Sabtu, 24 Oktober 2009

Menjemput Maut

Oleh: Hasyim Ashari
Pada parak pagi, Aku terbangun. Terperanjat mendapati api sudah berkobar di mana-mana. Sebentar melompat ke dinding, sejurus kemudian menerjang lemari pakaian. Meninggalkan baramerah di daun pintu. Sisanya mengapit langit-langit. Kemudian jatuh melelehkan lantai.

Sedang kasurku yang usang, entah kenapa lidah api enggan menjilatnya. Kecuali kepekatan asap yang mulai menusuk tulang iga. Sangit yang menggigit, menuntunku menembus bara yang menggetarkan raga.

Mendatangkan tanya yang berkecamuk. Apa gerangan yang sedang terjadi. Mengapa semuanya sekian berubah. Padahal, semalam masih kulihat sebaris harapan. Berpendar bersama gemintang di keluasaan cakrawala. Sejenak setelah ayah menyanjungku.

"Ayah mengeluarkan dua juta sperma ketika ereksi. Dari jumlah itu, hanya seratus ribu yang selamat. Dan kau satu-satunya yang berhasil bertemu indung telur di rahim ibumu. Sebelum lahir, kau sudah memenangkan pertarungan besar. Jadi jangan sia-siakan hidupmu. Hasilkanlah sebanyak mungkin uang, karena dengan uang kau bisa membeli segalanya. Untuk itu, melanggar prinsip sesekali, tidak apa. Dan jika seseorang mempercayaimu, terimalah dengan jiwa besar. Karena tanpa itu, kau bukan siapa-siapa," kata-kata ayah seperti wasiat.

Dan iapun menutup ceritanya dengan menegaskan dirinya tidak tidur saat aku dilahirkan.
"Ayah manapun akan melakukan hal serupa. Sebuah keajaiban, menemanimu melihat dunia untuk pertama kali. Kau adalah pelipur perih ayah setelah kehilangan pekerjaan," ujarnya.

Kemudian, aku lelap dalam dekapan malam. Dengan angan mengembang, asa yang menyala-nyala dan cita-cita yang mengangkasa. Tapi pagi ini, hanya aroma kematian yang menyeruak. Bergerak di puncak ilalang yang mulai tegak.

Pada api yang tidak lagi jinak. Aku beringsut, mencoba duduk. "Kau sudah bangun, Anakku. Sini dekat ayah," suaranya bergetar datar.

Aku segera meruap meraih sisi lengannya yang perkasa. Kupenuhi gerak dengan gurat isyarat. Bahwa bayang ketakutan datang entah darimana. Meracun nafasku, hingga tarik alirnya tersengal-engah.

Ayah menghela nafas. Berat, dalam dan tersendat. Bukan karena asap yang mulai pekat. Tapi seperti dihimpit beban dahsyat. Dan dibiarkannya tetap begitu. Sesaat, pandangannya menyapu seluruh ruangan. Berhenti menumbuk mataku.

Tapi keteduhan di wajahnya itu, seolah luluh runtuh. Ada semacam senyuman yang tidak jadi. Yang isinya cukilan misteri yang sukar kupahami. Entah bagaimana, aku merasa maut sedang bertengger di matanya. Memburu nadinya. Mengoyak belulangnya. Menohok jantungku sendiri.

Dalam sekejap kematian yang tertutup rapat, kini ikhwal yang terbentang gamblang. Sedang aku berubah ciut. Seperti guratan fajar yang membentuk bayang kehitaman cecabang pohon-pohon perdu di halaman belakang.

Aku tahu pasti akan mati. Yang tetap tidak kuketahui adalah, akan kemanakah kematian membawa ayah, membawa jiwaku serta. Adakah menjelma sebentuk burung Srigunting, di kehidupan selanjutnya. Yang menukik menyambar perjalanan hidupku yang singkat.

Atau aku akan berserak serupa debu. Melayang di semesta purba. Untuk kemudian tersesat dan menetap entah di tubuh siapa. Atau, aku tidak akan terlahir kembali. Hanya Mati saja. Dan siklus transendensi, berhenti. Titik. Dengan begitu tugas laki-laki sejati tidak pernah tuntas. Aku gagal membangun dinasti untuk orang-orang yang kucintai.

