanya beberapa orang saja. Tepatnya, hanya Jayus Agustono, dan rekan-rekan dari Parit Haji Husein I.

Secara tidak sengaja, Jayus bertemu dengan pecinta sepeda tua dari Pontianak Barat, dalam hal ini ada Ateng dan Hasyim. Maka jadilah, kami gagas pertemuan untuk membulatkan tekad menghimpun semua pecinta sepeda tua di Kalbar. Pertemuan kami gelar di Bundaran Universitas Tanjungpura, pertengahan Januari 2008.

Saat itu yang berkumpul hanya sebelas orang dengan sepeda yang sangat terbatas. Kini, setelah nyaris setahun, Sepok sudah membetot perhatian warga Kota POntianak dan masyarakat Kalbar. Sejumlah instansi pemerintah dan perusahaan swasta kerap menggandeng Sepok jika menggelar kegiatan.

Publikasi media massa juga sangat membantu. Kini, anggota Sepok sudah berjumlah 100 orang. Tentu saja dengan berbagai merk sepeda. Ada BSA, Mister, Hercules, Raleigh, Gazelle, Robinson, Fongers, Batavus, Opel, NSU, Burgers, dan masih banyak lagi.

Maka, jadilah sekarang merk-merk sepeda tersebut memiliki nilai jual tinggi. Dari yang tadinya barang rongsokan tidak terpakai, kini bernilai jutaan rupiah. Bahkan, ada anggota Sepokk yang membeli Gazelle seharga Rp 10 juta. Tidak percaya bukan?

Jangan tanya, kalau sudah merknya simplex atau frame x. Tapi, itulah kenyataannya. Itulah bukti sebuah hobi bisa mengalahkan akal sehat. Untuk sebuah besi tua tak bermesin harganya mengalahkan sebuah sepeda motor keluaran tahun 2002. Busyet....!

Itu belum mendengar rekan-rekan Ontelis lain di Nusantara. Bayangkan, sebuah lampu minyak dan karbit harganya antara Rp 1,5 juta hingga Rp 5 juta.

Pengantin Pesanan


Berikut adalah feature tentang Pengantin Pesanan yang berhasil menyabet The Best Feature di ajang Dahlan Iskan Award 2007-2008. Tulisan ini diselesaikan dalam waktu sepekan. Empat hari untuk menghimpun data, sisanya membuat laporan. Selamat menikmati semoga bermanfaat.

Menyusuri Pengantin Pesanan Amoy Singkawang dengan Pria Taiwan (1)
Berkorban Demi Orangtua,
Berpisah Dengan Kekasih Tercinta

Bagi banyak pasangan, butuh waktu tahunan untuk sampai ke jenjang pernikahan. Dimulai dari perkenalan, pacaran, tunangan hingga naik pelaminan. Namun di Singkawang, untuk jadi pengantin hanya memakan waktu dua pekan. Khususnya bagi perempuan Thionghoa yang menikah dengan pria Taiwan.

Namanya Tun Sui Lang (18). Gadis yang biasa disapa Alang ini, tinggal di Jalan Shau Hian, Singkawang. Saat ditemui, remaja yang tidak tamat Skolah Dasar itu, terlihat rapi. Mengenakan kaos berkerah warna hitam, kontras dengan kulitnya yang putih bersih. Beberapa helai rambutnya dicat warna Golden Chocolate. Malam itu, Alang terlihat memikat, modis dan dinamis. Tidak heran jika Lim Thien Sheng (37), yang kepalanya mulai botak, dibuat tidak bisa tidur nyenyak.

“Awalnya saya tidak mau. Tapi, mama bilang lihat saja dulu,” ujarnya.
Bukan tanpa alasan, Tung Sui Chin (45) merayu putri ketiganya itu. Suaminya, Jong Fo Kim (51), sudah empat tahun tak bekerja. Keterampilannya membuat keramik, dikalahkan oleh usianya yang mulai renta. Untuk menyambung hidup, Tung Sui Chin memilih bekerja sebagai pembantu rumah tangga.

Penghasilannya memang tidak seberapa. Tapi pekerjaan itu jauh lebih ringan, tinimbang harus tiap hari menyusun bata. Tapi tetap saja, semua itu belum cukup untuk menghidupi keenam anaknya. Satu persatu, mereka putus sekolah. Sampai suatu ketika, dia didatangi tetangganya, Ajung. Perempuan yang baru pindah dari Jakarta itu, membawa kabar gembira.

Ada warga Taiwan yang sedang mencari istri. Dia kemudian ingat, puluhan tetangganya menerima tawaran itu. Kini mereka hidup jauh lebih baik. Diapun menemani Alang ke hotel. Disanalah, Lim Thien Sheng menginap. Rupanya kedatangan mereka, sudah ditunggu. Ada Lina Moice makelar asal Jakarta, Ajung seorang cangkau dari Singkawang, Aching sebagai penterjemah serta Aliong yang bertugas sebagai sopir.

“Calon pengantinnya bukan hanya saya. Ada juga calon-calon lainnya,” kenang Alang.
Di atas meja, di kamar Lim, berjejer photo-photo berwarna. Ukurannya 3R. Jumlahnya 27 lembar. Alang ingat benar photo-photo itu. Mereka masih muda-muda. Satu diantaranya ia kenal sebagai sahabatnya. Mereka berasal dari daerah Lirang. Tidak jauh dari objek wisata Pasir Panjang.

“Diantara sekian banyak pilihan, dia memilih saya,” tutur Alang, yang mengkau sudah punya kekasih. Yang setia dan mencintai dirinya apa adanya. Dia saat ini sedang kuliah.
Pembicaraanpun terjadi diantara mereka. Dua hari berselang, kedua pasangan yang baru bertemu ini, masuk masa perkenalan. Mereka kemudian jalan-jalan. Diantar sopir, mereka mengunjungi banyak tempat.

Diantaranya, sembahyang di Klenteng Taiwan di Sei Jungkung, berwisata ke Taman Bougenville, hingga makan-makan disejumlah restoran.
Setelah dirasa cukup akrab, sepekan kemudian dilangsungkan resepsi pernikahan. Resepsi, bisa dilakukan dibanyak tempat. Bisa di rumah sendiri, di restoran, di rumah cangkau, hingga di hotel.

Keluarga Alang memilih proses resepsi di rumah. Yang diundang sebatas keluarga dekat. Acaranya, tidak terlalu meriah. Meja makanpun, hanya ada tiga buah. Satu meja diisi lima sampai enam orang. Baju pengantin dan perhiasan, semua sudah disiapkan oleh Lim. Ada kalanya juga, semua keperluan sudah dikelola para cangkau. Orang tua Alang mendapat Rp 5 juta sebagai angpau.

