Kamis, 21 Agustus 2008

Sepeda NSU


Percaya atau tidak sebuah bahan olok-olokan ternyata menjadi kenyataan. Aku punya teman , namanya Ateng sesama pegila sepeda tua. Kalau kami sedang berjalan bersama naik sepeda, begitu melihat sepeda melengkung aku teriaki NSU, NSU. Rabu (20/8) aku benar-benar menemukan sepeda Neklersummer (NSU).

Sepeda buatan Jerman itu teronggok di sebuah rumah tua di Jl Kemakmuran, Pontianak. Pemiliknya, Brawijaya (76) yang semasa muda dikenal sebagai penjual kelapa muda. Sebagai bukti, dia masih menyimpan foto di sebuah surat kabar lokal yang memuat fotonya sedang mendorong sepeda penuh kelapa di Jl Jenderal Urip, sekarang SMP Negeri 1 Pontianak, 30 tahun silam.

Sekitar pukul 15.00 WIB, aku pulang dari Kantor Komisi Penyiaran dan Informasi Daerah (KPID) Kalbar di Jl Sutan Syahrir, Kotabaru. Karena waktu masih senggang aku tidak memakai motor, melainkan menggunakan sepeda BSA kesayangan. Begitu melintas di Jl Kemakmuran, mataku secara tidak sengaja menatap sepeda warna biru muda, bersandar di sebuah pohon Jambu Air. Awalnya aku menduga sepeda itu sepeda sport biasa. Tapi, lengkungannya sepeda berukuran 28 itu aneh.

Terdorong penasaran, aku memberanikan diri ke rumah yang terbuat dari papan kayu itu. Aku tidak bisa langsung masuk karena pagarnya terkunci rapat. Aku mengucapkan salam dan seorang lelaki tua datang menghampiri. Kepalanya botak, keriput bergelayut di kuit wajahnya yang kecoklatan. Dia hanya mengenakan celana pendek warna merah. Dari pinggang hingga dada tanpa penutup sehelai benangpun.

"Cari siapa," tanyanya.
"Permisi Mbah. Mau lihat sepeda. Boleh kah," jawabku sambil menunjuk sepeda di samping rumah.
"Apa,"
Aku mengulangi lagi perkataanku. Tapi dia tetap tidak mendengar.
"Apa," tanyanya lagi.

Ternyata lelaki tua yang kemudian kuketahui bernama Brawijaya itu, sudah kehilangan sebagian pendengarannya. Setelah menjelaskan dengan suara agak keras, dengan ramah dia mempersilakanku masuk. Aku bergegas karena tidak sabar mellihat jenis sepeda apakah itu. Beberapa bagian batangnya sudah dilas karena keropos. Tapi masih jelas kalau itu sepeda
NSU. Yes!! teriaku dalam hati.

Pertanyaannya, bagaimana sepeda buatan Jerman itu, bisa sampai ke rumah Mbah Brawijaya. Dengan kalimat terbata-bata, Mbah Bra, begitu aku memanggilnya mengajakku masuk ke dapur. Kondisi dapurnya jauh dari bayanganku. Dinding dan lantainya banyak yang rusak karena kayunya sudah rapuh.

Di dapur, istri Mbah Bra, Marsitah, sedang duduk di pinggir tungku. Dia menunggu nasi yang dinanak dengan cara liwet (tidak menggunakan langseng). Sementara itu, dia sibuk menyiapkan ikan asin untuk makan sore mereka hari itu. Sajian yang mereka makan sehari-hari.

"Beginilah. Sehari-hari kami hanya tinggal berdua. Anak sudah berkeluarga semua," kata Mbah Bra lirih.
"Jangan hiraukan dia," ujar Mbah Bra sambil melirik wanita yang sudah memberinya empat orang anak.

Marsitah memang terlihat sehat. Tapi nenek yang hanya mengenakan kemban itu, kerap berbicara sendirian. Dia sering melamun di tepi jendela. Rupanya, sudah dua puluh tahun ingatannya terganggu. Warga sekitar bahkan menyebutnya sudah gila.
"Kalau sedang marah, semua barang dibantingnya sampai pecah. Sudah tak terhitung lagi berapa piring dan gelas yang hancur," papar Mbah Bra menyembunyikan gundah di hatinya.

