Minggu, 31 Mei 2009

Lahan Aloevera Menyusut Drastis


*Petani Sulit Pasarkan Hasil Panen

PONTIANAK, TRIBUN - Asosiasi Petani Aloevera Kalbar, menyambut baik rencana Dinas Perdagangan dan Industri Kalbar, yang mencanangkan program One Village One Product (Ovop), dengan menjadikan aloevera atau lidah buaya sebagai komoditas unggulan Kota Pontianak.

Namun, saat ini banyak petani yang sudah beralih menanam pepaya Hawai, karena kesulitan menjual aloevera. "Jumlah petani dan areal tanam Aloevera menyusut drastis. Jika pada 2001-2005 ada sekitar 100 hektare, dalam empat tahun terakhir berkurang menjadi sekitar 50 hektare saja. Petani sulit menjual hasil panen," kata Ketua Asosiasi Petani Aloevera Kalbar, Tjin Djie Sen, kepada Tribun, Minggu (31/5).

Djie Sen menuturkan, pabrik pengolahan lidah buaya, PT Niramas di Jl 28 Oktober yang menjadi harapan para petani di Pontianak Utara, ternyata tidak maksimal menyerap hasil panen. Bahkan, sejak tiga bulan terakhir, mereka tidak lagi meminta pasokan dari petani. "Kalau ada permintaan dari luar negeri, baru mereka pesan. Kalau tidak, petani hanya menjualnya kepada home industri di Pontianak. tentu saja permintaanya jauh lebih kecil," ujarnya.

Djie Sen menjelaskan PT Niramas, biasanya sekali order ke petani bisa mencapai 8 ton lidah buaya. Namun, kalau ke home industri paling besar hanya 200 kilogram per hari. Jika ke kios-kios di Jl Budi Utomo paling hanya 100 kilogram per hari. Belum lagi, banyak home industry yang memiliki kebun lidah buaya sendiri. "Kalau persoalan pemasaran ini tidak segera dipecahkan, saya yakin tidak ada lagi yang menanam lidah buaya," tegasnya.

Ia menambahkan, bertani lidah buaya sebenarnya sangat menguntungkan. Untuk satu hektare lahan produktif bisa menghasilkan 3 ton per sekali panen. Lidah buaya bisa dipanen dua kali sepekan. Artinya, jika harga per koligram Rp 800, minimal petani bisa mengantongi hampir Rp 5 juta per pekan.

"Persoalannya sekarang, siapa yang mau beli. Tanaman sudah siap panen, pembelinya terbatas. Terpaksa kita gilir biar semua kebagian. Sementara petani yang masuk asosiasi ada 58 orang," kata Djie Sen.

Karena itu, banyak petani yang kemudian beralih menanam pepaya Hawai karena dianggap lebih mudah dijual. Bahkan, tanaman lidah buaya yang sudah ada dicabut karena menanggap lidah buaya tidak lagi menguntungkan. Lahan yang adapun jadi sia-sia.

"Aliong, petani lidah buaya di Jl Budi Utomo, Sungai Selamat, menjual 14 ribu batang lidah buaya miliknya seharga Rp 24 juta. Padahal, per pekan untuk lidah buaya sebanyak itu, bisa menghasilkan 6 ton per sekali panen. Ingat, lidah buaya itu dipanen seumur hidup. Kemungkinan Aliong beralih ke pepaya," paparnya.

Asosiasi saat ini sedang memikirkan bagaimana bisa mengekspor pelepah lidah buaya ke Singapura dan Kuala Lumpur, Malaysia. Langkah itu sudah pernah dilakukan beberapa waktu lalu. Sekali kirim msatu peti kemas bisa 20 ton pelepah lidah buaya.

"Kita berharap pemerintah campur tangan untuk mencarikan pasar lidah buaya. Tidak hanya untuk Pontianak, namun juga untuk petani di Rasau Jaya. Kita sering ikut pameran, namun tidak ada tindaklanjut. Sepertinya usaha kami sia-sia," tegas Djie Sen.

Petani aloevera di Parit Pangeran Dalam, Jiman Saputro, hanya tersenyum ketika Tribun bertanya tentang niat pemerintah menjadikan aloevera sebagai produk unggulan.

