Selasa, 29 Juli 2008

Jalan Panjang Sebelum Resign..!

Setelah delapan tahun berkarya dan bekerja di Pontianak Post Group, aku memutuskan resign atau mengundurkan diri. Ternyata, bukan perkara mudah untuk mengakhiri sebuah jalan panjang yang telah dirintis sejak awal. Berbagai pertimbangan jadi indikator penguatan argumentasi. Sampai setidaknya ada sesuatu yang reasonable untuk menyakinkan diri sendiri.

Yang paling menakutkan adalah di tempat yang baru belum tentu diterima. Sementara di tempat kerja lama telah mengundurkan diri. Ketakutan itu ahirnya luruh berbarengan dengan dukungan istri yang mengalir bak air bah. Belum lagi rekan-rekan dekat yang memberikan support bertubi-tubi menguatkan niat. Tanggal 15 April 2008, aku resmi meninggalkan Graha Pena, kantor mewah bertingkat enam di Jl Gajahmada nomor 2-4, Pontianak.

Ada banyak kenangan di kantor media milik Pontianak Post Group itu. Oktober 2000 saat aku menginjakkan kaki pertama kali, kantor tersebut hanya memiliki tiga lantai. Lantai dasar untuk percetakan, lantai II untuk bagiam umum, pemasaran dan iklan, dan lantai III untuk redaksi. Waktu itu, ada sebelas calon wartawan yang diterima, setelah melalui seleksi ketat, termasuk aku.

Lantai III, tepatnya di ruang perpustakaan adalah tempat pavoritku. Ruangan berukuran 2X3 meter itu menjadi satu dengan ruang rapat. Hanya ada sekat kaca hitan gelap yang membatasinya. Usai liputan, baik itu siang atau malam, kecuali Yanti, kami jarang pulang.

Hampir tiap malam tidur di ruangan tersebut. Pernah aku meliput kebakaran di Kuala Dua, Rasau Jaya, pukul 02.50 WIB. Selesai liputan nyaris subuh. Aku tidur di ruang perpustakaan. Karena kecapean, aku baru bangun pukul 10.00. Saat membuka mata, ternyata semua manajer sedang ada rapat.

Karena sering sampai larut di kantor, aku kerap dimintai mengoreksi hasil layout. Kalau-kalau ada yang salah ketik. Saat itu, Oktober 2000 aku masih berstatus mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Tanjungpura. Senang rasanya, bisa kuliah sambil bekerja.

Begini rupanya hidup mandiri. Punya penghasilan dan kita memiliki kendali atas diri sendiri. Gaji pertama yang kuterima saat itu, Rp 350 ribu per bulan. Tapi itu sudah membuatku bangga. Karena seumur hidup aku belum pernah menerima gaji. Saat itu handphone tidak seperti sekarang, masih mahal. Harganya tak terjangkau oleh karyawan kontrak sepertiku, seperti kami.

Aku ingat benar handphone yang dikapai oleh Pemred Nokia 3210. Beberapa redaktur pakai Sony Ercison T100. Kantor kemudian membekali kami dengan pager. Wah senang benar rasanya menerima alat komunikasi “canggih” tersebut. Kalau sudah berbunyi..titit..titit…titit, rasanya jadi seperti orang penting. Kami sering merekayasa pesan pada pager agar berbunyi di tengah keramaian. Biar gaya kelihatan punya pager.

Setahun kemudian, aku membeli Sony Ericson T100 seharga Rp 500 ribu. Tentu saja dengan kartu Perdana Simpati 08125729510 seharga Rp 350 ribu. Cukup lama aku memakai T100 sebelum kemudian beralih Nokia 3315, Siemen M35, Nokia 6210, Frend, dan saat ini Nokia 9500 Komunikator.

Awal-awal liputan, aku ditempatkan di desk kota. Kantor Wali Kota Pontianak, dinas dan kantor jadi tempat nongkrong. Di sana aku bertemu dengan Nur Iskandar, yang kini jadi Pemred Borneo Tribune. Aku juga bertemu dengan Safariah yang sekarang menjadi jurnalis Pantau, atau Nurul Hayat yang kini dipercaya sebagai Kepala Biro Antara Kalbar.

Belum apa-apa aku sudah dikenal Wali Kota Pontianak, Buchary A Rahman. Gara-garanya, aku mengutip pantun yang disampaikan dr spesialis kullit dan kelamin itu yang berbunyi “ Ikan Kakap, Ikan Bawal. Banyak Cakap, Banyak Bual.” Aku mengutip pantun itu saat Buchary menyampaikan amanat sekaligus sindiran terhadap kinerja beberapa stafnya yang hanya bisa ngomong tapi tidak ada bukti fisik pekerjaannya.