Mataku menyapu seluruh sudut dapur. Di dindingnya puluhan kantong plasti tergantung berjejer. Entah apa isinya. Ada tumpukan kayu bakar, seng yang diikat, topi polisi kusam, dan bangkai sepeda Rambler Dames yang hanya tinggal batang dan setang. Ada juga kursi kayu tempat Mbah Bra melepas lelah.

Sebuah pelita minyak tanah dari botol Kratingdaeng, jatuh. Lenganku menyenggolnya. Aroma minyak tanah bercampur dengan bau comberan menyengat dari belakang rumah.
Nenek Marsitah bangkit dari duduknya. Dia ternyata masih mampu memasak. Dia tahu kalau nasi dalam panci sudah matang. Aku menatap dua suami istri yang terlihat lelah menghadapi beban hidup itu.

Serta merta, aku teringat Abah dan Emak di Bekasi. Entah bagaimana keadaannya saat ini. Sudah lama aku tidak bertemu mereka, termasuk menelponnya. Saat itu juga, aku mengambil handphone dan menekan nomor telepon adikku Zidun. Aku mendadak kangen dengan Abah dan Emak. Lebih dari itu, aku jadi membayangkan, bagaimana hari tuaku kelak, kalau anak-anak meninggalkan aku dan istriku. Duhh...Gusti,..tidakkah sepi rasanya..

"Mbah sudah biasa begini," ujar lelaki itu.
Kemballi ke sepeda, Mbah Bra mendapatkan sepeda itu tahun 1960-an. Saat itu, dia yang sering melintas di depan Gereja Katedral, Pontianak di dekat Lapangan Bola Keboen Sajoek (kini-PSP) dipanggil seorang suster (Biarawati). Rupanya suster tersebut kerap melihat Brawijaya muda, memikul kelapa muda keliling kota.

"Dia bilang ke saya, mau sepeda apa tidak. Kalau mau ada sepuluh sepeda yang akan dilelang. Sepeda-sepeda itu tidak dipakai lagi karena dri Jerman sudah datang motor Dark Klein Wunder (DKW). Saya bilang mau," paparnya.
Mbah Bra kemudian melihat sepeda-sepeda yang masih bagus itu. Dari 10 unit, dia hanya mengambil dua saja. Delapan lainnya diambil orang lain. Harganya Rp 30 ribu per unit.

Selasa, 05 Agustus 2008

Trend Setter


Kemunculan Tribun Pontianak yang tampil beda, menjadikannya sebagai rujukan bagi koran-koran lain di Kalbar. Lihat saja, ketika edisi perdama muncul dengan grafis memikat, hari beikutnya semua koran menampilkan grafis di halaman muka. Ini bukti nyata, kalau Tribun Pontianak menjadi trend setter

Bukan saja soal grafis, tata wajah juga diikuti. Lihat saja halaman soccer Pontianak Post. Saat ini layout meniru habis-habisan SuperBall Tribun POntianak. Misalnya dengan memakai gambar posteral. Sebelumnya, tatwajah begini tidak pernah dipakai.

penjualan langsung di persimpangan jalan dan lampu merah juga diikuti koran lain. Pontianak Post misalnya terus menempel SPG-SPG yang menjajakan Tribun. Bedanya, kalau Tribun dijual oleh gadis-gadis cantik, koran milik Jawa Pos itu dijual oleh pengecer yang notabene laki-laki semuanya.

Seperti ada kekuatiran di kalangan koran lain, keberadaan Tribun mengancam kelangsungan hidup mereka. Padahal, sejak awal pelajaran yang kami terima adalah Tribun Pontianak punya konsep sendiri. Punya sasaran dan pangsa pasar sendiri. Di sejumlah daerah dimana Tribun dan koran lain berdampingan, tidak secara drastis mengurangi oplah mereka. Malah, sama-sama memiliki oplah yang besar.

Artinya, Tribun hadir dan mampu menjadi bacaan kelompok-kelompok yang selama ini tidak terwakili kepentingannya. Karena kami memang berbeda dan lebih baik. Terlepas dari itu sejatinya tidak perlu ada ketakutan kalau kue bisnis koran akan terkikis. Apalagi menjaganya dengan cara-cara yang tidak elegan dan simpatik. Misalnya dengan saling menghujat produk. Toh pada akhirnya pilihan ada di tangan pembaca.

Senin, 04 Agustus 2008

Fongers, andai..!