"Setahun lalu, Wali Kota Buchary A Rachman mengatakan aloevera jadi maskot Kota Pontianak. Saya bertanya, bagaimana dengan petaninya Pak. Kami kesulitan memasarkannya. Kalau saja PT Niramas rutin mengambil aloevera petani, pemerintah tidak perlu lagi campur tangan. Petani sudah terbantu. Sekarang, kenyataannya bagaimana. Banyak petani yang beralih menaman pepaya," papar Jiman yang memiliki 3.000 batang pohon lidah buaya.

Jiman menjual hasil panennya kepada home industri yang ada di Pontianak. Namun itupun permintaannya sangat terbatas, karena hanya sebulan dua kali. Sekali kirim sekitar 200 kilogram atau setara Rp 1,6 juta.

Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Pontianak Utara, Bambang Irawan, membenarkan
keluhan-keluhan tersebut. "Pupuk misalnya, kita bisa distribusikan sekitar 28 ton per bulan dari 33 ton pupuk bersubsidi yang dialokasikan. Tidak ada masalah krusial lain kecuali pemasaran. Yang juga patut jadi perhatian adalah dukungan infrastruktur," katanya.

Akses Jalan Rusak Parah
Djie Sen dan Jiman, menyoroti kondisi jalan di sentra lidah buaya yang saat ini rusak parah. Penetapan Pontianak Utara sebagai sentra aloevera ternyata tidak dibarengi dengan infrastruktur yang memadai. "Bagaimana kita bisa mengangkut lidah buaya, pepaya, dan hasil pertanian lainnya jika jalan rusak begini," kata Djie Sen.

Jalan-jalan yang rusak tersebut menjadi urat nadi para petani di kawasan Parit Bugis dan Parit Jawa. masing-masing Jl Kebangkitan Nasional yang rusak sekitar 4 kilometer, Jl Parit Pangeran Dalam rusak sepanjang 2 kilometer, Jl 28 Oktober rusak sejauh 1 kilometer dan Jl Padat Karya juga rusak sekitar setengah kilometer.

"Harus hati-hati. Kalau tidak, pepaya bonyok sebelum tiba di pasar. Jl Parit Pangeran Dalam ini, terakhir dibangun pada 2005. Karena pengerjaanya terkesan asal-asalan, sekarang hancur," ujar Jiman, Ketua RW28, yang tinggal di Parit Pangeran Dalam.

Pantauan Tribun, di empat jalan utama itu, banyak lubang berdiameter setengah meter dengan kedalaman sekitar 15 centimeter. Lubang-lubang itu hampir merata dan berjarak sekitar 20 centimeter. Bahkan, di Jl Parit Pengeran Dalam dua gorong-gorong amblas.

Djie Sen dan Jiman menegaskan, sudah berkali-kali mengusulkan di musyawarah rencana pembangunan (Musrenbang) di tingkat desa, namun sampai saat ini belum ada realisasinya.

Sekretaris Fraksi Golkar, DPRD Kota Pontianak, Firdaus Zar'in, mengaku beberapa kali pernah mendapat keluhan warga terkait kerusakan jalan di kawasan tersebut. "Keluhan itu sudah lama. Kita
juga prihatin. Apalagi kawasan itu merupakan sentra aloevera. Kalau tidak didukung dengan infrastruktur memadai, bagaimana bis aproduktif," kata Firdaus Zar'in.

Saya belum cek masalah ini ke Dinas Pekerjaan Umum Kota Pontianak. Sebab masalahnya Jl Kebangkitan Nasional masuk jalan provinsi. Kewenangannya ada di Dinas Pekerjaan Umum Provinsi. Tapi, ia meminta agar kedua lembaga itu bersinergi untuk memperbaiki jalan yang rusak tersebut.

"Saya akan mendorong teman-teman di Fraksi Golkar untuk memperjuangkan anggaran bagi perbaikan jalan Kebangkitan Nasional pada anggaran biaya tambahan (ABT), Juli, tahun ini. Kami siap memperjuangkannya. Ini juga sebagai kado terakhir," ujarnya.

