Minggu, 05 September 2010

Jepin di Ambang Kepunahan


* Jepin di Ambang Kepunahan
Pegiat dan mantan penari Jepin Kalbar, Juhermi Thahir (51), mengaku prihatin dengan perkembangan tari Jepin di Kalimantan Barat. Ia melihat, beberapa jenis tari Jepin di antaranya sudah di ambang kepunahan.

"Ada beberapa alasan mengapa Jepin yang menjadi ciri khas Melayu terancam punah. Di antaranya karena terjadi pergeseran pegiat seni tari yang cenderung ke arah tari kreasi dan kontemporer bukan khas nuansa Jepin. Sementara di sisi lain, banyak para pembina yang meninggal. Perhatian pemerintah daerah terhadap Jepin juga kurang," kata Juhermi kepada Tribun, Sabtu (5/6) sore.

Ditemui di sebuh warung kopi di Jl Tanjungraya 1, fotograper Harian Berkat ini menuturkan mereka yang memiliki pengetahuan cukup tentang akar Jepin, banyak yang sudah meninggal. Di antaranya adalah Almarhum Yanes Chaniago, Inang Suparni, Hj Nuraini Zamil, Yusuf Daemar. Mereka adalah angkatan 1960-1980.

"Saya melihat antusiasme generasi muda terhadap seni tari tradisional, terutama Jepin, cukup besar. Yang hilang adalah para pengembang (seniman pencipta) Jepin. Mereka tidak tahu harus belajar ke mana, dengan siapa. Ini yang membuat seni tari tradisional tersingkir," ujarnya.

Belum lagi, sebagian seniman yang sudah berbuat kebingungan harus menyalurkan kreasi tarinya ke mana. Tidak ada pagelaran dan ajang festival sebagai tolok ukur keberhasilan pengembangan tari Jepin.

Kalau pun ada, Jepin hanya disajikan dalam bentuk parsial. Sekadar hiburan, habis ditonton selesai. Padahal, Jepin tidak hanya tarian, ia punya makna dan deskripsi, nilai historis, serta akar budaya di masyarakat.

"Ini yang kita sayangkan. Pemerintah, dalam hal ini Taman Budaya dan Dinas Pariwisata harus cepat masuk. Semua terjadi akibat pembinaan yang tidak tepat. Jepin tidak digarap, tidak digali, tidak terdokumentasikan langsung di akar-akarnya di masyarakat," tegasnya.

Lelaki bersahaja ini menambahkan, sebenarnya Jepin tetap ada di tengah-tengah masyarakat Melayu. Namun, tetap saja dibutuhkan pembinaan dan perhatian pemerintah. Butuh sinergi antara seniman pencipta, sanggar, dan pemerintah. "Di Samarinda, di Bali, juga di Riau ada perkampungan seni. Mengapa kita tidak," tanyanya.

Juhermi bersyukur, karena beberapa orang masih konsekuen melestarikan Jepin. Di antaranya, di Sambas ada Nazamudin, Muin Ikram, dan Muslimah. Di Mempawah ada Bambang, di Pontianak lestari di sejumlah sanggar seperti, Kijang Berantai, Andari, dan Bougenville.

Ia berharap, seperti era 1980, tari tradisional terutama Jepin bisa diperkenalkan ke sekolah- sekolah. Jika tidak dalam bentuk ekstrakurikuler, sejatinya muatan lokal (Mulok).

Pimpinan Sanggar Andari, Kusmindari (41), mengatakan tidak semua Jepin di ambang kepunahan. "Memang ada beberapa. Di antaranya adalah Jepin Tali dan Jepin Langkah Sanggar Remaja 80. Itu yang kita dorong dan hidupkan kembali. Hati saya terpanggil untuk melestarikan Jepin saat melihat pentas seni siswa SD. Mereka mengaku membawakan Jepin, tapi sebenarnya tidak. Dari musiknya saja bukan khas Jepin," kata Kusmendari.

Ditemui di sanggarnya di Jl Halmahera I nomor 85, Kusmendari punya obsesi untuk menulis dan mendokumentasikan secara lengkap tari Jepin Kalbar. Termasuk meminta pemerintah untuk memasukan Jepin ke dalam materi mulok di sekolah-sekolah.

"Saya berpikir untuk 10 tahun mendatang, jika Jepin tidak dilestarikan, Kalbar akan kehilangan identitas Melayunya," tegasnya.

Berkembang di Keraton

Jepin masuk pertama kali ke Kalbar dari Arab sekitar abad ke-15, tepatnya di Kecamatan Tebas, Kabupaten Sambas pada 1928. Jepin yang berfungsi sebagai alat penyebarluas agama Islam kemudian menyebar ke Sambas dan daerah lain.

Sebut saja, Kerajaan Tanjungpura, Sukadana, Simpang, Mempawah, Landak, Tayan, Meliau, Sanggau, Sekadau, Sintang, Kubu, dan Kesultanan Pontianak.

"Ada beberapa versi Jepin. Di Sambas dikenal dengan Jepin Lembut. Di Pontianak ada Jepin Bui, daerah lainnya Jepin Langkah," kata mantan penata Teknis Taman Budaya, Juhermi Thahir.

Ia memaparkan Jepin Lembut hanya dimainkan dua penari laki-laki. Gerakannya mengutamakan olah tubuh yang gemulai, indah, lembut dan mengarah pada gerakan salat dan berdoa. Lagu- lagunya juga berisi tentang pujian kepada nabi dan asma Allah.