Saat itu acaranya digelar di SMP Negeri 1 Pontianak, Jl Jenderal Urip. Usai melontarkan pantun, aku meninggalkan acara. Karena, ada kebarakan hebat di Jalan Merdeka Timur.

Di koran aku menulis tentang pantun tersebut, untuk mengisi kolom sosok. Judulnya, Ikan Kakap, Ikan Bawal. Sejak saat itu, dimana-mana setiap ada kesempatan, Buchary selalu berpantun ria. Dia bilang, “Saya hanya bicara sedikit. Rupanya, pantun saya dipakai dimana-mana. Siapa itu wartawannnya,” kata dia. Beberapa hari kemudian kami bertemu lagi dan dia tertawa begitu melihatku.

Enam bulan kemudian, aku diminta memperkuat desk kriminal. RSUD dr Soedarso, RS Antonius, dan Poltabes Pontianak Di liputan kriminal, aku bertemu dengan wartawan-wartawan dari harian Equator. Paling sengit liputan bareng Alexander Mering. Wartawan bertubuh kecil dan berambut gondrong itu, saingan terberatku di lapangan. Kami berlomba-lomba mendapatkan liputan kriminal ekslusif.

Kalau ada yang kebobolan, sudah dipastikan kami tidak akan saling menyapa meski berjumpa di RS Antonius. Meski “musuh abadi”, kami dipersatukan oleh kegemaran terhadap jenis band yang sama. Alex dan aku sama-sama menggilai Jamrud, rock band asal Surabaya.

Kami sering bernyanyi :
“Nana..Nana Uh Uh, Nana..Nana. Uh Uh… Apelku gak pernah romantis, tiap malam disuguhi keris. Mana Ortumu, Pakdemu, Bulemu, Embahmu, selalu ceramah…”
Ada dua liputan yang bikin aku geram. Saat itu, liputanku tentang Kebakaran di Jl
Pramuka, Sungai Rengas dan pencabulan di Polsek Sungai Raya, dicopy paste oleh dua wartawan Equator.
Tulisannya sama persis. Bedanya, dia tidak ada foto, aku punya dua-duanya. Tapi itu bukan kerjaan Alex, sebab kutahu dia lebih beradab dalam menggali berita.

Kini, Alex bergabung di Tribune Institute. Hampir setahun liputan, aku diminta kantor untuk membidani lahirnya Harian Kapuas Pos. Sebagai tahap pertama aku ditempatkan di Kabupaten Sanggau, jadi kepala biro di sana menggantikan wartawan senior Pontianak Post, Robert Iskandar, yang ditarik ke Pontianak.

Pertama datang, kerja berat langsung menanti. Kantor Imigrasi Sanggau terbakar hebat tengah malam. Sementara di Sungai Kapuas, ada perampokan sadis yang menewaskan Bujang. Sopir speedboat tersebut ditemukan membusuk. Tidak hanya itu, masyarakat Sosok mendatangi kantor dan menggelar upacara adat. Mereka menuntut rekanku di Pontianak Bowo, yang dituding salah menulis berita. Sementara mobil ekspedisi dicegat di Bodok. Koran diturunkan paksa oleh massa sebagai bentuk protes lain terhadap kesalahan berita terseut.

Hanya tiga bulan aku di Sanggau. Karena kantor memintaku kembali ke Pontianak untuk memperkuat liputan di desk porvinsi. Tapi aku tak lama di provinsi, karena rekanku yang lain Mursalin, kini Kepala Biro Sambas, tak betah lama-lama meliput Buchary A Rahman dan staf-stafnya.

Kami pun tukaran desk. Saat itulah sejumlah kasus berhasil kuungkap dan menarik perhatian publik. Liputan pertama tentang mesin “Dingdong” ketangkasan. Dengan liputan komprehensif, polisi akhirnya mengambil sikap dan menggulung semua mesin yang didatangkan dari Malaysia dan Singapura itu.

Liputan tersebut tak membuatku berpuas diri. Sebab aku yakin pasti masih ada persoalan lainnya. Benar saja, tak lama kemudian ada informasi sebuah yayasan yang meresahkan anggotanya. Yayasan itu bernama Amalillah. Dalam sekejap yayasan yang menjanjikan uang ratusan juta rupiah itu, jadi buah bibir. Tak lama kemudian, ada yayasan lain yang juga memiliki cara operasi yang nyaris sama.

Yayasan itu adalah Yamisa. Seperti liputan tentang Amalillah, Yamisa juga direspon publik. Di sana lah aku menyadari bahwa peran jurnalis sangat urgen dalam kontrol sosial. Aku semakin mencintai pekerjaan ini! Meski begitu, ternyata mencari informasi dan menyajikannya dalam bentuk berita juga bisa membosankan.