Perluas publikasi
Kesibukan terlihat di Isun Vera, sebuah home industry pengolahan lidah buaya di Komplek Bumi Indah Khatulistiwa, Blok A Nomor 3, Siantan Hulu. Fatmah (17) dan Sari (17), mengemas teh lidah buaya ke dalam bukus-bukus kecil. Sementara Ira (21), mengepak jelly lidah buaya di sebelahnya. Mereka adalah tiga dari 15 karyawan yang bekerja di Isun Vera.

"Kerjanya dibagi-bagi. Ada yang membuat teh, ada yang membuat dodol, jelly, selai, dan kerupuk. Sekarang kita juga buat tas dan dompet dari kulit lidah buaya. Untuk bahan baku kita beli dari petani 200 kilogram per hari. Tapi, kita juga punya kebun 2 hektare," kata pemilik Isun Vera, Sunani, kepada Tribun.

Kebanyakan pekerjanya adalah mereka yang hanya tamatan sekolah dasar. Ada juga yang tamatan SMA. Per bulan Sunani menggaji mereka nilai nilai yang disesuaikan dengan masa kerja dan beban pekerjaan. "Gajinya antara Rp 350 ribu-1,2 juta per bulan. Ya, kita merasa bangga bisa menyediakan lapangan pekerjaan untuk warga sekitar," tambahnya.

Perempuan berkacamata ini menuturkan permintaan terhadap produk olahan lidah buaya cukup besar. Apalagi setelah beberapa stasiun televisi nasional meliput tanaman dan produk lidah buaya. Kini, ia bisa memenuhi permintaan dari Jakarta, Banjarmasin, Pangkalanbun, Yogyakarta, dan Malaysia.

"Yang paling laris adalah teh lidah buaya dan jelly. Mereka rutin memesan minimal sebulan sekali. Per bulan omzetnya bisa mencapai Rp 10 juta," papar Sunani yang berharap publikasi dan promosi produk olahan lidah buaya diperluas.

Untuk kualitas produk, Sunani mengaku sudah mematenkan merek dagangnya di Jakarta sejak dua tahun lalu. Sertifikatnya akan keluar bulan Agustus mendatang. Sementara untuk sertifikasi halal sedang dalam proses dan gratis. (hsm)

Jumat, 29 Mei 2009

Bangkai Simplex Cycloid


Kalau rezeki emang gak kemana. Kagak bakal tertukar. Tapi, kali ini saya yang kurang beruntung. Saya yang berharap bisa menemukan Simplex, eh..rupanya rekan saya, Atel, yang ketiban durian runtuh. Tapi tak mengapa, saya ikut merasa senang. Sebab tuh Simplex gak jatuh ke tangan yang keliru.

Atel menelpon saya sekitar pukul 23.00 WIB, belum lama ini. Waktu itu, saya sedang nongkrong di sebuah kafe di bilangan Jl Gajahmada Pontianak. Sepulang kerja, saya dan beberapa teman memang ngumpul di sana. Bicara tentang ini itu, termasuk tentang sepeda.

"Bang, saya baru dapat Simplex nih. Cuman, bentuk setangnya agak aneh. Bener apa enggak?" tanya Atel di ujung telepon.

Saya kemudian memintanya menjelaskan, anehnya di mana. Rupanya, posisi handle rem yang konstruksinya masuk ke batang setang. Tidak seperti sepeda tua biasa yang posisi handlenya ada di luar. Saya langsung teringat referensi yang pernah saya baca di Simplex Forum.

"Itu Simplex Cycloid. Tapi, tidak tahu apakah Neo atau model lainnya,"
Setelah membaca komentarnya Andyt, ternyata sepeda tersebut dekat ke Simplex Cycloid Elite. Satu di antaranya adalah konstruksi setangnya yang masuk. Andyt mengatakan, banyak Simplex yang menggunakan setir (Setang) Simplex model biasa, misalnya Cycloide Standaart, Cycloide Radium, dan Cycloide Model Extra. Di Surabaya saja, pasaran setir yang model masuk sekitar Rp 400-500 ribu perunit dan tergantung kondisi.

"Kalau ente gak mau, biar gua yang bayar Tel,"
Atel tertawa di ujung teleponnya."Ha ha ha ha,"
Saya langsung menyarankan Atel, untuk segera membayar si Simplex. Bukan apa-apa, kalau kelamaan, takut pemiliknya keburu menyadari kalau sepeda yang tidak dipakainya lagi itu tergolong varian langka. Saya ingat betul komentar Bang Lai di Simplex Forum.