Sebelum berangkat ke kantor aku jalan-jalan ke Pasar Tengah, Senin (4/8). Tujuannya mencari spare part atau sepeda tuanya sekalian. Sebab, sepeda BSA ku belum lengkap. Fork atau jepit udang masih menggunakan milik Phoenix. Tiba di kios jual beli sepeda bekas, aku terpana melihat sepeda type gent. Merknya Fongers. Tapi...

Sayang kondisinya sudah tidak orisinil lagi. Banyak bagiannya yang sudah diganti. Yang asli hanya, setang, fork, sepatbor, mata kucing, dan batang. Emblem Fonger sudah lepas, sepakbor depan sudah copot.

Begitu kutanya harganya Rp 400 ribu tidak bisa nego. Ya sudahlah aku memberanikan diri untuk tukar tambah. Aku memang mencari fork depan dan lampu belakang. Pak Haji yang memiliki sepeda itu, ternyata sepakat setelah kami diskusi soal harga. Aku bayar Rp 125 ribu.

Aku tidak sendirian. Ada Ateng, kawanku yang di Kantor Arsip Daerah Kota, ikut nimbrung. Kami bertemu di Pasar Tengah. Singkat cerita, fork dan mata kucing Fongers kini sudah melekat di BSA. Sekaran, tinggal cari lampu bosh dan felk dunlop. Kapan yah dapetnya?

Pasar Tengah Pontianak di Jl Serayu, dikenal luas sebagai surganya barang-barang bekas pakai. Dari mulai baju, onderdil motor, mobil, perkakas rumah tangga, elektronik, hingga sepeda. Semua bisa dijumpai di sana dan asal cocok harga saja.

Pasar itu konon sudah berdiri sejak tahun 1970-an. Pernah beberapa kali terbakar. Namun pedagang di sana tidak pernah kapok. Mereka tetap membuka kios dan berjualan. Pengunjungnyapun tidak pernah sepi. Sebab harga barang memang bersahabat. Beberapa pedagangnya juga ramah dan bersahabat soal harga. Kalau tidak percaya silahkan datang sendiri.

Sabtu, 02 Agustus 2008

Dia Menitikkan Air Mata


Kamis (31/7), kami menggelar rapat budgeting berita. Tidak biasanya, rapat kali ini sangat emosional. Maklumlah, kami akan menerbitkan Tribun Pontianak, Jumat (1/8). Moment itu akan menjadi pertaruhan produk kami apakah akan merebut hati warga Kalbar atau malah sebaliknya. Lebih dari itu, karena di kota yang kecil ini, sudah berdiri kokoh koran-koran milik Jawa Pos Group. Ada Pontianak Post, ada Equator, ada Metro Pontaianak.

Sejatinya, bukan mereka yang membuat kami gentar. Tapi, kami khawatir membuat kesalahan fatal saat lahir. Wajar kalau kemudian kami sangat hati-hati. Mungkin fameo yang mengatakan kesan pertam abegitu menggoda, jadi satu di antara sekian banyak acuan.

Kembali ke ruang rapat. Sebelum memulai budgeting berita, project manajer, Febby Mahendra Putra, meminta kami memanjatkan doa kepada Tuhan, agar menjadi lebih baik. Sejurus kemudian, Doni yang menjadi koordinator layout melafalkan doa-doa. Begitu selesai, kami mengusap wajah masing-masing.

Tapi, Pak Febby masih menegadahkan kedua telapak tangannya. Kedua sikunya bertumpu pada meja kayu. Matanya masih juga terpejam khidmat. Aku yang duduk di kursi paling pojok bisa memandangnya dengan leluasa. Dari pelupuk matanya yang kelelahan ada air mata meleleh. Dia buru-buru menyekanya agar tak kelihatan kami semua. Tapi terlambat, karena pipinya keburu basah. Matanya juga memerah. Dia tak bisa berkata-kata.

Aku hanya menebak apa yang ada dibenak sosok yang banyak dikagumi teman-teman itu. Mungkin Pemred Tribun Batam ini tidak percaya telah membidani lahirnya satu Tribun lagi. Sebelumnya, dia juga yang menjadi Project Manager di Tribun Kaltim, Tribun Timur, Tribun Pekanbaru, Tribun Jabar, dan beberapa koran di bawah Persda Kompas Gramedia.

Saat bertanya-tanya ada apa gerangan, perkataan emosional meluncur deras dari mulutnya. “Ini bukti kalau Tuhan masih sayang dengan kita. Begitu mau terbit, ada berita jatuh dari langit. Harus disyukuri. Sekarang tinggal bagaimana kita mengemasnya,” kata Pak Febby.