“Sebagai anak, saya punya kewajiban. Berbhakti kepada orang tua. Meringankan beban mereka, adalah sebuah tindakan mulia. Saya ingat, ada teman waktu kecil, sudah sepuluh tahun di Taiwan. Menikah, punya anak, dan bisa kirim uang,” bebernya.
Alangpun terpaksa menerima takdirnya. Menjadi istri pria berkacamata, yang lebih pantas menjadi bapaknya.

Sesaat setelah pesta pernikahan, Alang tidak bisa tenang. Ada keterpaksaan dan penyesalan datang. Bagaimana mungkin, sebuah rumah tangga bertahan bila dipaksakan. Apalagi dia masih muda, cantik dan menawan. Lebih dari itu, sebagai perempuan, dia yakin masih punya pilihan. Termasuk masa depan yang lebih menjanjikan. Tapi, semua proses itu konon tidak bisa dibatalkan.

Kemudian diuruslah semua keperluan Alang. Terutama, visa, passpor dan Akta Perkawinan Campuran. Sementara, Lim terbang pulang ke Taiwan. Sejak pertama kali datang, dia memang tidak punya beban. Apalagi kerepotan. Cukup menyerahkan sejumlah uang. Segala sesuatunya, sudah diurus makelar atau Mak Comblang. Dari menentukan calon pasangan hingga menerbangkannya ke Taiwan. Karena itulah, fenomena sosial ini dikenal dengan sebutan Pengantin Pesanan.

Warga Thionghoa Singkawang menyebut Pengantin Pesanan dengan Che Siauw. Ada juga yang menamainya Kawin Photo dan Kawin Campur. Dikenal pertama kali Tahun 1980. Bersamaan dengan kunjungan KADIN Taiwan ke Kalbar saat itu. Tidak hanya ke Pontianak, delegasi ini juga mengunjungi Kota Singkawang.

Masyarakat Singkawang percaya, mereka satu leluhur dengan masyarakat Taiwan. Sama-sama dari China Daratan. Persaudaraan itupun dilanggengkan oleh ritual suci bernama pernikahan. Sampai saat ini, pernikahan antara perempuan Thionghoa dengan pria Taiwan, terus terjadi.

Kantor Catatan Sipil Kota Singkawang, mencatat tahun 2005 ada delapan pernikahan yang didaftarkan. Tahun 2006, diterbitkan 13 lembar Akta Perkawinan Campuran. Hingga September tahun 2007, sudah ada 31 yang terdaftar. Sayang, tahun 2002 datanya tidak tersedia.
“Masih merujuk ke Bengkayang,” kata Benny, Staf Bagian Pelayanan Catatan Sipil Pemkot Singkawang.

Kepala Kantor Catatan Sipil Kabupaten Bengkayang, Drs Lorensius memaparkan, jumlah Perkawinan Campuran yang didaftarkan cukup banyak. Dalam kurun waktu enam tahun terakhir, tahun 2002 paling besar jumlahnya. Ada 312 lembar Akta Perkawinan Campuran yang diterbitkan. Tahun 2003 dikeluarkan 192 lembar. Tahun 2004 ada 165 lembar.
Tahun 2005 dan 2006 masing-masing 61 lembar dan 155 lembar. Hingga September 2007, telah diterbitkan 51 lembar akta. Baik Benny maupun Lorensius menegaskan, angkanya bisa jauh lebih besar.
“Ada warga Singkawang dan Bengkayang yang kawin di Pontianak dan Jakarta,” kata mereka.

Karena alasan itu pula, sampai saat ini, banyak versi tentang jumlah warga Singkawang di Taiwan. Prof Tangdililing meneliti, hingga tahun 1997 ada 3.410 warga Kabupaten Sambas (termasuk Singkawang-red) yang menikah dengan pria Taiwan. Asisten Kebijakan dan Pemerintahan Setda Kota Singkawang, Drs HM Nadjib MSi, mencatat ada 15.000 warga Singkawang yang menetap di Taiwan hingga Tahun 2006.

Data tersebut, diperolehnya dari Kunjungan Kadin Taiwan ke Singkawang beberapa waktu lalu. Sementara Lembaga Bantuan Hukum Perempuan dan Keluarga (LBH PEKA) Singkawang mencatat, antara tahun 1987-2006 terdapat 27.000 warga Sambas, Singkawang dan Bengkayang di Taiwan. Di Taiwan, menurut catatan Hairiah SH Anggota Komnas HAM

Perwakilan Kalbar, Divisi Perlindungan Kelompok Khusus, jumlah Pengantin Pesanan dari berbagai negara, tahun 2003 mencapai 240.837 orang.
Dari jumlah tersebut, pengantin dari Asia Tenggara saja, 42,2 persen. 57, 5 persen diantaranya berasal dari Vietnam, dari Indonesia 23,2 persen, Philipina 5,3 persen, dan 8,7 persen dari negara lain. Tahun 2005, jumlah Pengantin Pesanan meningkat menjadi 365.000 orang.

Tingginya angka Pengantin Pesanan ini, menurut Ketua Majelis Adat Budaya Thionghoa (MABT) Kota Singkawang, Wijaya Kurniawan SH disebabkan oleh sejumlah faktor. Faktor yang paling dominan adalah kemiskinan. Sedikitnya, ada sekitar 27.000 warga miskin pada tahun 2001, yang dicatat Kantor Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Kependudukan Kota Singkawang. Dari jumlah penduduk 120.000 ditahun yang sama, kurang lebih 60 persen di antaranya adalah warga keturunan Tionghoa.
“Mayoritas mereka yang menjadi Pengantin Pesanan datang dari keluarga tidak mampu,” kata Wijaya.


Menikah dengan pria Taiwan, lanjutnya jadi jalan pintas untuk keluar dari lingkarang kemiskinan. Apalagi, tidak ada kesempatan untuk hidup lebih baik di Singkawang. Lapangan kerja tidak tersedia. Makin parah dengan interaksi miskin kaya, yang berlangsung kurang sehat. Disisi lain, orang Thionghoa punya keyakinan. Bahwa hidup harus diperjuangkan. Nasib harus berubah. Jika harus berkorban, itupun akan dilakukan.

“Daerah ini, sudah hutang budi. Putri-putri Singkawang itu, berkorban demi bhakti. Dengan perkawinan ini, sudah banyak keluarga yang terselamatkan. Mereka kirim uang untuk perbaikan tempat tinggal, peningkatan kesehatan, hingga biaya pendidikan,” kata Wijaya lagi.

Di Taiwan, mereka yang sudah menikah, juga bisa bekerja. Ada yang bekerja disektor industri, pertanian dan peternakan. Tidak sedikit pula yang ikut membantu menjalankan roda usaha suami. Memang bukan tanpa hambatan. Bahasa dan etos kerja kerap jadi kendala. Nah, mereka yang mampu beradaptasi, biasanya berhasil.