Cycloide sekarang banyak dicari. Entah karena konstruksi yang enak, ataukah lagi ikut-ikutan demam memburu Cycloide. "Barangnya langka banget. Jadi makin sulit nemunya. Lima tahun lalu saja, ketika belum banyak orang tahu cycloide sudah sulit nyarinya. Apalagi sekarang," kata Bang Lai.
Rekan Bang Lai, mendapat Cycloide seri 2 cuman dihargai Rp 1,2 juta! "Itu harta karun kata saya," tegas Bang Lai.

Ia mengaku heran banget haree genee dapet Cycloide bagus, cuman segitu. Ia bahkan bersloroh, jangankan Rp 1,2 juta, keluar Rp 5,1juta pun banyak orang berani demi si Cycloid.
Andyt menambahkan, Simplex Cycloide adalah buruan utama penggemar sepeda kuno di Indonesia dua tahun terakhir. Sehingga jenis ini menjadi sangat..sangat..langka.

Kebanyakan yang muncul sudah gado-gado (onderdil tidak semua asli dan dicampur dengan opsi merek sepeda lain), dan ada pula yang palsu (dari frame Hima, atau Valuas atau merek kurang terkenal lainnya) dan celakanya dijual dengan harga mahal sebagai Cycloide asli. Pembeli yang kurang jeli hanya menyesal dikemudian hari. Jadi sebaiknya hati-hati. Satu tromol Cycloide-nya saja dengan kondisi 80 persen laku Rp 1 juta lebih. Busyet dah!.

Atel kembali menuturkan, beberapa ciri yang menjadi ciri khas Cycloid Elite, sudah gak pada kelihatan kecuali setangnya. Tidak hanya itu, nomer serinya juga diawali dengan angka 7, bukan 1 atau 2. Namun, ternyata ada juga Simplex Cycloid yang seri 7. Tapi, saya tidak tahu kapan tanggal pembuatannya.

Sejumlah komentar menyebut tahun pembuatan Simplex Cycloid, cenderung tahun tua kira-kira 1935 ke bawah. Namun ada juga yang mulai dibuat tahun 1950-1955. Untuk lebih jelas tentang Simplex bisa kunjungi http://www.rijwiel.net/artsim_n.htm, tentang penomoran produksi Simplex. Hmm..ternyata banyak harta karun di Kalbar. Setelah si cantik frame "S" Neckarsulm Stickmachen Union (NSU), kini ada Simplex Cycloid Elite yang bangkit dari kubur.

Sabtu, 02 Mei 2009

Awas, Selingkuh Bikin Ketagihan


*Boyke Ingatkan Keganasan Kanker Rahim

PONTIANAK, TRIBUN - Dokter spesialis kandungan terkemuka, dr Boyke Dian Nugraha SpOG MARS, menegaskan selingkuh sama dengan mengkonsumsi narkoba. Sekali mencoba pasti bikin ketagihan dan sulit untuk dihilangkan. Tidak hanya itu, selingkuh juga menjadi ancaman serius bagi kelangsungan kehidupan rumah tangga dan karier.

"Contohnya seperti yang menerpa Ketua KPK, Antasari Azhar," ujar Boyke saat berkunjung ke Tribun Pontianak, Sabtu (2/5).

Berdasarkan pasien yang datang berkonsultasi ke Klinik Pasutri miliknya, perselingkuhan menjadi penyebab ketidakharmonisan hubungan suami istri atau sebaliknya, hubungan suami istri yang tidak harmonis memicu perselingkuhan.

"Selingkuh tidak hanya dilakukan suami, namun juga istri. Dari lima laki-laki empat di antaranya selingkuh. Sementara dari lima wanita dua di antaranya juga selingkuh. Ironisnya, dari 10 kasus perselingkuhan hanya dua kasus yang sampai ke jenjang perkawinan. Sisanya, dilakukan untuk having fun," kata Boyke.

Boyke menuturkan sedikitnya pasangan selingkuh yang menikah karena kebanyakan laki-laki itu buaya. Sementara wanita menginginkan kehidupan yang lebih stabil. Apalagi, belakangan selingkuh menjadi bagian dari gaya hidup kalangan mapan. Sebab mereka bergelimang uang dan kekuasaan.