Terlebih setelah aku mellihat ada rekan-rekan wartawan lainnya yang menggadaikan profesi mulia tersebut. Dengan berbagai alasan mereka menerima berlembar-lembar amplop berisi rupiah. Belum lagi, ada berbagai titipan kepentingan yang mengekor di belakang berita yang diturunkan. Paling banter, ada beberapa proyek pembangunan yang nebeng di balik nama pemilik usaha penerbitan.

Aku jadi jumud dan gamang. Profesi yang awal kehadirannya dihargai dan dihormati ini, ternyata dikotori oleh sikap mementingkan diri sendiri. Jujur aku frustasi, jadi pernah tidak produktif menulis. Berita-berita yang kuhasilkan relatif sedikit dan tidak berbobot. Gelagatku itu kemudian dibaca Pemred Pontianak Post saat itu, Yasmin Umar. Yasmin yang kini aktif di Komisi Penyiaran dan Informasi Daerah (KPID) Kalbar, memintaku jadi Kepala Biro Singkawang.

Aku menyetujuinya dan bergegas menggantikan Arman yang sudah enam bulan bertugas di Kota Amoy tersebut. Arman adalah rekan se-kampusku. Kami sama-sama merantau ke Pontianak pada 1996. Dia dari Jakarta, aku dari Bekasi. Begitu sampai di Singkawang, tugas berat sudah diwarisi Arman. Ada gembong narkoba yang ditangkap Polres Sambas. Saat itu, Kasat Reskrimnya IPTU Setyadi Sulaksono.

Meski tidak dilengkapi barang bukti saat penangkapan, polisi ngotot yang bersangkutan bersalah. Akupun memuat beritanya, termasuk meminta keterangan dari tersangka. Aku baru bangun tidur ketika Bang Setyadi menelponku, kalau tersangka terpaksa dibebaskan karena tak cukup bukti. Malam selanjutnya, tepatnya menjelang subuh Jl Pai Bakir Singkawang, alamat Biro Singkawang ramai. Agen dan pengasong kelimpungan. Semua koran Pontianak Post untuk Singkawang dan sekitarnya dibakar, hangus jadi abu.

Di Singkawang, aku berteman baik dengan wartawan Equator, Nanang. Juga tidak menjauhkan diri dari wartawan lain yang disebut-sebut wartawan tanpa suratkabar (WTS). Ternyata, semua tergantung kita. Kalau kita bisa membawa diri, mereka juga respek. Buktinya, sejumlah informasi vital justru datang dari teman-temanku itu. Tujuh penambang emas yang terkubur di Selakau, ku dapat dari mereka. Sebelas warga Afganistan yang tersesat di Paloh, Sambas, juga begitu. Belum lagi, mereka bersedia mengetikkan berita juga… he he he.

Kurang dari empat bulan, aku ditarik untuk memperkuat Kabupaten Pontianak dan sekitarnya yang selama bertahun-tahun digawangi Hamdan Abubakar Ada dua liputan yang tidak mungkin kuluppakan. Pertama tentang penyelewengan dana reboisasi di Mempawah, kedua tentang bapak memperkosa anak sendiri di Mentonyek, Karangan.

Dengan sejumlah fakta dan data, aku mampu menjungkalkan Pimpinan Proyek (Pimpro) Reboisasi. Yang bersangkutan dicopot dari jabatannya sekaligus dipenjara karena terbukti menyelewengkan uang negara. Sekali lagi aku melihat dengan kepala sendiri, betapa dahsyatnya media massa.

Sementara tentang kasus perkosaan, aku dituntut Rp 2 miliar oleh masyarakat yang mengatasnamakan warga Dayak Mentoyek. Mereka datang ke kantor di Pontianak dengan empat truk. Setelah aku usut, rupanya mereka bukan warga Mentonyek, tapi preman yang ada di Pontianak dan sekitarnya.

Karena yakin akan kebenaran proses penggalian dan penyajian berita, aku memutuskan menghadapi tuntutan itu. Sebab aku sadar benar tidak ada yang keliru dengan berita yang dimuat. Lepas dari itu, aku mencari cara agar persoalan ini lekas selesai. Caranya, warga Mentonyek dalam hal ini keluarga korban aku adudomba dengan massa yang melayangkan tuntutan.

Bahwa masa yang datang ke Pontianak telah mencemarkan nama baik warga Mentonyek, dan mencari keuntungan dari penderitaan korban. Warga Mentonyek tergerak dan bergerak menghadapi langsung para demonstran. Aku selamat, kantorpun selamat. Para demonstran itu pergi dengan wajah tertunduk seperti baru kalah dari medan pertempuran.

Sebelum mengakhiri tugas di Kabupaten Pontianak pada 2004, aku berkesempatan mengikuti lokakarya Peace Jurnalism di Surabaya yang digagas British Council. Sebenarnya aku betah di Mempawah, tapi aku harus menyelesaikan kuliahku yang tertunda hingga empat tahun. Aku memang sempat terbuai dengan uang dan pekerjaan, sehingga kuliah nyaris kulupakan.