Sebelum terbit kami memang sudah menyiapkan Head Line (HL). Mendadak, Kamis (31/7) pukul 08.00 WIB, ada perampok beraksi di dekat rumah Wakil Gubernur Cristiyandi Sanjaya. Perampok tersebut tewas ditembus timah panas yang dilepaskan Pengawal Pak Cris.

Melihat Pak Febby begitu semangat, kami terbawa suasana. Apalagi setelah dia mengajak kami menyatukan tangan kanan sebagai bentuk kesatuan tekad untuk menyajikan berita terbaik di terbitan perdana. Sebelum meninggalkan ruangan kami berteriak lantang…Hei!

Empat hari setelah kami terbit, aku baru tahu mengapa Pak febby menangis saat itu. Saat kutanya, sosok humoris itu mengaku stres berat. Dia merasa sendirian saat melahirkan Tribun POntianak. "Teman tempat saya berbagi, tumbang seminggu sebelum koran ini terbit. Tinggal saya sendirian dan beban ini sungguh berat," ujarnya.

Rupanya, yang dimaksud adalah Pak Herman Dharmo. Direktur Utama Persda itu jatuh sakit selepas melihat langsung persiapan terakhir penerbitan Tribun Pontianak. Dia sempat memberikan pembekalan kepada karyawan baru PT Kapuas Media Grafika. Dalam amanahnya, beliau menyampaikan selamat kepada kami yang telah terpilih.

Sebab menurutnya, ada begitu orang banyak melamar. Namun tidak terpilih. "Karena itu jangan disia-siakan kesempatan ini. Teruslah berkarya untuk kemajuan kita bersama," pesannya. Setelah memberikan pembekalan, Pak Herman yang biasa memanggil saya dengan sebutan Anen (tokoh betawi) itu, pulang ke Jakarta.

Besoknya, kami menerima kabar lewat Pak Febby, Pak Herman masuk rumah sakit. Dia dirawat di sebuah rumah sakit di Singapur. Katanya, ada sesuatu di tulang sumsumnya. Sesuatu itu berasal dari obat pengendali kolesterol yang dikonsumsi.

"Bayangkan, tanpa beliau saya harus memencet tombol. Meski begitu, kepada semua pimpinan saya mengatakan, kalau kami (redaksi) yang paling siap," kata Pak Febby. Kalau tidak begitu, Tribun POntianak tidak akan pernah terbit.

Jumat, 01 Agustus 2008

Cerpen "Sisi Lain" Escaeva


Cerpenku, Sisi Lain, terpilih satu dari 14 cerpen terbaik di Ajang Kreasi Lomba Cerpen Escaeva-Bukukita.com pada 2007. Cerpen tersebut menyisihkan 1.116 naskah cerpen yang masuk dari seluruh Indonesia. Cerpen-cerpen terbaik itu dibukukan dalam Tembang Bukit Kapur. Berikut disajikan secara utuh Sisi Lain yang diilhami kasus kekerasan seks dalam rumah tangga. Selamat membaca!

Sisi Lain

Di sini. Di ruang yang dipinjamkan semesta, kutapaki tiap jengkal tanah sepi. Di bawah temaram lampu jalanan. Berselimut pekat bernama malam. Bersolek ke lorong-lorong kota. Menawarkan kehangatan kepada kelamin-kelamin yang berjalan kelaparan. Kemudian berlalu meninggalkan jejak, serupa erangan tertahan.

Entah sudah berapa banyak laki-laki. Aku tidak pernah menghitungnya. Kecuali imbalan dan bongkahan keringat yang mereka pertaruhkan.
Entah sejak kapan, kuakrabi malam. Aku tidak pernah bisa mengingatnya. Kecuali diriku yang terus menua.

Padahal waktu kutahu tidak pernah dewasa. Laki-laki dan malam. Kuabdikan seluruh usia tidurku untuk keduanya. Laki-laki menjadikan selongsong jiwaku berarti dan dibutuhkan. Meski hanya selintas pintas.

Tidak mengapa, mungkin disanalah harga diriku diletakkan. Sementara malam, gelapnya menutupi cela. Menenggelamkannya di perut bumi. Atau bahkan menerbangkannya ke angkasa sekalipun. Bersama angin yang basah karena dosa-dosa. Yang jelas, malam selalu punya cara untuk menyimpan rahasia anak manusia. Sementara siang, penuh sesak dengan sterotif. Caci maki pribadi munafik atau nasehat orang-orang sok suci.