Tujuh belas hari yang lalu. Usai menerima surat merah jambu yang lusuh dan berdebu. Ayah seperti mayat di keranda. Diam dan dingin. Yang tersisa dari seluruh waktunya hanya kemarahan yang dipendam. Kesedihan dan kegamangan yang menjurang. Keputusasaan yang menenggelamkan keajaibannya sebagai suami, sebagai ayah dan sebagai dirinya sendiri. Ohh dimanakah cinta. Bukankah cinta adalah naluri manusia yang paling hakiki. Tanpanya, bagaimana melintasi senja.

Meski udara mulai menipis. Bahkan panas kian mengganas. Aku tidak berani bertanya. Sampai ayah memutuskan berbicara. Dengan cerita tanpa kata. Sebab putus oleh derita. Dalam kamar yang semakin membara. Penuturannya lara.

"Jika waktunya tiba, kejarlah gadis-gadis yang menarik. Jaga dan perlakukan mereka seperti putri raja. Karena memang begitulah adanya mereka. Jangan ulangi kesalahan ayah," Ayah menutup bibirnya dengan gigi bergeretak.

Di matanya terlihat mendung dan petir yang siap mengubahnya menjadi hujan. Wajahnya berpaling ke arah bantal berwarna biru, yang dibelinya untuk melamar ibu. Sepuluh tahun yang lalu.

Ayah benar-benar menangis. Tanpa air mata. Sebab kering terseka tebaran bara.
Ibu. Sosoknya seperti sebuah masa lalu. Bagai kilatan gambaran di kepala. Muncul begitu saja, lalu meruap entah kemana.

Tapi begitu nyata. Sebab kurasa emosi. Seperti ketika aku ingin menikam ayah, karena hanya diam. Diam dalam api yang sekam. Diam membiarkan ibu menghilang. Dari hari-hariku yang masih panjang. Dulu, dulu sekali. Ketika sebuah bisikan lembutnya, mengabarkan kalau usiaku menginjak 3 tahun. Tepat ketika ayam berkokok, ibu mengecup bibirku, mengusap rambutku.
"Jagoan ibu, jangan nakal yah."

Sosok elok itu dengan langkah sedikit berpaling, pergi menjinjing tas besar berwarna hitam. Lalu sirna bersama bus antar negara. Meninggalkan aku yang meronta di pelukan ayah. Aku kehilangan kecantikannya.
Ibuku memang cantik. Ayu sekali. Seperti penjelmaan dewi dan bidadari. Hatinya seperti peri. Rahangnya indah. Wajahnya dipenuhi taman bunga. Matanya embun cemara. Kalau tertidur, ia seperti berbicara banyak hal.

Entah bagaimana kalau ia bangun. Ibu memang hanya bangun kalau hendak menyusuiku. Selebihnya ia tidur dengan senyuman senja musim hujan. Begitulah, tidak ada yang menandingi naturalnya cinta.

Sangit sudah di mana-mana. Api semakin cepat saja merambat. Di luar, terdengar hiruk pikuk para tetangga. Kuyakin mereka kalang kabut. Sebab pagi ini bukan dipenuhi kabut, tapi api yang melaut. Aku dan ayah masih berdekapan. Duduk di atas tempat tidur. Bersandar pada dinding yang tidak lagi dingin.

"Baruna. Ini surat yang dikirim ibumu. Bacalah, agar kau tidak lagi bertanya, mengapa pagi ini semuanya bara,"

Belum sempat aku menjamahnya, atap rumah tiba-tiba runtuh. Jatuh tepat di sampingku. Baramerah berpencar seperti kembang api. Arang dan asap pekat. Aku tergagap. Dekapan ayah terlepas.

Surat di genggamanku terlontar dan terbakar. Sejurus kemudian, sepraiku yang dekil, berkobar. Lidah-lidah api mengejar dan menjalar dengan sangar. Aku masih melihat ayah menggelepar. Selain nyawanya yang meregang, seluruh tubuhnya adalah api. Tapi keperkasaannya bangkit dan berontak.