Padahal, sejak awal 2000 aku sudah menyusun skripsi. Hanya perlu waktu sebulan untuk menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Kemampuan Aparat Pelaksana dan Komunikasi Pembangunan terhadap Efektivitas Implementasi Kebijakan Jaring Pengaman Sosial bidang Pemberdayaan Daerah dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (JPS PDM-DKE). Skripsi setebal 167 halaman itu, adalah satu dari tiga skripsi di FISIP yang berani menggunakan pendekatan deduktif verifikatif dengan tiga variabel.
Aku diwisuda Februari 2004.

Tiga bulan kemudian, tepatnya 11 April, aku memutuskan mengakhiri masa lajang dengan menyunting Mina, perempuan yang kukenal sebagai penjaga tiket di Bioskop 21. Kami bertemu karena aku doyan nonton. Kami dikarunia bocah lelaki yang tampan dan cerdas, Bagas Kusuma wardhana. Belahan jiwa itu lahir 15 Januari 2005. Saat ini umurnya 3,5 tahun.

Tak lama, Pontianak Post Group mendirikan Metro Pontianak. Aku ikut dimintai membidani lahirnya koran kriminal tersebut. Statusku naik tingkat dari wartawan jadi redaktur. Kurang dari tiga tahun aku sudah duduk di kursi Redaktur Pelaksana (Redpel). Dari sebelas teman seangkatan, kini tersisa empat, hanya aku yang sudah menyentuh level Redpel.

Yang lain, Zulfi Asmadi baru jadi koordinator liputan (Korlip), Zulkanaen Fauzi dipercaya sebagai Kepala Biro Singkawang, dan Mursalin yang masih betah sebagai Kepala Biro Sambas.

Untuk memperkaya wawasan tentang fungsi-fungsi Redpel aku dikirim ke Batam untuk mengikuti Pelatihan Redpel di lingkungan Jawa Pos Group, September 2007. Meski lebih sering menjalankan fungsi manajerial redaksi, aku masih menyempatkan diri menulis. Dua di antara tulisan tersebut berbuah manis.

Tulisan pertama berupa cerpen, judulnya Sisi Lain. Cerpen tersebut terpilih sebagai satu dari 14 cerpen terbaik Ajang Lomba Penulisan Cerpen Escaeva-Bukukita.com, Agustus 2007. Cerpen-cerpen itu kemudian diterbitkan dalam buku “Tembang Bukit Kapur”. Ini adalah buku keduaku, tapi jadi buku pertama diterbitkan oleh penerbit nasional. Buku pertama berjudul Pada Tanah Dikandung Bersama diterbitkan oleh penerbit lokal, Pontianak.

Tulisan kedua berbentuk feature. Isinya tentang Pengantin Pesanan antara Amoi Singkawang dengan Pria Taiwan. Tulisan itu berhasil menyabet predikat The Best Feature di Dahlan Iskan Awards 2007. Aku menyisihkan puluhan finalis dari seluruh Indonesia. Bangga juga rasanya punya prestasi begitu. Tulisan-tulisan lainnya masih berserakan. Ada novel yang baru selesau 60 halaman, ada juga cerpen-cerpen lainnya.

Di tengah kebanggaan itu, ada sebuah iklan menarik di Pontianak Post. Divisi Pers Daerah (Persda) milik Kompas Gramedia, membuka formasi untuk redaktur. Mereka akan membuka koran daerah di Pontianak. Hampir seminggu aku berpikir sebelum memutuskan melayangkan surat lamaran kerja pada minggu berikutnya. Aku mencoba mencari tahu bagaimana dan apa sebenarnya Persda.

Hanya sedikit informasi yang bisa koperoleh dari surving di internet. Meski begitu, cukuplah untuk bekal menambah sedikit keyakinan. Sadar aku tak sendiri, aku berdiskusi dengan istriku, Mina. Bagas juga. Keduanya merasa siap dengan berbagai kemungkinan yang bisa terjadi. Bahkan menimpa kehidupan kami bertiga. Selain keyakinan diri sendiri, sebenarnya aku hanya butuh restu mereka. Aku memutuskan mengirimkan lamaran ke Persda.

Sebulan kemudian, aku dipanggil mengikuti pesikotes. Singkat cerita, setelah melewati berbagai tes, Persda dengan label Tribun Pontianak menjadi rumah masa depanku yang baru.

Minggu, 27 Juli 2008

My Soul, Bagas


Aku tak tidur saat menantikan kehadirannya. Aku bangga melihatnya berjalan untuk pertama kali. Aku tak percaya ketika bibirnya bergetar memanggilku "Ayah."
Dia sering mengajakku berdiskusi meski belum menjelma lelaki sejati. Dia memberiku begitu banyak inspirasi bahkan ketika dia terlelap sekalipun.

