Rabu, 23 Desember 2009

Komunitas Sepeda Tua, Iklan Motor, dan Momentum Hari Ibu


Oleh: Fahmi Saimima, Sekjen KOSTI

Jakarta - Semakin hari kesadaran orang akan seriusnya ancaman perubahan iklim yang dipicu oleh pemanasan global semakin besar. Dalam situasi ini tanggung jawab harus ada pada setiap negara, setiap pihak, bahkan setiap orang. Semua harus berjuang keras secara simultan untuk mengurangi dampaknya yang semakin nyata.

Kita memang tidak mungkin menghindari teknologi. Tetapi, teknologi yang lebih kontekstual dengan situasi terkini harus dicari. Teknologi tidak boleh membutakan diri dari kenyataan bumi kita yang makin menua. Pabrik dan produk-produk bermesin termasuk mobil dan sepeda motor harus berjuang mengurangi emisi karbon, menggunakan bahan bakar sehemat dan seaman mungkin, sambil terus mencari bahan bakar alternatif.

Seiring dengan itu berbagai komunitas dengan gerakan cinta lingkungan pun terus menyerukan untuk merevisi gaya hidup agar lebih hemat energi, mencegah polusi, dan sebagainya. Salah satunya adalah Komunitas Sepeda Tua Indonesia (KOSTI) yang kehadirannya segera mendapat sambutan sangat baik di seantero Nusantara.

Besarnya animo masyarakat untuk kembali bersepeda pada perjalanan jarak dekat (dalam kota) ini telah direspon oleh beberapa Pemerintah Daerah dengan disediakannya jalur khusus sepeda. Kesungguhan ini semestinya mendapatkan support sehingga menjadi salah satu langkah efektif mengantisipasi dampak global warming tersebut.

Sehubungan dengan masalah ini kami atas nama KOSTI tidak merasakan adanya support positif dari sebuah perusahaan sepeda motor atas gerakan cinta lingkungan yang kami perjuangkan. Terutama saat menyaksikan tayangan iklan produk dalam rangka menyambut Hari Ibu.

Di sana digambarkan sosok Ibu yang begitu menderita --dengan ukuran sangat subyektif, karena masih menggunakan sepeda onthel. Lalu, "langkah mulia" yang dilakukan Sang Anak untuk membebaskan Sang Ibu dari penderitaan. Sekaligus sebagai tanda baktinya adalah membelikan Si Ibu sebuah sepeda motor baru.

Dalam pandangan kami iklan ini hanya melakukan pendekatan sepihak dan menafikan sisi positif bersepeda serta sisi negatif bersepeda motor. Terutama dalam kaitan perjuangan mengantisipasi dampak global warming yang semestinya menjadi tanggung jawab kita bersama.

Kasih sayang yang menjadi tema sentral pada momentum Hari Ibu lebih membutuhkan ekspresi kualitatif. Sebuah agency yang baik semestinya mampu mengekspresikan semangat perusahaan sepeda motor itu dengan pola ungkap yang tepat tanpa harus terjebak kepada perbandingan 'head to head' antara sepeda motor yang dipersepsikan sebagai sesuatu yang begitu bernilai dengan sepeda yang dipersepsikan sebagai simbol penderitaan.

Atas penayangan iklan tersebut dengan ini kami menyatakan keberatan sekaligus menyampaikan himbauan untuk menghentikan penayangannya. Karena, akan sangat kontraproduktif bagi perjuangan kami menyelamatkan lingkungan hidup dengan kembali bersepeda.

Sebagai sesama penghuni bumi ini marilah kita bekerja sama, bahu-membahu, demi menjaga lingkungan agar tetap kondusif sebagai tempat kita tinggal hingga generasi anak-cucu kelak. (Tulisan Dari Noereska - Yogya) Keberatan bersama disampaikan pula dari Komunitas B2W Indonesia dan Bikepackers Indonesia. Terima kasih.

Link terkait: http://sepeda.wordpress.com/2009/12/16/bagaimana-komentar-ontelis/
http://www.sepedaku.com/forum/showtread.php?t=24676
Iklan di: http://www.youtube.com/watch?v=_pFznRBIbvU
Diambil dari detik.com

Fahmi Saimima
Vila Tomang Baru Blok F11 No 15 Tangerang
kosti@asia.com
08567262750

Kamis, 17 Desember 2009

Harley Davidson WLC, Kagak Jodoh


Dapat si Villiers dalam keadaan mengenaskan. Tidak disangka-sangka. Saya pernah keliling pedalaman Kalbar hanya untuk mencari motor antik. Ada informasi sedikit saja saya pasti berangkat. Termasuk bela-belain izin dari kantor yang lama.

Daerah Bengkayang, Sanggau, Sintang, Singkawang, dan Ngabang pernah saya telusuri. Ada sih motor tua tapi, kebanyakan Jepang. Itupun tidak tua-tua amat. Paling banter Suzuki GT 125, GT 380, CB 125, dan Binter "KZ 200" Mercy.

Untuk Binter Mercy, saya sempat menemukan beberapa motor untuk anak-anak Black Jack, yang notabene pegila motor Chopper di Pontianak. Bahkan di Rasau Jaya, Kabupaten Kubu Raya, saya menemukan Mercy 250 cc. Seumur-umur saya baru pertama itu melihat jeroan mesin Mercy dan tertulis 250 Cc.