Maya Santrini, Ketua Bidang Korban Tindak Kekerasan dan Pekerja Imigran Forum Komunikasi Pekerja Sosial Masyarakat (FKPSM) Nasional, menegaskan ada alasan mengapa pria Taiwan memilih perempuan Thionghoa, sebagai pasangan. Menurutnya, perempuan Thionghoa dikenal memiliki sifat hemat, rajin, ulet, setia dan hormat kepada suami.

“Selain berpendidikan rendah, menikahi mereka juga lebih murah biayanya. Apalagi bisa memilih, yang lebih muda. Kondisi ini bertolakbelakang dengan wanita Taiwan. Mereka berpendidikan tinggi, mandiri, mementingkan karir ketimbang berkeluarga,” ungkap aktivis yang sering keluar masuk pemukiman Thionghoa ini.

Karena itu tambahnya, pria Taiwan yang kurang mujur soal urusan pernikahan, banyak yang mencari istri dari negara-negara Asia Tenggara. Termasuk Indonesia. Biasanya mereka adalah pekerja kasar, juga pensiunan. Umurnya rata-rata 30 tahunan ke atas. Persamaan budaya seperti, pemujaan terhadap leluhur, konfusianisme dan buddisme juga turut memperlancar proses perkawinan tersebut.


Menyusuri Pengantin Pesanan Amoy Singkawang dengan Pria Taiwan (2)
Tetap Jadi Pilihan Keluar Dari Kemiskinan

Menemui keluarga Pengantin Pesanan, ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Warga Thionghoa, memang dikenal ekslusif. Mereka sangat hati-hati dan cenderung tertutup. Sikap itu, memang tidak sendirinya terbentuk. Selama Orde Lama dan Orde Baru, mereka kerap mendapat perlakukan diskriminatif.

Dari sepuluh keluarga yang didatangi, hanya dua yang membuka diri. Mereka adalah keluarga Ng Khiuk Hiong (65), tinggal di RT 19/RW 04 Kelurahan Sedau dan keluarga Thong Gie Thiam (47) warga Gang Setuju, RT 22/RW 09, Pasiran.

Menuju rumah Ng Khiuk Hiong, hanya ada jalan setapak. Di kiri dan kanannya, banyak ditumbuhi semak. Meski berjarak 200 meter dari Jalan Raya Sedau, rumah itu berada jauh di dalam kebun. Ada pohon pisang dan pohon rambutan yang tumbuh rimbun. Dibanding rumah lainnya, rumah itu tampak sangat mencolok. Bukan semata baru dicat putih. Tetapi karena permanen, besar, bersih, dan rapih.

“Dulunya tidak begini. Bernafas saja susah,” kata Ng Khiuk tersenyum lebar. Bicaranya lancar dengan logat Khek yang kental. Dia memang tidak bisa Bahasa Indonesia. Untunglah, ada Rio Dharmawan, tokoh pemuda Thionghoa yang bersedia jadi penterjemah.

Tahun 1992, suaminya, Phang Hon Siu jatuh sakit. Tidak ada uang untuk berobat. Tidak lama berselang Asiu, biasa dia dipanggil, akhirnya meninggal. Ditinggal tulang punggung keluarga, sebuah pukulan telak. Dirinya sendirian banting tulang, menghidupi enam orang anak. Dia bekerja apa saja hanya sekedar bertahan hidup. Sampai akhirnya, tidak mampu lagi menyekolahkan anak-anaknya. Dia mulai berpikir keras, bagaimana bisa menyelamatkan keluarganya.

Dan jalan keluar itupun, akhirnya terbuka di depan mata.
“Ada seseorang yang datang ke rumah. Dia mengatakan, ada orang Taiwan yang mencari istri,” paparnya.
Dia lantas membicarakan hal itu kepada, Phang Miao Sung (32) yang saat itu berumur 19 tahun. Ternyata orang Taiwan tersebut suka. Perkenalan itu berjalan mulus. Singkat cerita, upacara perkawinan dilangsungkan. Mengundang kerabat dekat di rumah.

Setelah Phang Miao Sung diboyong suaminya ke Taiwan, selang beberapa bulan, giliran Phang Miao Ha (28) yang masih berumur 15 tahun, mengikuti jejak kakaknya.
“Saya tidak memaksa mereka. Saya bilang, kalau tidak cocok, tidak perlu dipaksakan. Rupanya mereka sama-sama suka,” kata Ng Khiuk yang masih ingat, dia menerima uang susu Rp 3 juta untuk masing-masing anaknya.

Dua tahun berlalu. Anaknya yang lain, Phang Yuk Fui (35), yang berusia 23 tahun, dipinang pria asal Hongkong. Yuk Fui, lalu pamit dan ikut dengan suaminya. Setelah itu, sedikit demi sedikit, mulai ada perubahan. Secara ekonomi, ketiga anak-anaknya itu, sangat membantunya.

“Perorang, mereka kirimi saya 5000 NT$. Sekitar Rp 1,5 juta, dua bulan sekali. Selain untuk keperluan sehari-hari, ditabung untuk bangun rumah,” kata Ng Khiuk yang sudah dikaruniai lima orang cucu dari ketiga anak perempuannya itu.

Sebelum ketiga anaknya menikah, rumahnya Ng Khiuk lebih mirip barak. Penerangan mengunakan pelita minyak jarak. Ukurannya hanya 4x6 meter. Dinding dan lantainya, dari papan. Atapnya dari daun nipah. Kini, semuanya berubah. Rumah dibangun permanen. Ada empat kamar tidur. Ukurannya memang lebih luas, 6x14 meter. Dinding dan lantainya dilapisi mamer. Warnanya abu-abu dan hijau muda.

Dalam waktu dekat, rencananya akan dilengkapi dengan Antena Parabola sebagai receiver. Rumah itu juga menjadi tempat berlindung bagi menantu dan cucu-cucunya, dari anaknya yang lain.

Potret Pengantin Pesanan, memang tidak selamanya menampilkan sisi manis. Ada juga sisi yang membuat kita miris. Misalnya, seperti yang menimpa keluarga Gow Sie Lan. Sejak menikah tahun 1982, keluarganya tidak tahu apakah dia masih hidup atau sudah meninggal. Sebab dirinya, tidak pernah memberi kabar. Mereka yang gagal, biasanya memang malu untuk kembali.

Kalaupun kembali, sebagian memilih jalan cerai.
Perkara gugatan cerai, biasanya didaftarkan di Pengadilan Negeri Singkawang.
“Dua tahun terakhir, tidak ada gugatan cerai Kawin Campur, “ kata Humas Pengadilan Negeri Singkawang, Nyoman Wiguna SH.

Meski begitu, hakim yang sebelumnya bertugas di Bali ini menaparkan, dari tahun 1997 hingga tahun 2003, sedikitnya ada 170 kasus gugat cerai kawin campur. Tahun 2005, hanya ada empat kasus. Tahun 2006 sampai September 2007, belum ada gugatan yang masuk.