Lahir di Pontianak, 15 Januari 2005. Sebelum lahir, aku sudah menyiapkan nama-nama indah untuknya, Faiz Abdillah dan Gandalf (Si Penyihir putih di Lord of The Ring) Diaulhaq.

Tapi, rupanya nama muncul bersamaan dengan kehadiran pemilknya. Beberapa menit setelah dia lahir sekitar pukul 01.45 WIB, muncul nama baru, Bagas Kusuma Wardhana. Akupun menamainya begitu dan memanggilnya dengan segenap rindu, Bagas!

Cepatlah besar. Rengkuhlah dunia dalam genggaman. Bangunlah dinasti untuk orang-orang yang kau cintai. Jangan lupa berbagi dengan orang lain. Jika ada yang mempercayaimu, peganglah dengan teguh, karena tanpa itu kau bukan apa-apa.Perlakukanlah perempuan seperti bidadari karena memang begitulah mereka.

Motor Antik Pertamaku


Si Villiers saat pertama kali kutemukan. Begitu melihat dan dia kunaiki, jiwa kami langsung bersatu dan mengatakan setuju negluarin doku dari saku...hu hu hu...angkut!!!!

Senang luar biasa. Sulit dilukiskan dengan kata-kata. Awalnya aku hanya iseng saat berjumpa seorang penjaga kios bensin di Jl HM Suwignyo. Saat itu, Kawasaki Binter Mercy 200cc milikku kehabisan bahan bakar. Saat mengisi bensin itulah, si penjaga kios bercerita kalau rekannya punya motor antik dan ingin dijual.

Aku bertanya siapa namanya dan dimana alamatnya. Setelah dilacak, rupanya informasi itu benar. Sebelum tiba di rumah pemilik motor, aku bertanya kepada seorang anak kecil yang ada di sana apakah pernah melihat motor aneh. Bocah lelaki kecil itu kemudian bercerita pernah melihatnya. Katanya knalpotnya lucu dan motornya aneh.

Aku semakin bersemangat minta diantar dimana dia melihat motor tersebut. Aku dituntun masuk ke dalam gang sempit menyusuri pepohonan di sekelilingnya. Di sebuah rumah sederhana yang belum selesai dibangun, mataku terpana. Motor apakah itu? Aku baru pertama ini melihatnya. Bentuknya mirip dengan DKW RT 125.

Setelah kudekati ternyata bukan. Di mesin tertulis Villiers, begitupun ditangkinya yang mungil. Kata pemiliknya, sudah lima tahun motor itu tidak jalan. Semua sparepartnya sulit diperoleh. Pistonnya jebol, jok hancur, velg dan ban 21 incinya juga tidak cantik lagi. Tapi penampilan anggunnya masih terlihat meski kondisinya memprihatinkan.

Setelah negoisasi akhirnya, aku menebus motor tersebut Rp 1,6 juta. Motor butut itu kubawa dengan mobil pickup, ongkos sewanya Rp 50 ribu. Ternyata menurut cerita, motor itu asalnya dari Bandung. Nomor Polisinya D 5588 NP. Mirip dengan tanggal lahir ku, 0016 NoPember.

Buku Gue Neh..

Tembang Bukit Kapur

Rabu, 19 Desember 2007
Akan segera terbit , buku antologi cerpen bersama TEMBANG BUKIT KAPUR. Cerpen-cerpen yang dimuat di dalam buku ini adalah cerpen-cerpen terbaik yang dipilih dari ajang lomba yang telah diadakan selama dua tahun berturut-turut.

Pertama kali lomba ini diadakan pada tahun 2006, dengan nama Ajang Kreasi Kumpulan Cerpen, yang diikuti oleh 160 naskah cerpen. Awalnya ajang ini dimaksudkan hanya sebagai ajang sharing dan mengevaluasi kemampuan menulis anggota milis EscaevaBookClub (escaevabookclub@yahoogroups.com. Alamat e-mail ini dilindungi dari spambot, anda harus memampukan JavaScript untuk melihatnya).

Pada tahun berikutnya (2007), ajang ini diadakan kembali dalam format lomba yang lebih serius. Kali ini diselenggarakan oleh Penerbit Escaeva, dengan menggandeng Bukukita.com sebagai pendukung, dengan nama Ajang Kreasi Kumpulan Cerpen Escaeva - Bukukita.com. Ajang ini mengalami peningkatan pesat di dalam jumlah naskah yang masuk, yaitu mencapai 1.119 naskah.