Pengiringnya musik tradisional Gambus Lodang dengan alat ketipung tiga buah dan gendang panjang. Sementara Jepin yang berkembang di Pontianak lebih banyak menggunakan properti. Alat apa yang dibawa saat menari, itulah nama tariannya.

Misalnya bawa kipas, namanya Jepin Kipas, pakai tali jadi Jepin Tali. Properti itu untuk memeprkaya agar tidak tertinggal. Penarinya pun disesuaikan, bisa dua orang laki-laki, berpasangan, bisa juga ramai-ramai karena tuntutan keindahan.

Alat musik yang digunakan pun lebih kaya. Misalnya, ada ketipung bawas, tanpa gendang panjang, ditambah akordeon dan biola. Namun, lagunya tetap islami.

"Meski ada perbedaan, namun pola langkahnya sama karena baku. Yaitu, langkah biasa, gantung, gencat, dan serong. Keunikan Jepin Lembut Sambas, penarinya juga harus ikut menyanyi. Sementara Pontianak, yang bernyanyi hanya dimainkan penggambusnya," ujar Juhermi.

Pimpinan Sanggar Andari, Kusmendari, menambahkan Jepin sangat khas. Gerakan dan musiknya sudah baku.

"Dibuka dengan laram, lampas, salam pembuka, ragam jepin, satu lagu perpindahan ditentukan lampas, dan ditutup dengan ya salam tahtim. Suara gendangnya juga spesifik. Tung.. tak..tung.. tung..tak..tung," imbuh Kusmendari yang kita membina 75 anggota aktif di Sanggar Andari.

Budi (24), Penari
Irama Syahdu

Tujuan utama terjun ke dunia tari, untuk melestarikan seni budaya. Sekalian, karena sibuk di luar menari jadi olahraga dan membentuk badan. Saya suka tari Jepin karena iramanya yang lebih syahdu.

Apalagi kalau di awal dimulai dengan musik gambus. Setiap tari memiliki kesulitan tersendiri. Nah, di Jepin kesulitannya ada di langkah. Harus lebih fokus. Sebab salah hitungan sekali saja, semua langkah akan salah.

Yuniantini (32), Penari
Langkah Susah

Saya sudah menekuni tari, termasuk Jepin sejak umur 3 tahun. Mungkin karena ada darah seni mengalir di tubuh saya dari orangtua, Utin Srri Bunian yang juga penari dan Agus Ahmad Kamandi.

Kalau bisa dibilang, saya mengusai hampir semua jenis Jepin. Dibandingkan tarian lain, Jepin memang sangat susah di langkah. (hsm)

Nasib Pegiat Jepin

Juhermi, mengenal seni tari tradisional sejak mengenyam pendidikan di SDN 3 Tarempak dan SMP Swasta Siantan, Tanjungpinang, Riau Kepulauan, 1969. Ia membawa kecintaannya terhadap seni ke Pontianak bersama kepindahan kakaknya, Ruzhan Thahir, yang tugas di Bulog Kalbar pada 1977.

"Saya masuk kelas 3 di SMP Muhammadiyah Pontianak. Di sini saya memberanikan diri untuk mengajar tari. Saya rekrut 11 pasang atau 22 orang siswa-siswi untuk mengikuti Festival Tari Nasional se-Kota Pontianak. Hasilnya, kami Juara II," kenang suami dari Maniah M Noor ini.

Atas bakatnya itu, ia diminta melatih di Bidang Kesenian Dinas Pendidikan dan Kebudayaan sejak 1978-1980 sebelum akhirnya ditarik ke Taman Budaya Kalbar dan bertemu Fadil A Bakar.

"Dari beliaulah, saya belajar Jepin untuk pertama kali. Sejak saat itu, saya terus berburu guru- guru Jepin terbaik di penjuru Kalbar. Saya datangi langsung Nazamuddin di Sambas dan Hepsi di Singkawang untuk mengenal pola dasar Jepin Kalbar," papar Juhermi.

Juhermi pun banyak beradaptasi dengan narasumber di akar-akar dan pusat Jepin di masyarakat. Ada Pak Kuyung (Teluk Pakedai), Ce Mahmud dan Wanto (Sungai Jawi), dan Pak Usman (Batulayang).

Belajar langsung dari para ahli Jepin itu, membuat Juhermi mampu menggarap beberapa tari. Di antaranya Lenggang Kapuas (1982), Jepin Tempurung untuk peresmian GOR Pangsuma, Jepin Kembang Manggar tampil di Istiqlal (1991), Canggah Tiga di Mempawah, dan Tari Bumarang. Puncaknya adalah saat MTQ XIV tingkat nasional 1985.

Kalbar sebagai tuan rumah diminta mengisi malam ta'aruf dengan tarian kolosal. "Semua pelatih tari menolak karena waktu hanya sebulan. Saya yang sat itu sedang sakit, merasa terpanggil untuk menyelamatkan wajah Kalbar. Hasilnya, kami memukau pengunjung dengan Jepin Jala yang dibawakan 400 penari. Bagi saya, itu adalah master piece," kenang ayah dari Sarmia Wardani (20), Syahrani (17), dan Rizki Fahrisi (10) ini.

Namun, pagelaran itu pula yang membuatnya patah semangat. Bahkan, ia berhenti menekuni Jepin nyaris 5 tahun setelahnya.

"Saya trauma, terluka, dan sedih menusuk hati. Meski berhasil malam itu, tak satupun pangakuan datang dari pemerintah daerah. Padahal, cukuplah dengan selembar sertifikat penghargaan. Di tempat lain, saya mendapatkannya. Tapi tidak di rumah sendiri," ujarnya. (hasyim ashari)