Nyoman menjelaskan, gugatan bisa didaftarkan ke Pengadilan Negeri Singkawang. Karena biasanya, pihak penggugat, dalam hal ini istri, berdomisili di Singkawang dan sekitarnya. “Tetap akan kita proses. Kalau pihak tergugat Warga Negara Asing, maka konsulatnya yang kita hubungi,” paparnya.

Biasanya, lanjut Nyoman, pihak tergugat tidak datang ke persidangan dari awal sampai akhir. Untuk itu, nanti putusannya verstek. Amar putusannya, akan diserahkan ke pihak tergugat. Jika pihak tergugat keberatan, yang bersangkutan bisa melakukan upaya perlawanan. “Jika begitu, kasus kita buka kembali,” kata Nyoman lagi.

Memang tidak semua menempuh gugatan cerai di pengadilan. Ada juga yang berpisah begitu saja. Seperti yang ditempuh oleh Tjew Sin Fung (17). Dia kini kini ditampung di Shelter LBH PEKA Singkawang. Gadis yang bersahaja itu, biasa disapa Afung. Meski baru pertama bertemu, dia tidak terlihat canggung.

“Ingin membantu ibu. Tapi itu dulu. Sekarang jera,” kata pemilik tubuh semampai ini.
Sama seperti anak lainnya, Afung sangat ingin membantu orang tua. Syukur-syukur bisa membebaskan orang-orang yang dicintainya dari kemiskinan. Tahun 2005, ayahnya Amat (53), meninggal terserang paru-paru basah. Setelah itu, praktis hanya ibunya, Tjew Miao Ngo (55) yang bekerja. Ikut bantu-bantu orang.

Penghasilannya pas-pasan, bahkan lebih sering kurang. Afung dan kedua saudaranya, tidak punya banyak pilihan. Sekolah, mereka harus putus di tengah jalan. Setahun setelah kepergian Amat, Kimoi, bibinya datang ke rumah.
“Dia tanya apakah saya mau menikah dengan pria Taiwan. Umurnya 30 tahunan,” kenangnya.

Saat itu, usia Afung masih 16 tahun. Oleh cangkau, umurnya dikatrol jadi 19 tahun. Afung menerima tawaran itu, karena terdorong oleh niat berbhakti kepada orang tua. Apalagi, sepuluh orang tetangganya sudah berangkat duluan. Mereka hidup enak di Taiwan. Ekonomi keluarga juga meningkat perlahan-lahan. Bulan Mei 2006, digelar pesta pernikahan.

Acaranya digelar di hotel. Dari prosesi itu, Tjiew Miao Ngo mendapat angpao Rp 6 juta. Afung menerima uang Rp 1 juta. Uang itu untuk membeli pakaian. Sebab perhiasan seperti anting, cincin dan gelang sudah disiapkan suaminya. Saat ditanya, siapa nama suaminya, Afung mengaku lupa. Yang diingatnya, hanya punya suami pengangguran. Pergi seharian, baru pulang malam. Bangun tidur jam 12 siang.

Padahal, saat bertemu dia mengaku sebagai mekanik. Meski begitu, dia tipe suami yang tahu bagaimana membuat istri tidak berkutik. Afung disekap di kamar berukuran 4x4 meter. Tidak bisa kemana-mana selama dua bulan. Setiap hari makan bubur, nasi bungkus dan daun Singkong.
“Kami tidak pernah masak. Untuk makan, dia minta uang kepada ibunya. Sementara, saya tidak kunjung bisa bekerja. Itu yang memuat saya tidak tahan,” kenangnya.

Gadis yang sekolahnya hanya sampai kelas 3 SMP ini, lalu minta berpisah. Suaminya setuju. Dengan catatan, ada uang pengganti. Jumlahnya Rp 30 juta. Sebab, sebesar itulah uang yang sudah diserahkan kepada Afuk, makelar di Taiwan untuk menyuntingnya. Afuk pun mencarikan jalan keluar. Afung harus menikah lagi dengan pria Taiwan lainnya.

Dengan asumsi, uang dari suami keduanya itu, akan dipakai untuk mengganti uang suami pertamanya. Selama menunggu mendapat suami baru, Afuk menyediakan berbagai fasilitas. Makan, penginapan hingga sebuah sedan mewah untuk bepergian.
“Saya ditawarkan dari rumah ke rumah. Tiap rumah kami ketuk, untuk mengetahui apakah saya cukup diminati untuk dijadikan istri. Dari rumah pertama hingga kesembilan, rupanya tidak ada yang mau. Kalaupun ada, saya yang tidak mau. Baru di rumah kesepuluh, pria bernama Lai Chin Fin (32) tertarik dengan saya. Saya juga sudah kelelahan, jadi langsung mengaku cocok kepada Afuk,” bebernya.

Afung yang ingin cepat pulang, tentu senang mendapat suami baru. Karena hanya dengan cara itulah, dia bisa kembali. Iapun beralasan, ingin menjenguk orang tuanya lebih dulu, sebelum menjadi Pengantin Pesanan untuk yang kali kedua. Afung kemudian menjalani masa perkenalan dengan Lai Chin Fin. Mereka jalan-jalan dan makan-makan di Taiwan.
“Kami menikah Agustus 2006,” kata Afung lagi.

Afuk kemudian membiayai kepulangan Afung ke Bengkayang. Termasuk meminta kaki tangannya di Singkawang dan Pontianak untuk membereskan administrasi yang diperlukan. Identitas Afung dipalsukan. Fo Sin yang mengurus semuanya. Di passpor yang kedua ini, namanya berubah jadi Tjiew Mei Ling. Umurnya juga menjadi 22 tahun. Untuk pernikahan kali ini, ibunya hanya mendapat Rp 2,6 juta.

Sementara dirinya tidak dapat apa-apa. Saat akan kembali ke Taiwan, Afung menolak berangkat. Kegagalan pernikahannya dengan suami pertama, masih membekas. Ia kemudian melaporkan hal lini kepada sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Seorang cangkau asal Singkawang, Ly yang datang menjemputnya, berhasil diringkus. Afung tidak sendirian.

Seorang korban Pengantin Pesanan lainnya, Alang juga melawan. Dia menyeret seorang makelar dan tiga orang cangkau. Satu diantaranya diketahui sebagai Pegawai Honorer Kantor Catatan Sipil Kabupaten Bengkayang. Apa yang dilakukan dua gadis desa itu, memang hal langka. Selama 27 tahun, banyak korban yang enggan bersuara. Pengantin Pesanan yang jadi korban kekerasan, hingga eksploitasi seksual, biasanya memilih bungkam. Keluarga menganggap itu sebagai aib dan tidak pantas diungkap.