Inilah cerpen-cerpen terbaik itu:
Taman Kanak-Kanak - Setiyo Bardono
Surat dari Rantau - Diah Pramudiastuti
Buku Harian Mimin - Titon Rahmawan
Kota Lalu, Ibu - Pinto Anugrah
Kalibakar - Azizah Hefni
Rumah-Rumah yang Bersetubuh - Iggoy el Fitra
Aku Seorang Junkie Kasih Sayang - Bunga Mega
Menunggu Kabar - M. Raudah Jambak
Tembang Bukit Kapur - M Badri
Lelaki Berwajah Ramah dan Lelaki Yang Tak Ingin Kusebut Namanya - Wetry Febrina
Panggil Aku Joe - Nursalam AR
Sisi Lain - Hasyim Ashari
Gadis Pemimpi - Fenty Febriyanti
Mata Pisau - Indarpati
Kota Seribu Pohon - Harry Wahyudhy Utama
Buku Bersampul Coklat - Fenty Febriyanti
Yang Tak Pernah Tertidur - Ary Wibowo
Boneka Gajah yang Bisa Bertelur - Rama Safra’I Rachmat
Membunuh Ayah - Alimuddin
Megatruh - Titon Rahmawan

Harga buku Rp 36.000,-
Diskon 20% menjadi Rp 28.800,-
Cara pesan SMS ke 0818-890848 dan dapatkan diskon 20%. Jabotabek bebas biaya kirim.
Atau datang sendiri ke Toko Buku Gramedia di kota anda!

Sabtu, 26 Juli 2008

Sparta Villiers


Senang rasanya bisa keliling kota dengan motor antik. Kebetulan motorku Sparta Villiers 200 cc tahun 1953, 2 tak dengan three speed gearbox. Uniknya, mesin motor dibuat di Wolferhampton, England, rangka diproduksi di Netherland.

Aku dapat villiers dalam kondisi bangkai di Gang Harapan Bersama Kota Baru, milik seorang sopir opelet. Pertama kali bertemu Villiers teronggok di samping rumah yang empunya. Kepanasan dan kehujanan. Tangkinya penuh terisi air hujan. Sekitar dua tahun, motor itu baru bisa hidup. Mekaniknya adalah Aa Kiki Motorhead dari Bandung.

Kerjaannya siip pisan euy!! kagak nyangka motor bangkai dengan mesin amburadul bisa berbunyi Teng.. Teng.. Teng..Teng. Saat si Villiers hidup, ada acara West Borneo Big Bikes. Pesertanya ada biker asal Malaysia dan Brunei Darussalam, biker dari Kalbar juga kagak mau ketinggalan.

Nah yang lagi mejeng ini adalah Norton 350 cc punya Aa Kiki, BSA C11 berkapasitas 250 cc milik Pak Ketua Motorhead, AJS 350 cc milik Deddy, dan tentu saja yang paling ujung si Sparta Villiers sedang ditongkrongin ama empunya...he he he.

My Lovely BSA Bicycle

Sepeda ini buatan England. Merknya Birmingham Small Arms (BSA). BSA lebih dikenal dengan produsen sepeda motor terkenal BSA. Sepeda buatan England bukan hanya BSA. Ada juga Raleigh, Philips, Humber, Rudge, Hercules, Ray, dll.

Tidak seperti sepeda lainnya, sepeda BSA khususnya yang tipe gent, agak sulit ditemui. Bahkan para pemiliknya harus mencari sendiri kelengkapan BSA karena sedikit yang mengetahui tentang sepeda itu.

Setelah setengah tahun menanti, akhirnya dapat juga sepeda impian. Meskipun saat didapat kondisinya sangat memprihatinkan. Catnya terkelupas, tuas rem patah, velk dan lidi karatan semua, ban gembos. Beberapa bagian juga sudah tidak orosinil lagi.

Untunglah, emblem tiga senapan di komstir masih melekat. Sepeda ini milik A Kwet, warga Thionghoa yang tinggal di Gang Tanjung Harapan, Jl Imam Bonjol Pontianak. Pembuat tong air dari kayu ini mengaku sudah memiliki si BSA tahun 1966.

Untuk pertama kalinya, si BSA yang baru ditebus Rp 400 ribu, langsung diengkol ke Bandara Supadio Pontianak. Lumayan...capeekkk. Sebab selama ini aku pakai Raleigh Dames dengan tiga percepatan milik Sturmey Archer....tapi akhirnya sampai juga. Begaya pula di dekat pesawat tuh...keren kann?

Ciri-ciri sepeda BSA:
1.Gear,asroda depan dan belakang,laker,karet pedal,pedal tertera tulisan BSA.
2.Lampu dan dinamo biasanya Bosc
3.Kunci dan boncengan biasanya pake HOPMI, tetapi boncengannya ndak dobel dg jagrak
4.Di porok depan ada hiasan kayak ukiran putih yang membungkus pangkal porok yang berhubungan dengan frame
5.Frame lebih cenderung tegak dibanding sepeda Belanda.
6.Stang seingatku lepasan dengan tangkai yang menghubungkan frame.
7.Kalo ndak salah ada beberapa BSA yang pake bel HAT kalo ndak salah.
8.Beberapa varian ketengkas hanya separo dengan tulisan BSA warna kuning,tetapi keteng tersebut memanjang sepanjangnya rantai dari depan kebelakang.
9.Simbol BSA (3bedil) yang terukir disebuah plat agak tebal (kaya punggung kura-kura)
Itulah sedikit kenangan tentang sepeda BSA, kalo ada yang salah mohon dimaafkan dan dikoreksi tentang sedikit pengetahuan BSA ini. Maklum masih belajar nak……Uhuk…3X Trus glegek.