"Tuhan. Sudah kuputuskan, kalau kematian menjadi jalanku. Tempat dimana aku bisa berkehendak untuk berkuasa. Kematian akan menjadi kuasaku. Bukan kuasa-MU lagi. Kini akulah Sang Dalang. Akan kubuat Kau tergamam, mungkin juga sekian sedih. Bukankah begitu kau permainkan kami. Kau buat kami menangis, lain waktu Kau buat kami tertawa. Kini, lihatlah baik-baik. Aku, hamba-Mu yang taat, hamba-Mu yang dibalut taubat, akan tersayat. Lumat oleh hasrat. Hasrat untuk membunuh-Mu. Karena Kau sudah membiarkan, kehormatan istriku dikoyak majikan murtad. Karena Kau tidak berbuat apa-apa ketika kepala istriku pecah, terjun dari apartemen berlantai tujuh. Bangsaat! Keluarlah Kau Tuhan. Hadapi kuasaku,"

Dalam asap yang menggulung, ayah terhuyung. Terjerembab di tepi tempat tidur. Aku beringsut. Tapi ayah berhasil menggapai dan mendekapku. Dalam sekejap, api meraih rambut, wajah dan kulitku. Tapi aku malah menggigil kedinginan.

Kurasa maut segera menjelang. Datang bersama ibu yang kurindu. Dan kematian jadi begitu membahagiakan. Bersahaja dan baka. Seperti kehidupan, aku menanti kematian kembali setiap fajar. Juga ketika senja kala. Sebab kematian adalah selapis emas yang sedih.

Atau mungkin enigma tak bertepi. Aku tidak pernah sampai menyentuh dasar maknanya. Kecuali aku hanya bocah dengan keterbelakangan mental seumur hidup. Yang dibesarkan oleh kecewa. Yang kehadirannya ditolak oleh cinta.

Sungai Jawi, April 2005

Jumat, 09 Oktober 2009

Mananggar


Oleh: Hasyim Ashari
Dia satu-satunya lelaki yang tahu, bagaimana menyentuh hatiku dengan benar. Kharismanya berpendar, bersama tutur sapanya yang mutiara. Mengobati dahagaku dari reguk cinta yang sempurna.

Ia pernah memberiku setangkai mawar. Hanya karena hari itu adalah hari kamis. Romantis, manis. Menerima hadiah bukan karena kita sedang merayakan sesuatu. Sementara hasratnya, bisa membakar gairah yang sudah lama mati sekalipun. Tanpa diminta, ia sudah mengerti apa yang diinginkan seorang istri.

Sebelum kami saling mendekap dengan peluh yang melaut, langit-langit runtuh, kasur dan guling jebol, diterjang gelombang kasmaran. Oooh….!! Begitu dasyat. Selalu dasyat. Kelembutan, keindahan dan kasih sayang. Semua kudapatkan. Sebelum kemudian ajal mengakhiri segalanya.

Aku sedang mengiris mangga muda. Tiba-tiba ambulance meraung mengabarkan kematian. Auranya menebar kengerian. Membangkitkan bulu roma. Senja yang gerimis menjadi miris. Aku terperanjat.

Di luar orang mengetuk pintu. Suaranya terdengar seperti malaikat maut. Darahku berdesir, menyambar-nyambar seperti petir. Kecuali putih yang kulihat, kemudian semuanya menjadi gelap.

Aku pingsan. Tak kuasa memandang wajahnya pasi, bibirnya terkatup dan jemarinya tanpa geming. Entrapment berupa air deras yang datang tiba-tiba di buritan, gagal ditaklukannya. Perahu karetnya terhempas. Arus hole menggulungnya. Suamiku kehabisan nafas. Suamiku tewas.

Tidak. Ini tidak mungkin terjadi. Tapi kenyataan ini, sungguh tak terbantahkan. Aku tenggelam dalam linangan air mata yang melaut. Membayangkan harus menghabiskan separuh usia tanpa dirinya.

Kesedihan mengurungku. Hujan do'a sekalipun tidak mampu menyejukkan. Kehilangan menjadi kewajiban yang amat menyakitkan. Waktu telah mengubah segala-galanya. Meski hati kurebahkan pada tabah, tapi tetap terasa berat. Berat, karena aku harus belajar hidup lagi.

Sementara gerbang kematian menawarkan ruang maha lega. Jika bukan karena kandunganku, pasti sudah kuturut suamiku. Dengan mata pisau tertancap di ulu hati. Tentu saja.

"Sarah..adakah kau rindu pada bebatuan yang bertebaran, arus yang mendebarkan, deretan pohon-pohon Tengkawang, kicau Burung Tingkil dan angin yang mendesir tenang. Sungguh, layaknya harmoni mahakarya. Sebuah kedamaian yang memberi semua pengertian. Sayang, izinkan aku ke Mananggar. Lusa aku kembali. Aku menyayangimu. Jika bukan karenamu, aku tidak akan bisa berdiri tegar sampai hari ini. Tapi aku juga membutuhkan Mananggar," itulah kalimat terakhir yang kudengar, dari bibirnya yang mengobati lara. Ia kemudian menyambar perahu karet, pelampung, padle, helm dan sandal gunung.