Menyusuri Pengantin Pesanan Amoy Singkawang dengan Pria Taiwan (3)
Sisi Lain Perdagangan Manusia, Haruskah Diberangus ?

Pro kontra kini mencuat seputar Pengantin Pesanan. Bahkan perkawinan ini dituding sebagai wajah lain dari perdagangan manusia. Perdapun dihadirkan untuk mengatasi dampak negatifnya. Akankah aturan ini efektif? Bagaimana nasib perkawinan ini kelak?
Bisnis Pengantin Pesanan antara amoy Singkawang dengan pri Taiwan, cukup menggiurkan.

Pria Taiwan, mengeluarkan Rp 20 – 40 juta untuk mendapatkan istri. Bahkan ditahun 90-an, angkanya bisa menyentuh Rp 60 juta. Uang tersebut diserahkan masih dalam bentuk Taiwan Dollar kepada makelar. Oleh makelar, Taiwan Dollar ditukar dan dirupiahkan. Bisa di Jakarta, bisa juga di Pontianak.

Dari penelusuran di Bank Indonesia Cabang Pontianak, perputaran jual beli valas Taiwan Dollar adalah yang tertinggi ketiga di Pontianak. Setelah Ringgit Malaysia dan US Dollar. Tahun ini saja, dari Januari hingga Juli, nilai transaksinya rata-rata Rp 1,5 miliar perbulan. Nilai tersebut, sedikit lebih besar dari Hongkong Dollar yang transaksinya rata-rata Rp 1,4 miliar perbulan.

Untuk memperlancar usahanya, para makelar membangun jaringan. Di Singkawang, kaki tangan ini disebut Cangkau. Jika makelar,bisa mendapat Rp 5-10 juta dari pria Taiwan, cangkau dibayar Rp 1-2 juta per pengantin oleh makelar. Kebanyakan makelar, berasal dari Jakarta. Sedang cangkau, tersebar dari Pontianak hingga Singkawang. Mengendus keberadaan mereka, dibutuhkan lebih dari sekedar kerja keras. Sebab, mereka bergerak sangat hati-hati. Diam-diam agar tidak terpantau polisi.

Beruntung, Pontianak Post bisa menemui, Lina Moice (53), makelar asal Pademangan, Jakarta Utara.
“Pria Taiwan biasanya terima beres. Kita yang urus, mereka hanya serahkan sejumlah uang,” kata nenek dua orang cucu ini.

Wanita asal Sungai Jaga, ini menuturkan, mustahil bekerja sendirian. Untuk mendapat informasi ada pria Taiwan yang mencari istri, dia kerap dibantu rekannya di Taiwan. Untuk mencarikan istri dan mengurus adminitrasinya, dia butuh peran para cangkau. Seorang cangkau, bertugas melakukan rekruitmen. Mencari gadis-gadis Thionghoa yang siap untuk dinikahkan.

Perburuan ini, bisa kepelosok pedesaan. Karena, biasanya yang ditawarkan lebih dari satu orang. Sementara seorang cangkau lainnya, mengurus semua administrasi yang diperlukan. Dari mulai, Surat Catatan Perkawinan dari Pemuka Agama, Kartu Tanda Penduduk (KTP), passpor hingga Akta Perkawinan Campuran. Kecuali Visa yang diurusnya sendiri di Jakarta.

Selain cangkau, dia juga membutuhkan sopir dan penterjemah. Sopir untuk mobilitas selama di Pontianak dan Singkawang. Sementara penterjemah, diperlukan untuk menjembatani perbedaan bahasa. Biasanya, pria Taiwan menggunakan Bahasa Mandarin. Sedang calon pengantin dan keluarganya berbahasa Khek. Penterjemah ini, kerap diambil dari mereka yang sudah tahunan menetap di Taiwan.

Ditemui di Ruang Pembinaan Narapidana, Moice membantah kalau dirinya sudah melakukan tindak perdagangan orang. Dia juga tidak mengerti kalau perbuatannya itu, berbenturan dengan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Tindak Pemberantasan Perdagangan Orang.

Bagaimana nasib amoy-amoy Singkawang ini di perantauan? “Di Taiwan Pengantin Pesanan menjadi persoalan serius,” kata Hairiah SH, Anggota Komnas HAM Perwakilan Kalbar Divisi Kelompok Khusus.

Dua tahun terakhir, sambungnya, Pemerintah Kota Taipei sedang berupaya agar Taiwan bisa benar-benar menjadi rumah kedua bagi para imigran. Diantaranya dengan mendirikan Wisma Imigran Baru. Letaknya di Distrik Nan-gang dan Distrik Wanhua. Gunanya untuk membantu imigran baru melebur dengan masyarakat setempat. Bahkan sebisa mungkin terasa di kampung halaman sendiri.

Berbagai fasilitas disediakan. Komputer dan majalah berbahasa Inggris, Vietnam, Thailand dan Indonesia disediakan. Disini, para imigran juga bisa belajar memasak, kerajinan tangan, komunikasi dalam rumah tangga, mendidik anak, kesehatan dan memperkenalkan budaya masing-masing. Pemerintah Taiwan juga memfasilitasi terbentuknya TASAT (TransAsia Sisters Association Taiwan). Organisasi ini, memberikan peluang bagi perempuan Warga Negara Asing yang menikah dengan pria Taiwan, berkumpul dan berorganisasi.

“Kalau ada yang mengatakan, Pengantin Pesanan bukan masalah, lihat dulu. Apa karena hanya satu dua orang yang bermasalah, terus kita semua diam,” papar mantan Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH-APIK) Kalbar ini.

Di Taiwan, Pengantin Pesanan, dalam kondisi rentan jika terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Mereka tidak mendapatkan kepastian hukum sebelum menetap selama 4 tahun. Selama itu mereka masih dianggap warga negara kelas rendah. Belum lagi, wellfare system yang hanya dimiliki oleh suami. Status kewarganegaraan anak, juga kerap jadi persoalan sendiri.

Sementara dari awal, praktek Pengantin Pesanan dibarengi dengan berbagai tindak pelanggaran. Pelanggaran itu, lanjutnya bisa berupa pemalsuan identitas, kepemilikan passpor ganda, pemaksaan kehendak, mempekerjakan anak di bawah umur, tipu daya hingga jeratan hutang. Dia bahkan menyebut, Pengantin Pesanan merupakan wajah lain dari trafficking.

Bahwa pernikahan bukan bertujuan untuk mencari pasangan hidup dan kemandirian, melainkan dieksploitasi pihak-pihak tertentu untuk mengeruk keuntungan. Belum lagi pihak perempuan yang menjadi subordinat.
“Ini kejahatan transnasional yang terorganisir,” tegasnya seraya menyebut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Perdagangan Orang sebagai acuan.