Dahlan Iskan Award 2007

Pengantin Pesanan
Raih Dahlan Iskan Award 2007


PONTIANAK, METRO - Redaktur Pelaksana (Redpel) Harian Metro Pontianak,Hasyim Ashari berjaya di penghargaan bergengsi Jawa Pos Group, Dahlan Iskan Awards 2007. Pengumuman dan penyerahan penghargaan berlangsung di Hotel Ciputra Jakarta, Rabu (19/3) pukul 16.30 WIB.

Hasyim menyabet kategori The Best Feature, setelah menyisihkan 10 nominator dari 53 penulis feature. Dia mengangkat fenomena Pengantin Pesanan di Kota Singkawang. Judul tulisan tersebut "Menyusuri Pengantin Pesanan Amoy Singkawang dengan Pria Taiwan." yang dimuat di Harian Pontianak Post beberapa waktu lalu.

Sedangkan Donatus Budiono (wartawan Pontianak Post), yang meliput perjalanan Bryan, bocah yang membawa Pontianak hingga ke Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa lewat goresan tangannya. Judulnya "Miliki Nama Asing Sempat Dikira Warga Negara Asing". Miank begitu dia disapa, masuk salah satu dari 10 nominator The Best Feature. Jika Hasyim berhak atas uang tunai Rp 10 juta, Miank mendapat uang tunai Rp 2,5 juta.

Penghargaan diterima langsung Pimpinan Redaksi Pontianak Post, B Salman. Dia mengungkapkan Dahlan Iskan Award 2007 dilaksanakan dalam rangka menggairahkan semangat penulis di lingkungan Jawa Post Group, agar bisa membuat tulisan sebaik mungkin.

Event tersebut terdiri dari tiga kategori yaitu tulisan Feature, reportase, dan kategori Fotografer. Mereka yang berhasil keluar sebagai The Best untuk setiap katergori, akan mendapatkan uang tunai sebesar Rp 10 juta, dan mereka yang berhasil menjadi nominasi berhak mendapatkan uang sebesar Rp 2,5 juta.

Menurut Salman, jumlah peserta untuk kategori Reportase sebanyak 60 orang, tulisan Feature sebanyak 53 orang, dan fotografer sebanyak 40 orang. Pada The Best Feature, peserta yang berhasil masuk nominasi yaitu Pontianak Post sebanyak dua orang, Radar Kediri sebanyak dua orang, dan Radar Bromo.

Untuk The Best Reportase diraih Batam Post, dengan nominasi Post Metro Batam, Radar Surabaya, Lombok Post, dan Radar Mojokerto. The Best Fotografer diraih Radar Solo, dengan nominasi Batam Post, Radar Bromo, dan Jambi Ekspress sebanyak dua orang.

"Alhamdulillah Pontianak Post berhasil meraih The Best Feature dan menjadi nominasi," ujar Salman langsung dari Jakarta, via telepon, kemarin.

Peraih The Best Feature, Hasyim Ashari mengaku sangat bersyukur dengan kemenangan tersebut. Untuk membuat tulisannya, dia melakukan investigasi selama empat hari. Tiga hari di Singkawang dan sehari di Bengkayang. Resiko nyaris terjatuh dari motor dia alami saat mendaki Vendering dengan Honda Legenda miliknya.

"Terimakasih untuk semua pihak yang telah membantu proses penulisan. Terutama Direktur LBH Peka Singkawang, Rosita Nengsih SH, Komnas HAM Kalbar Hairiah SH, Maya dari FKPSM Singkawang dan Ketua MABT Singkawang Wijaya Kurniawan SH.

Terimakasih dan penghargaan yang tak terhingga untuk dua orang amoy Singkawang yang dengan berani membongkar Kasus Pengantin Pesanan dan bersedia membaginya dengan penulis. Mereka adalah Tun Sui Lang dan Tjew Sin Fung," ungkap Hasyim yang jadi jurnalis sejak tahun 2000 ini.

Sementara itu, peraih Nominasi The Best Feature, Budi Miank mengakui kemenangan Hasyim tersebut. "Karena tulisan Hasyim memang layak keluar sebagai pemenang," ujar Budi yang mempunyai nama panjang Donatus Budiono ini.