Mananggar dan suamiku. Keduanya seperti lahir dan ditakdirkan untuk tidak terpisahkan. Suamiku telah jatuh cinta kepada panorama air terjun bertingkat tujuh itu. Bahkan sebelum keduanya dipertemukan oleh pandangan pertama.

Wajar. Sebab di tubuh Mas Doni mengalir darah petualang. Sedang Mananggar menanti ditaklukkan. Alurnya yang menganak sungai, memiliki arus bolak-balik yang unik. Karena itu, suamiku rela menempuh perjalanan 200 kilometer.

Sebulan dua kali ia rela bergegas meninggalkan Pontianak menuju Desa Serimbu, Kecamatan Air Besar, Kabupaten Landak. Katanya, Mananggar telah banyak mengajarkan kebijaksanaan. Alam memiliki philosofi sendiri tentang hidup dan kematian.

"Bayangkan. Ukuran kita dibanding perbukitan itu, sungai-sungai itu, hamparan sabana itu, ribuan pepohonan itu. Kita hanya partikel terkecil dari cakrawala. Bahkan jika kita matipun, tak mempengaruhi semesta. Waktu tetap berputar. Melahirkan jiwa-jiwa yang lapar. Berkaca dari itu, bukankah tidak ada masalah besar dalam kehidupan manusia. Yang ada hanya masalah kecil yang belum ditemukan solusinya," kata suamiku ketika aku dibawanya serta, suatu ketika. Menutupi galau di hatinya.

Sebenarnya aku kuatir. Tapi tak kuasa menolak inginnya. Aku mencoba memahami perasaannya. Sebelas tahun menunggu momongan, tentu membuatnya lelah. Penantian tak berujung mengantarnya ke puncak putus asa. Sudah habis rasanya seluruh upaya.

Dari konsultasi ke dokter spesialis kandungan, berobat ke paranormal, hingga mencoba berbagai obat tradisional. Hasilnya, kami belum juga memiliki keturunan. Aku berharap, rafting membawanya ke dunia yang lain. Dunia dimana hanya ada keindahan dan ketakjuban. Sehingga pikiran tentang buah hati, tidak terlalu menyiksanya.

Benar. Setiap kembali ke rumah, selalu saja cinta yang dibawanya pulang. Berbinar dan terang benderang.

Sebelum kepergiannya ke Mananggar, sebenarnya aku sudah hamil satu bulan. Tapi sengaja kubungkus kabar ini rapat-rapat, sebagai kado ulang tahunnya yang ke-37. Kubayangkan wajahnya keharuan, penuh sukacita. Dia menjadi bapak dan tugasku lengkap sebagai wanita. Rumah kami sesak oleh tangis dan tawa si kecil kelak.

Sebuah keluarga bahagia seperti yang selalu kubaca di majalah-majalah wanita. Tapi ternyata kematian datang lebih cepat. Membuyarkan mimpi-mimpi indah, yang belum selesai itu. Bahwa kematian mengekalkan cinta, aku tidak tahu. Yang kutahu, kematian hanya akan menjadi debu dalam ruang-ruang hampa milik kita. Jadi lupakan kematian. Lebih cepat lebih baik.

Sudah seratus hari Mas Doni meninggalkan kami. Aku dan bayi dalam perutku. Kami jadi terbiasa. Tadi malam, aku seperti mendengar suaranya lagi. Layap-layap. Jauh, sangat jauh. Tapi begitu jelas. Suaranya datang membawa dingin yang sangat. Seolah ingin menyerap seluruh energi panas yang ada di dalam kamar. Tubuhku sampai menggigil.

"Temui aku di Mananggar..temui aku di Mananggar. Sebelum purnama sempurna," kata-katanya kemudian hilang ditelan fajar.

Meski terlalu nyata untuk sebuah mimpi, Aku tidak perduli. Sampai malam berikutnya, suara itu terdengar lagi. Dengan pesan serupa. Bahkan ketika aku sedang terjaga.