Ditemui terpisah, Ketua Komisi D DRPD Kalbar, Anwar S Pd MH menjelaskan, legislatif dan eksekutif, tidak menutup mata dengan persoalan trafiking. Apalagi, Kalbar menjadi basis perdagangan perempuan. Merujuk pada hasil studi IOM (International Organization for Migration) Kalbar, dari sekitar 80,89 persen kasus trafiking di tanah air, terjadi di Kalbar.

Dia menyebut, ada tujuh daerah rawan trafiking di Kalbar. Yaitu, Kabupaten Sambas, Sanggau (Entikong), Bengkayang, Landak, Kapuas Hulu, Kota Pontianak, dan Kota Singkawang.

“Payung hukumnya sudah ada. Perda Nomor 7 tahun 2007 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perdagangan Orang Terutama Perempuan dan Anak,” ujar Anwar yang ditemui dalam sebuah seminar Forum Parlemen.

Perda yang lahir berkat Hak Inisiasi dewan tersebut, juga mengatur tentang Pengantin Pesanan. Perda itu, lanjut Anwar akan memperketat kedatangan Warga Negara Asing (WNA) ke Kalbar. Juga persyaratan Perkawinan Campuran yang lebih ketat. Dus dimungkinkannya alokasi yang lebih besar untuk lembaga-lembaga teknis. Seperti Badan Pemuda dan Olahraga Pemberdayaan Perempuan dan Biro Hukum. Dari mulai sosialisasi hingga advokasi kepada korban-korban trafficking.

Dalam waktu dekat, perda tersebut akan dibuat peraturan turunannya. Baik itu Peraturan Gubernur (pergub) maupun Peraturan Bupati/Walikota. Sosialisasi berjenjang juga akan dilakukan kepada seluruh lapisan masyarakat melalui jejaring yang ada. Dari mulai pemerintah provinsi, kabupaten/kota, kecamatan hingga kelurahan.

Direktur LBH PEKA Singkawang, Rosita Nengsih SH tidak yakin dengan implementasi perda yang sudah menghabiskan budget Rp 50 juta tersebut. Dia berkaca kepada Implementasi Pergub Nomor 86 tahun 2006 tentang Pemberantasan Perdagangan Orang yang dinilainya mandul.
“Buktinya, lihat sendiri, apa tindakan pemerintah untuk korban-korban seperti Alang dan Afung?” tanya dia.

Karena itu, pengamat sosial Prof Dr AB Tangdililing MA menekankan, agar penerapan Perda Nomor 7 tahun 2007, benar-benar menjadi perhatian semua pihak.
“Mereka yang terlibat dalam pelaksanan perda, harus menguasai dan komit dengan tugas dan fungsinya masing-masing,” kata Dekan FISIP Universitas Tanjungpura ini

Dia mengingatkan, pemerintah tidak punya hak untuk mengatur dengan siapa warganya menikah. Yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan pengawasan terhadap perkawinan itu. Misalnya untuk kasus Perkawinan Campuran, tidak ada lagi pemalsuan identitas.
Hairiah, Rosita dan Tangdililing sepakat bahwa akar persoalan Pengantin Pesanan adalah kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan.

Karena itu, pemerintah diminta berupaya lebih keras untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih luas. Sehingga, bisa menekan angka pengangguran. Juga menelurkan kebijakan yang mempermudah akses warga negaranya untuk memperoleh pendidikan minimal hingga Sekolah Menengah Atas (SMA).

Dengan begitu, mereka bisa berinisiatif dalam mencari maupun menciptakan lapangan pekerjaan sendiri. Serta tidak mudah tergiur dan tertipu oleh pihak-pihak yang berupaya memanfaatkan mereka. Sejauh ini, tambah mereka, memang sudah ada upaya untuk melawan pelaku tindak perdagangan orang. Namun baru dilakukan parsial. Belum menjadi sebuah gerakan bersama. Karena itu, sinergi semua pihak mutlak diperlukan.

Fungsi-fungsi organisasi kemasyarakatan, tokoh-tokoh adat dan agama serta pemerintah punya peran penting untuk mengantisipasi jatuhnya korban-korban Pengantin Pesanan berikutnya.(*)

Karya Tulis Feature sudah dimuat di Harian Pontianak Post, Edisi Terbitan Tanggal 17-19 Oktober 2007. Bisa dilihat di www.pontianakpost.com

Hasyim Ashari
Nomor Telephon :
Sekred Pontianak Post (0561) 735071
Pribadi (Handphone) (0561) 7543862, 08115707159
Kepada Yth.
Panitia Lomba Dahlan Iskan Award
Redaksi Jawa Pos, Graha Pena Lantai IV
Jl Ahmad Yani Nomor 88 Surabaya.


Pengirim :
Sekred Pontianak Post
Graha Pontianak Post, Lantai V
Jl. Gajahmada Nomor 2-4 Pontianak


Karya Tulis Feature

Kamis, 21 Agustus 2008

Sepeda NSU


Percaya atau tidak sebuah bahan olok-olokan ternyata menjadi kenyataan. Aku punya teman , namanya Ateng sesama pegila sepeda tua. Kalau kami sedang berjalan bersama naik sepeda, begitu melihat sepeda melengkung aku teriaki NSU, NSU. Rabu (20/8) aku benar-benar menemukan sepeda Neklersummer (NSU).

Sepeda buatan Jerman itu teronggok di sebuah rumah tua di Jl Kemakmuran, Pontianak. Pemiliknya, Brawijaya (76) yang semasa muda dikenal sebagai penjual kelapa muda. Sebagai bukti, dia masih menyimpan foto di sebuah surat kabar lokal yang memuat fotonya sedang mendorong sepeda penuh kelapa di Jl Jenderal Urip, sekarang SMP Negeri 1 Pontianak, 30 tahun silam.

Sekitar pukul 15.00 WIB, aku pulang dari Kantor Komisi Penyiaran dan Informasi Daerah (KPID) Kalbar di Jl Sutan Syahrir, Kotabaru. Karena waktu masih senggang aku tidak memakai motor, melainkan menggunakan sepeda BSA kesayangan. Begitu melintas di Jl Kemakmuran, mataku secara tidak sengaja menatap sepeda warna biru muda, bersandar di sebuah pohon Jambu Air. Awalnya aku menduga sepeda itu sepeda sport biasa. Tapi, lengkungannya sepeda berukuran 28 itu aneh.

Terdorong penasaran, aku memberanikan diri ke rumah yang terbuat dari papan kayu itu. Aku tidak bisa langsung masuk karena pagarnya terkunci rapat. Aku mengucapkan salam dan seorang lelaki tua datang menghampiri. Kepalanya botak, keriput bergelayut di kuit wajahnya yang kecoklatan. Dia hanya mengenakan celana pendek warna merah. Dari pinggang hingga dada tanpa penutup sehelai benangpun.