Budi mengucapkan terima kasih kepada Pontianak Post yang memberi kesempatan untuk mengirim tulisan itu. "Juga terima kasih Bryan yang selalu ceria menerima kehadiran saya, ketika bertandang ke rumah dan sekolahnya. Kemenangan ini bukan hanya milik saya, tapi seluruh awak Pontianak Post," ujarnya merendah.(chairunnisya - Pontianak Post)

Pemenang Dahlan Iskan Award 2007-2008

Kategori Reportase

The Best Reportase (Rp 10.000.000)
Nama : Muhammad Iqbal
Judul : Yang Campur Tak Selalu Enak
Media : Batam Post

Nominee (Rp 2.500.000)
1. Nama : Nur Ali Mahmudi
Judul : Awas Uang Anda Dicuri lewat ATM
Media : Posmetro Batam

2. Nama : Jaini dan Windi Ariesman
Judul : Pemkot Kedodoran Kelola Aset
Media : Radar Surabaya

3. Nama : Haliludin
Judul : Mengungkap Persoalan TKI asal NTB
Media : Lombok Post

4. Nama : Moch. Chariris
Judul : Sindikat Paspor Palsu Dibongkar
Media : Radar Mojokerto

Kategori Feature

The Best Feature (Rp 10.000.000)
Nama : Hasyim Asyari
Judul : Menyusuri Pengantin Pesanan Amoy Singkawang dengan Pria Taiwan (3 seri)
Media : Pontianak Post

Nominee (Rp 2.500.000)
1. Nama : Rully Prasetyo
Judul : Melongok Kehidupan Mantan Atlet
Media : Radar Kediri

2. Nama : M Said Hudaini dan Hana Susanti
Judul : Menjelajah Situs Mak Comblang Perempuan Probolinggo dan Sekitarnya
dengan Pria Bule (6 seri)
Media : Radar Bromo

3. Nama : Budi Miank
Judul : Bryan Jevoncia, Bocah Pontianak Pemenang Lomba Desain Perangko PBB
Media : Pontianak Post

4. Nama : Sri Utami
Judul : Melihat Para Gay Bertemu di Hari Spesial Mereka (2 seri)
Media : Radar Kediri

Kategori Foto

Dari total 202 foto yang diterima, diperoleh 32 foto yang masuk final, kemudian dari 32 foto dipilih lagi 8 pilihan. Lantas, dari 8 foto disaring menjadi 5 foto yang berhak mendapatkan juara.

The Best Photography (Rp 10.000.000)
Nama : Anwar Mustofa
Media : Radar Solo
Poin : 470 poin

Keistimewaan foto: Terletak dari ketokohan 2 variabel yang saling berinteraksi, Tommy Soeharto putra mantan presiden Soeharto, ternyata masih dihormati dengan cara yang berlebih oleh Danjen Kopassus Mayjen TNI Rasyid Qurnuen Aquari. Meskipun sebuah acara seremonial, namun content dan substansi fotonya lebih besar dalam makna dan pesannya.

Nominee (Rp 2.500.000)
1. Nama : R Yusuf Hidayat
Judul : Histeris
Media : Batam Pos

2. Nama : Agus Salim
Judul : Tertembak
Media : Radar Bromo

3. Nama : M. Ridwan
Judul : Ugal-ugalan
Media : Jambi Ekspress

4. Nama : M Ridwan
Judul : Pangkas Rambut
Media : Jambi Ekspress

Dewan Juri Dahlan Iskan Award:

Koordinator Dewan Juri
Maksum (Redaktur Senior Jawa Pos)
Anggota Dewan Juri
Baehaqi (Koordinator Liputan Jawa Pos)
Moh Elman (Redpel Jawa Pos)

Kurniawan Muhammad (Redpel Jawa Pos)
Tofan Mahdi (Redpel Jawa Pos)
Fuad Ariyanto (Redaktur Senior Jawa Pos)
Nurwahid (Redaktur Metropolis Jawa Pos)
Yarno (Editor Naskah Jawa Pos)
Leak Kustiya (Redpel Grafis-Foto Jawa Pos)
Yuyung Abdi (Redaktur Foto Jawa Pos)
Sugeng Deas (Redaktur Foto Jawa Pos)

Pengumuman dilaksanakan pada pertemuan Pemimpin Redaksi Grup Jawa Pos di Hotel Ciputra Jakarta, 19 Maret 2008, oleh Koordinator Dewan Juri, Maksum.
Hadiah kategori reportase diserahkan secara simbolis oleh PO Fajar Group Bpk. Samsu Nur. Kategori feature diserahkan oleh PO Sumeks Group Bpk. Suparno Wonokromo, dan kategori foto diserahkan oleh PO Pontianak Post Group Bpk. Untung Sukarti. Disaksikan oleh Dirut PT JPNN Bpk. Rida K Liamsi dan Wadirut Jawa Pos Bpk. Zainal Muttaqin.