"Golongan ini berselingkuh untuk mendapatkan pengakuan dan status sosial. Karena itu mereka menjalin hubungan dengan perempuan atau laki-laki yang derajat sosialnya lebih tinggi ataudari kalangan artis misalnya. Jadi jelas orientasinya bukan seks semata," paparnya.

Boyke juga menegaskan mereka yang selingkuh di usia dewasa, biasanya secara kasat mata memiliki tampang baik-baik, bahkan cenderung alim pada masa mudanya. Justru mereka yang pada masa muda kerap bergaul dengan teman-teman wanita yang kecil kemungkinan berselingkuh ketika berumah tangga.

"Ibu-ibu yang datang ke saya, banyak yang komplain. Tidak mungkin suami saya selingkuh Dok. Dia sudah empat kali umroh. Lalu saya jawab, waktu umroh 'barangnya' pakai sorban gak Bu," ujar Boyke tertawa.
Kanker rahim

Boyke menuturkan, berhenti dari RS Kanker Dharmais karena ia tidak sanggup melihat pasien-pasien yang datang ke rumah sakit dalam kondisi sehat, kemudian pulang ke rumah dalam keadaan meninggal. Serviks menjadi pembunuh nomor satu perempuan di Indonesia. Hal ini disebabkan mayoritas penderita datang berobat ketika kesehatannya kritis atau ketika penyakitnya sudah stadium lanjut.

"Kalau sudah kena kanker rahim, sekali suntik obatnya bisa Rp 14 juta. Setelah disuntik, rambut rontok dan seluruh kulit mengering serta terkelupas. Pasiennya meninggal dalam kondisi yang mengenaskan bukan," paparya.

Kanker ini disebabkan oleh virus yang ditularkan suami kepada istrinya saat berhubungan intim. Mereka yang selingkuh dan bergonta-ganti pasangan menjadi kelompok yang rentan menularkan kanker mematikan ini. Karena itu, Boyke beranggapan ada hubungan antara kanker serviks dengan hubungan suami istri dan keharmonisan dalam rumah tangga. "Kalau rumah tangga harmonis, termasuk soal hubungan suami istri, yakinlah akan baik-baik saja," ujarnya.

Serviks tidak bisa dilihat secara fisik karena tidak menimbulkan gejala. Satu cara untuk mengetahuinya adalah dengan Pap Smear dan Pap Net. Pap Smear adalah screening untuk mendeteksi perubahan sel sel yang terjadi di dalam serviks uterus. Sementara Pap Net adalah pemeriksaan dengan pengambilan lendir leher rahim sama seperti papsmear konvensional, tetapi dengan memanfaatkan teknologi komputer dalam menganalisanya.

"Tingkat akurasi Pap Net sampai 95 persen. Sedangkan Pap Smear hanya 80 persen. Harga pemeriksaan Pap Smear mulai Rp 150 ribu dan Pap Net mulai Rp 350 ribu," ujar Boyke yang saat ini sedang mengkampanyekan bahaya kanker serviks.

Bagi mereka yang ingin mengantisipasi serviks, Boyke menganjurkan untuk divaksin. Termasuk mereka yang belum pernah melakukan hubungan intim. Namun vaksin ini hanya efektif diberikan untuk mereka yang berusia antara 10 tahun hingga 55 tahun. Di atas itu, vaksin menjadi tidak banyak pengaruhnya. Harga vaksin mulai dari Rp 750 ribu dilakukan sebanyak tiga kali selama enam bulan.

Data yang dilansir Kompas.com, diperkirakan 52 juta perempuan Indonesia berisiko terkena kanker serviks. Sementara 36 persen perempuan dari seluruh penderita kanker adalah pasien kanker serviks. Ada 15.000 kasus baru per tahun dengan kematian 8.000 orang per tahun.

Angka harapan hidup lima tahun jika kanker ini diketahui dan diobati pada stadium 1 adalah 70-75 persen, pada stadium 2 adalah 60 persen, pada stadium 3 tinggal 25 persen, dan pada stadium empat penderita sulit diharapkan bertahan. (hsm)