"Cari siapa," tanyanya.
"Permisi Mbah. Mau lihat sepeda. Boleh kah," jawabku sambil menunjuk sepeda di samping rumah.
"Apa,"
Aku mengulangi lagi perkataanku. Tapi dia tetap tidak mendengar.
"Apa," tanyanya lagi.

Ternyata lelaki tua yang kemudian kuketahui bernama Brawijaya itu, sudah kehilangan sebagian pendengarannya. Setelah menjelaskan dengan suara agak keras, dengan ramah dia mempersilakanku masuk. Aku bergegas karena tidak sabar mellihat jenis sepeda apakah itu. Beberapa bagian batangnya sudah dilas karena keropos. Tapi masih jelas kalau itu sepeda
NSU. Yes!! teriaku dalam hati.

Pertanyaannya, bagaimana sepeda buatan Jerman itu, bisa sampai ke rumah Mbah Brawijaya. Dengan kalimat terbata-bata, Mbah Bra, begitu aku memanggilnya mengajakku masuk ke dapur. Kondisi dapurnya jauh dari bayanganku. Dinding dan lantainya banyak yang rusak karena kayunya sudah rapuh.

Di dapur, istri Mbah Bra, Marsitah, sedang duduk di pinggir tungku. Dia menunggu nasi yang dinanak dengan cara liwet (tidak menggunakan langseng). Sementara itu, dia sibuk menyiapkan ikan asin untuk makan sore mereka hari itu. Sajian yang mereka makan sehari-hari.

"Beginilah. Sehari-hari kami hanya tinggal berdua. Anak sudah berkeluarga semua," kata Mbah Bra lirih.
"Jangan hiraukan dia," ujar Mbah Bra sambil melirik wanita yang sudah memberinya empat orang anak.

Marsitah memang terlihat sehat. Tapi nenek yang hanya mengenakan kemban itu, kerap berbicara sendirian. Dia sering melamun di tepi jendela. Rupanya, sudah dua puluh tahun ingatannya terganggu. Warga sekitar bahkan menyebutnya sudah gila.
"Kalau sedang marah, semua barang dibantingnya sampai pecah. Sudah tak terhitung lagi berapa piring dan gelas yang hancur," papar Mbah Bra menyembunyikan gundah di hatinya.

Mataku menyapu seluruh sudut dapur. Di dindingnya puluhan kantong plasti tergantung berjejer. Entah apa isinya. Ada tumpukan kayu bakar, seng yang diikat, topi polisi kusam, dan bangkai sepeda Rambler Dames yang hanya tinggal batang dan setang. Ada juga kursi kayu tempat Mbah Bra melepas lelah.

Sebuah pelita minyak tanah dari botol Kratingdaeng, jatuh. Lenganku menyenggolnya. Aroma minyak tanah bercampur dengan bau comberan menyengat dari belakang rumah.
Nenek Marsitah bangkit dari duduknya. Dia ternyata masih mampu memasak. Dia tahu kalau nasi dalam panci sudah matang. Aku menatap dua suami istri yang terlihat lelah menghadapi beban hidup itu.

Serta merta, aku teringat Abah dan Emak di Bekasi. Entah bagaimana keadaannya saat ini. Sudah lama aku tidak bertemu mereka, termasuk menelponnya. Saat itu juga, aku mengambil handphone dan menekan nomor telepon adikku Zidun. Aku mendadak kangen dengan Abah dan Emak. Lebih dari itu, aku jadi membayangkan, bagaimana hari tuaku kelak, kalau anak-anak meninggalkan aku dan istriku. Duhh...Gusti,..tidakkah sepi rasanya..

"Mbah sudah biasa begini," ujar lelaki itu.
Kemballi ke sepeda, Mbah Bra mendapatkan sepeda itu tahun 1960-an. Saat itu, dia yang sering melintas di depan Gereja Katedral, Pontianak di dekat Lapangan Bola Keboen Sajoek (kini-PSP) dipanggil seorang suster (Biarawati). Rupanya suster tersebut kerap melihat Brawijaya muda, memikul kelapa muda keliling kota.

"Dia bilang ke saya, mau sepeda apa tidak. Kalau mau ada sepuluh sepeda yang akan dilelang. Sepeda-sepeda itu tidak dipakai lagi karena dri Jerman sudah datang motor Dark Klein Wunder (DKW). Saya bilang mau," paparnya.
Mbah Bra kemudian melihat sepeda-sepeda yang masih bagus itu. Dari 10 unit, dia hanya mengambil dua saja. Delapan lainnya diambil orang lain. Harganya Rp 30 ribu per unit.

Selasa, 05 Agustus 2008

Trend Setter


Kemunculan Tribun Pontianak yang tampil beda, menjadikannya sebagai rujukan bagi koran-koran lain di Kalbar. Lihat saja, ketika edisi perdama muncul dengan grafis memikat, hari beikutnya semua koran menampilkan grafis di halaman muka. Ini bukti nyata, kalau Tribun Pontianak menjadi trend setter

Bukan saja soal grafis, tata wajah juga diikuti. Lihat saja halaman soccer Pontianak Post. Saat ini layout meniru habis-habisan SuperBall Tribun POntianak. Misalnya dengan memakai gambar posteral. Sebelumnya, tatwajah begini tidak pernah dipakai.

penjualan langsung di persimpangan jalan dan lampu merah juga diikuti koran lain. Pontianak Post misalnya terus menempel SPG-SPG yang menjajakan Tribun. Bedanya, kalau Tribun dijual oleh gadis-gadis cantik, koran milik Jawa Pos itu dijual oleh pengecer yang notabene laki-laki semuanya.

Seperti ada kekuatiran di kalangan koran lain, keberadaan Tribun mengancam kelangsungan hidup mereka. Padahal, sejak awal pelajaran yang kami terima adalah Tribun Pontianak punya konsep sendiri. Punya sasaran dan pangsa pasar sendiri. Di sejumlah daerah dimana Tribun dan koran lain berdampingan, tidak secara drastis mengurangi oplah mereka. Malah, sama-sama memiliki oplah yang besar.

Artinya, Tribun hadir dan mampu menjadi bacaan kelompok-kelompok yang selama ini tidak terwakili kepentingannya. Karena kami memang berbeda dan lebih baik. Terlepas dari itu sejatinya tidak perlu ada ketakutan kalau kue bisnis koran akan terkikis. Apalagi menjaganya dengan cara-cara yang tidak elegan dan simpatik. Misalnya dengan saling menghujat produk. Toh pada akhirnya pilihan ada di tangan pembaca.

Senin, 04 Agustus 2008

Fongers, andai..!