Aku masih memegang kemudi Daihatsu Feroza. Menyusuri jalan berbatu. Tidak terasa, aku sudah merambati Mananggar. Geli rasanya, datang ke sini hanya karena sebuah alasan. Mimpi.

Tapi kupikir, mimpi juga sebuah dunia. Dunia dengan logikanya sendiri. Dengan banyak alasan yang pantas dipertimbangkan. Lebih dari itu, aku memang ingin memaguti potongan kenangan suamiku yang masih tertinggal, meskipun terlalu menyakitkan untuk disimpan.

Di bawah senja yang pucat, kuseret kaki dengan rantai-rantai dari sisa rindu yang kemarin. Rindu pada suamiku. Sampai Mananggar menumbuk mataku dengan pesonanya.

Begitu banyak air tumpah. Putih. Jernih. Sambung menyambung seperti selendang bidadari. Dentumnya mengetuk perut bumi. Di kanan dan kirinya, semua rumput penuh warna. Marun, hijau, biru, merah dan kuning. Ujung-ujungnya mendongak ke langit. Seperti hendak berteriak.

Kupu-kupu hitam putih terbang disekitarku. Anak-anak penoreh getah, telanjang dada. Tubuhnya sangit dibakar matahari. Gigi kekuning-kuningan dan sorot mata memendam kekaguman sekaligus harapan.

Mendengar mereka bercengkrama dalam Bahasa Dayak, seperti dendang dari sebuah negeri ujung langit. Merdu. Murni. Apalagi memperhatikan telapak-telapak tangan kecil mereka yang lincah, melempar getah ke dalam tangkin. Kemudian beringsut pulang dijemput kabut. Desau angin pada wajahku, mengabarkan sebuah tanah kelahiran yang ditinggalkan jaman.

Telingaku menangkap ada langkah mendekat. Aku menoleh ke belakang untuk memastikan. Disampingku, ternyata sudah berdiri dengan anggun seorang wanita. Kutaksir umurnya tidak lebih dari 26 tahun.

Melihat parasnya, dia pasti dari desa sekitar. Meski demikian, ia terlihat terpelajar. Pada tangannya, anak laki-laki berayun manja. Usianya sekitar 5 tahun. Wajahnya menggemaskan. Tatapan matanya, seperti pernah kuakrabi siang malam. Tapi entah dimana. Aku jadi berkhayal. Seperti apa bayiku kelak.

"Maaf. Apakah kita pernah bertemu sebelumnya," tanyaku memberanikan diri.
"Baru kali ini. Mbak seperti menunggu seseorang?"
"Iya..suamiku,"
"Suami mbak ada di sini,"
"Sulit untuk dijelaskan,"

"Maaf mbak. Saya tidak bermaksud lancang. Tapi, bukankah untuk beberapa hal, kita memiliki keterbatasan untuk menjelaskan. Dan pada titik itu yang kita butuhkan hanya kemauan untuk mengerti,"

"Mungkin begitu. Ngomong-ngomong apakah adik menunggu seseorang juga," aku balik bertanya.

"Aku menunggunya setiap senja. Di sini, di tempat yang amat dicintainya,"
"Suamiku juga mencintai tempat ini,"

Wanita itu kemudian menatapku. Penuh selidik tapi dalam batas kesopanan.
"Namaku Asti. Mbak pasti, Sarah..."
"Darimana adik tahu namaku,"
"Bang Doni menceritakan segalanya,"
"Asti mengenal suamiku?" tanyaku lagi.

Dia memalingkan wajahnya. Tatapannya menumbuk air yang tumpah itu, dalam-dalam. Ia seperti mencari sisa-sisa keberanian untuk berkata-kata. Kulihat, kelopak matanya mulai tergenang. Ada setetes air, jatuh dari sudut mata kanannya yang teduh.

"Lebih dari sekedar yang Mbak duga. Enam tahun lalu, kami menikah di sini. Dan ini Nikodemus. Dia darah daging kami. Bang Doni, memintaku menyampaikan maafnya, maaf kami. Telah merahasiakan semuanya."

Dadaku seperti hendak meledak. Ingin kuteriak. Namun suaraku tersekat. Lututku bergetar. Seluruh sendiku terasa rontok. Aku nyaris tersungkur. Tiba-tiba langit tak lagi menyimpan bintang. Sepotong purnama yang baru setengah, sirna. Seluruhnya menjadi bisu. Semua kembali kepada ketiadaan.

Ngabang, 22 Januari 2004