Tidak ada ruang longgar, kecuali dipadati bibir-bibir yang mencibir. Tawa mengejek dan mata yang merendahkan. Seolah mereka hidup berdampingan dengan bangkai. Maka jadilah, bergumul dengan malam dan laki-laki, terlalu kuat untuk bisa kotolak.

Disebuah malam laknat. Aku bersama laki-laki. Tubuhnya pualam. Kokoh, dingin. Kecuali kelembutan, tiap geraknya adalah simpatik. Kulepas kancing kemejanya. Nafasnya menderu, onani. Keringatnya mengalir, tembaga. Sebelum kemudian sisa-sisa kehormatan muncrat, membasahi perut bumi yang kami tiduri. Simpan saja uangmu, kataku. Aku tidak memungut bayaran dari lelaki yang kusukai. Datanglah lagi besok malam. Akan kubuat kau merangkak. Akan kubuat matamu terbelalak. Seperti anak kecil yang mencari tetek ibunya. Hatiku berbinar. Bangga, punya kuasa atas laki-laki. Maka matilah kesendirian serta kesepian di jiwaku. Selepas dia pergi, aku mual dan muntah-muntah.

Di malam laknat yang lain, aku bersama laki-laki lain. Ia merajam tubuhku. Susuku disulut baramerah puntung rokok. Kemaluanku disayat mata belati mengkilat. Kaki dan tangaku diikat. Punggungku yang putih dan padat, dicambuk dengan sabuk. Darah mengalir anyir. Sementara mereka terbahak. Meraung buas. Bertengger di perutku, dengan darah yang menggelegak. Tapi tiba-tiba polisi mendobrak pintu hotel. Aku tergeregap. Sial, padahal aku sedang di puncak orgasme. Laki-laki itupun berlalu. Tanpa membayar pula. Kuasaku atas laki-laki tercampak.

Bagiku di dunia yang kenikmatan menjadi kewajiban, tidak ada yang abadi. Tidak kuasa. Apalagi cinta. Kecuali nafsu yang menjadi budak setia. Sebab cinta dan kuasa diciptakan bagi orang-orang suci. Yang menjunjung tingi harga diri. Itupun, bukan untuk dijual. Tapi untuk dibagi. Sebagai tanda mata, telah saling mengasihi. Barangkali.

Aku masih berselimut, ketika pagi jatuh di lantai empat. Sinarnya menembus jendela dan mencetak garis keemasan di dinding hotel yang dingin. Di saat seperti inilah, ketika kehidupan seolah baru dilahirkan kembali, kesadaranku tumbuh. Kurasa, pintu taubat tinggal setapak lagi. Namun aku tak pernah benar-benar bisa memeluk-Nya. Bahwa hidupku untuk laki-laki dan malam, tidak ada keraguan tersisa.

Aku pernah mencoba berontak. Mencari celah sekedar keluar untuk hidup normal. Meski hidup normal saja tidak cukup untuk mengarungi kehidupan. Tapi minimal, aku bersuami. Yang namanya kusayangi seperti namaku sendiri. Alangkah bahagia melayani laki-laki yang telah meminangku dengan mas kawin dari hati yang ikhlas. Kemudian melahirkan anak-anak yang nafasnya puisi. Tentu menyenangkan menyiapkan sarapan dan membacakan dongeng sebelum mereka tidur.

Air mataku yang kering, luruh kembali. Mengenang berjuta sperma bersarang di mulut dan di perutku. Seharusnya aku sudah melahirkan ratusan bayi-bayi. Yang tawanya mengobati keluh kesah. Yang tangisnya mempererat tali nikah. Tapi demi ongkos tidak seberapa, benih itu kucampakkan. Menjadikannya sia-sia. Seperti usiaku yang terbang percuma, palsu dan mati muda. Sperma-sperma itu, kering kerontang bahkan sebelum sempat menggauli belahan jiwanya.