Sebelum berangkat ke kantor aku jalan-jalan ke Pasar Tengah, Senin (4/8). Tujuannya mencari spare part atau sepeda tuanya sekalian. Sebab, sepeda BSA ku belum lengkap. Fork atau jepit udang masih menggunakan milik Phoenix. Tiba di kios jual beli sepeda bekas, aku terpana melihat sepeda type gent. Merknya Fongers. Tapi...

Sayang kondisinya sudah tidak orisinil lagi. Banyak bagiannya yang sudah diganti. Yang asli hanya, setang, fork, sepatbor, mata kucing, dan batang. Emblem Fonger sudah lepas, sepakbor depan sudah copot.

Begitu kutanya harganya Rp 400 ribu tidak bisa nego. Ya sudahlah aku memberanikan diri untuk tukar tambah. Aku memang mencari fork depan dan lampu belakang. Pak Haji yang memiliki sepeda itu, ternyata sepakat setelah kami diskusi soal harga. Aku bayar Rp 125 ribu.

Aku tidak sendirian. Ada Ateng, kawanku yang di Kantor Arsip Daerah Kota, ikut nimbrung. Kami bertemu di Pasar Tengah. Singkat cerita, fork dan mata kucing Fongers kini sudah melekat di BSA. Sekaran, tinggal cari lampu bosh dan felk dunlop. Kapan yah dapetnya?

Pasar Tengah Pontianak di Jl Serayu, dikenal luas sebagai surganya barang-barang bekas pakai. Dari mulai baju, onderdil motor, mobil, perkakas rumah tangga, elektronik, hingga sepeda. Semua bisa dijumpai di sana dan asal cocok harga saja.

Pasar itu konon sudah berdiri sejak tahun 1970-an. Pernah beberapa kali terbakar. Namun pedagang di sana tidak pernah kapok. Mereka tetap membuka kios dan berjualan. Pengunjungnyapun tidak pernah sepi. Sebab harga barang memang bersahabat. Beberapa pedagangnya juga ramah dan bersahabat soal harga. Kalau tidak percaya silahkan datang sendiri.

Sabtu, 02 Agustus 2008

Dia Menitikkan Air Mata


Kamis (31/7), kami menggelar rapat budgeting berita. Tidak biasanya, rapat kali ini sangat emosional. Maklumlah, kami akan menerbitkan Tribun Pontianak, Jumat (1/8). Moment itu akan menjadi pertaruhan produk kami apakah akan merebut hati warga Kalbar atau malah sebaliknya. Lebih dari itu, karena di kota yang kecil ini, sudah berdiri kokoh koran-koran milik Jawa Pos Group. Ada Pontianak Post, ada Equator, ada Metro Pontaianak.

Sejatinya, bukan mereka yang membuat kami gentar. Tapi, kami khawatir membuat kesalahan fatal saat lahir. Wajar kalau kemudian kami sangat hati-hati. Mungkin fameo yang mengatakan kesan pertam abegitu menggoda, jadi satu di antara sekian banyak acuan.

Kembali ke ruang rapat. Sebelum memulai budgeting berita, project manajer, Febby Mahendra Putra, meminta kami memanjatkan doa kepada Tuhan, agar menjadi lebih baik. Sejurus kemudian, Doni yang menjadi koordinator layout melafalkan doa-doa. Begitu selesai, kami mengusap wajah masing-masing.

Tapi, Pak Febby masih menegadahkan kedua telapak tangannya. Kedua sikunya bertumpu pada meja kayu. Matanya masih juga terpejam khidmat. Aku yang duduk di kursi paling pojok bisa memandangnya dengan leluasa. Dari pelupuk matanya yang kelelahan ada air mata meleleh. Dia buru-buru menyekanya agar tak kelihatan kami semua. Tapi terlambat, karena pipinya keburu basah. Matanya juga memerah. Dia tak bisa berkata-kata.

Aku hanya menebak apa yang ada dibenak sosok yang banyak dikagumi teman-teman itu. Mungkin Pemred Tribun Batam ini tidak percaya telah membidani lahirnya satu Tribun lagi. Sebelumnya, dia juga yang menjadi Project Manager di Tribun Kaltim, Tribun Timur, Tribun Pekanbaru, Tribun Jabar, dan beberapa koran di bawah Persda Kompas Gramedia.

Saat bertanya-tanya ada apa gerangan, perkataan emosional meluncur deras dari mulutnya. “Ini bukti kalau Tuhan masih sayang dengan kita. Begitu mau terbit, ada berita jatuh dari langit. Harus disyukuri. Sekarang tinggal bagaimana kita mengemasnya,” kata Pak Febby.

Sebelum terbit kami memang sudah menyiapkan Head Line (HL). Mendadak, Kamis (31/7) pukul 08.00 WIB, ada perampok beraksi di dekat rumah Wakil Gubernur Cristiyandi Sanjaya. Perampok tersebut tewas ditembus timah panas yang dilepaskan Pengawal Pak Cris.

Melihat Pak Febby begitu semangat, kami terbawa suasana. Apalagi setelah dia mengajak kami menyatukan tangan kanan sebagai bentuk kesatuan tekad untuk menyajikan berita terbaik di terbitan perdana. Sebelum meninggalkan ruangan kami berteriak lantang…Hei!

Empat hari setelah kami terbit, aku baru tahu mengapa Pak febby menangis saat itu. Saat kutanya, sosok humoris itu mengaku stres berat. Dia merasa sendirian saat melahirkan Tribun POntianak. "Teman tempat saya berbagi, tumbang seminggu sebelum koran ini terbit. Tinggal saya sendirian dan beban ini sungguh berat," ujarnya.

Rupanya, yang dimaksud adalah Pak Herman Dharmo. Direktur Utama Persda itu jatuh sakit selepas melihat langsung persiapan terakhir penerbitan Tribun Pontianak. Dia sempat memberikan pembekalan kepada karyawan baru PT Kapuas Media Grafika. Dalam amanahnya, beliau menyampaikan selamat kepada kami yang telah terpilih.

Sebab menurutnya, ada begitu orang banyak melamar. Namun tidak terpilih. "Karena itu jangan disia-siakan kesempatan ini. Teruslah berkarya untuk kemajuan kita bersama," pesannya. Setelah memberikan pembekalan, Pak Herman yang biasa memanggil saya dengan sebutan Anen (tokoh betawi) itu, pulang ke Jakarta.

Besoknya, kami menerima kabar lewat Pak Febby, Pak Herman masuk rumah sakit. Dia dirawat di sebuah rumah sakit di Singapur. Katanya, ada sesuatu di tulang sumsumnya. Sesuatu itu berasal dari obat pengendali kolesterol yang dikonsumsi.

"Bayangkan, tanpa beliau saya harus memencet tombol. Meski begitu, kepada semua pimpinan saya mengatakan, kalau kami (redaksi) yang paling siap," kata Pak Febby. Kalau tidak begitu, Tribun POntianak tidak akan pernah terbit.