Terpikir olehku, mereka menungguku di pintu kubur. Berbaris seperti para penziarah. Dengan tarian selamat datang yang syairnya sumpah serapah.
Atau entahlah. Kesadaran itu serentak berhamburan, seiring senja yang menua di kaki langit. Tuhan kembali membenamkanku ke lembah noda. Mengirimkan ratusan, bahkan ribuan iblis berkepaksayap ke pangkuanku. Membisikan bahwa hidup adalah penderitaan. Nafsu dan dosa itu ibadah. Mari hidup berpisah. Jangan melahirkan. Lalu Iblis-iblis itu memakaikan lipstik lagi. Membedaki wajahku lagi. Memakaikan gaun seronok lagi. Membimbingku berjalan ke lorong-lorong kota lagi. Lorong-lorong yang sepi. Lorong relung hatiku sendiri.

Melacur adalah kenyataan yang menyakitkan. Tapi inilah satu-satunya kenyataan hidup yang kumiliki. Tuhan memberiku kesadaran ketika pagi, dan mengaburkannya di sore hari. Aku seperti melakoni peran tentang epik tak berkesudahan. Peran yang membuatku berhenti berkehendak untuk berkuasa. Meski itu kupertaruhkan atas nama, hidupku sendiri. Atau, memang inilah takdirku. Sebagai batu ujian. Bagimu, bagi kalian. Pengusaha, pejabat, birokrat, politikus, gembel, atau guru dan agamawan sekalipun. Lewat takdirku, mereka melesat menuju puncak iman. Dengan takdirku, mereka bergelimang lumpur dosa-dosa.

Ibu. Tiba-tiba kecantikannya menggangguku. Hatiku jadi rindu. Entah bagaimana keadaannya setelah hari itu. Pagi masih buta ketika kemarahan bapak meledak-ledak. Tepat di hari ulang tahunku yang ke-17. Hari terakhir, dimana kuputuskan menanggalkan seluruh beban di bawah selimut.
“Ini salah mu,”
“Mengapa salahku,”
“Sebab kau melahirkannya,”
“Kau yang ingin punya anak lagi,”
“Tapi bukan seperti dia,”
“Dia anak kita juga,”
“Memang. Anak yang buat malu. Bawa sial,”
“Karena itu kita harus membimbingnya,”
“Kau saja yang bimbing. Aku sudah kehilangan muka,”
“Apa harus kehilangan dia juga, pak,”
“Itu lebih baik,”
“Pak..nanti dia dengar,”
“Itu lebih baik lagi,”

Bapak berlalu. Pintu dibantingnya. Keras. Sekeras hatinya. Kusaksikan semua dibalik daun pintu. Bukan barang satu dua kali. Tapi setiap ada kesempatan. Pernah di tengah hari, diujung pertengkaran ayah menampar wajah ibu. Hingga ibu tersungkur menumbuk sofa biru kesayangannya. Tentu saja dengan darah segar merembesi bibirnya.

Sadar sumber keributan, aku memilih jalan menikung. Kemudian hilang. Dari mereka. Dari hidupku sendiri. Ibu terisak. Air matanya tidak tumpah. Mungkin kering setelah membelaku habis-habisan. Sejauh usia kesabarannya. Aku tidak berani bersirobok dengan matanya. Takut kalau ia bisa membaca kebohongan yang kupendam dalam-dalam. Tiga tahun yang lalu. Ketika tubuhku yang laki-laki, ditindih berkali-kali. Dengan tatapan amarah, juga dendam. Dari sepasang mata nanar, milik bapak.

Singkawang, April 2004

Ngasong Terbitan Perdana


Jumat (1/8) harian Tribun Pontianak terbit untuk pertama kalinya di Kalbar. Aku tidak ingin menyia-nyiakan moment bersejarah itu. Meski mata mengantuk berat, aku memutuskan ikut memasarkan koran ke-11 Persda milik Kompas Gramedia itu. Untuk pertama kalinya pula sepanjang delapan tahun berkarir di surat kabar, aku menjadi pengasong.

Sekitar 30 eksemplar koran yang kubawa habis terjual dalam waktu 20 menit. Perasaan senang, haru, dan bangga menyeruak masuk di dada. Bahkan aku nyaris menitikkan air mata begitu seorang pembeli membayar lembaran koran pertama yang kupegang. Teriknya matahari tidak lagi kuhiraukan. Aku kian bersemangat. Setiap lampu merah menyala, kusapa tiap pengendara motor dan mobil. Tentu saja sambil menenteng Tribun Pontianak sambil berteriak "Pengawal Wakil Gubernur Tembak Mati Perampok. Seribu rupiah 24 halaman" berkali-kali. Tidak terasa koran yang kujinjing habis tak bersisa.