Sangat sulit menemukan motor-motor tua buatan Eropa di Kalbar. Informasi yang saya terima dari beberapa rekan yang sampai saat ini belum membuahkan hasil di antaranya adalah ada motor tua teronggok ditumpuk bersama sabuk kelapa (Batu Buil, Sintang), BSA M21 (Sompak, Ngabang), Norton zespan (Sanggau, keuskupan), HD WLC (Entikong, keuskupan), BSA Twin (Sanggau Permai, Sanggau), BSA C11 250 cc (Sintang), BSA 250 cc (Jeruju, Pontianak), dan terakhir HD WLC serta NSU Quicky (Pontianak).

Dicari kesana-ke sini, rupanya hanya HD WLC, NSU Quicky (Pontianak) dan BSA C11 250 cc Sintang yang infonya valid. Sayang untuk BSA C11, harganya tidak cocok. Sementara untuk HD WLC dan NSU Quicky Pontianak, sudah beberapa kali saya tawar tidak mau dilepas.

Cukup lama saya bersabar menunggu agar HD WLC bisa saya tebus. Hampir tiga tahunan saya tunggu. Selama itu, beberapa kali saya ke rumah yang punya. Namun, tetap tidak di jual. Motor dalam kondisi lengkap dan orisinil, malah masih ada bensin di tangkinya.

Di simpan di sebuah garasi yang terbuat dari kayu di depan rumah. Saking beratnya si HD, garasi itu miring tidak mampu menahan beban. Saya sendiri heran, ternyata ada WLC 750 CC di Kalbar. Kabarnya ada dua WLC, yang satu punya Pak Mal anggota Motorhead. Namun, saat motor sudah sehat dan dibawa jalan-jalan, ada PM yang menahannya. Motor buatan Amerika itu pun hingga kini tidak ada kabar beritanya. Konon kini WLC itu sudah dimiliki seorang anak jenderal di Jakarta.

Sekilas pasti tidak ada yang menyangka, rumah tua yang seluruhnya terbuat dari kayu itu, dan ada di pemukiman nyaris kumuh, ada harta karun tidak terhingga. Ya..warisan otomotof dunia yang banyak diincar pegila motor tua. Apalagi motor dalam kondisi yang orisinil pula. Bahkan, katanya motor yang sudah ditinggal pergi pemiliknya itu, sempat hidup dan dipakai keliling kampung.

Sambil menunggu pemiliknya ikhlas ditebus rupiah, saya tidak menyangka bertemu Villiers 200 Cc. Belakangan, setelah Villiers hidup, saya terpaksa menjualnya karena butuh uang untuk tambah-tambah membeli rumah. Sedih sih sedih, tapi hanya itu pilihannya. Apalagi masih ada harapan bisa memiliki HD WLC yang saya impikan siang malam.

Belakangan saya baru merasakan betapa tidak enaknya hidup tidak mengelus, melihat, dan menaiki motor antik. Hampa, tak bersemangat, seperti sebagian dari jati diri saya hilang entah kemana. Apalagi melihat rekan-rekan lainnya konvoi dan touring, plus kumpul bareng waktu ada acara temu bikers.

Sejak bekerja saya memang sudah akrab dengan motor tua. Diawali dengan Vesva Super 1966, kemudian Sprint 1978, Binter Mercy 1981, Binter Mercy Cobra 1984, dan Suzuki GT 125 Cc. Disusul Villiers 200 Cc. Saya hanya berdoa sambil sedikit-sedikit berupaya bisa memiliki motor Eropa lagi. Motor yang saya impikan adalah BMW R25 dan BSA B31 350 Cc. Buat brother yang baca tulisan ini, doain yah he he he he..biar cepat terkabul! Amin.

Di tengah asa memiliki WLC 750 Cc, saya kembali menelan kekecewaan. Sebulan lalu, saya mampir lagi ke rumah tersebut. Tentu saja untuk kembali menanyakan apakah motor itu akan dijual atau tidak. Saya kaget karena di garasi hanya ada Honda Supra 125.

WLC sudah tidak ada lagi! Yang punya rumah menuturkan motor itu sudah dijual. Ia enggan menyebut harganya. Hanya, ia bilang disamping uang tunai, Supra 125 itu juga untuk alat tukar si Tujuh Setengah. Sampai sekarang saya tidak tahu siapa yang akhirnya menjadi orang paling beruntung di dunia itu. Yang saya tahu, perasaan saya mirip lagunya Olga Syahputra...hancur hancur haaatiku!

Sabtu, 24 Oktober 2009

Menjemput Maut

Oleh: Hasyim Ashari
Pada parak pagi, Aku terbangun. Terperanjat mendapati api sudah berkobar di mana-mana. Sebentar melompat ke dinding, sejurus kemudian menerjang lemari pakaian. Meninggalkan baramerah di daun pintu. Sisanya mengapit langit-langit. Kemudian jatuh melelehkan lantai.

Sedang kasurku yang usang, entah kenapa lidah api enggan menjilatnya. Kecuali kepekatan asap yang mulai menusuk tulang iga. Sangit yang menggigit, menuntunku menembus bara yang menggetarkan raga.

Mendatangkan tanya yang berkecamuk. Apa gerangan yang sedang terjadi. Mengapa semuanya sekian berubah. Padahal, semalam masih kulihat sebaris harapan. Berpendar bersama gemintang di keluasaan cakrawala. Sejenak setelah ayah menyanjungku.

"Ayah mengeluarkan dua juta sperma ketika ereksi. Dari jumlah itu, hanya seratus ribu yang selamat. Dan kau satu-satunya yang berhasil bertemu indung telur di rahim ibumu. Sebelum lahir, kau sudah memenangkan pertarungan besar. Jadi jangan sia-siakan hidupmu. Hasilkanlah sebanyak mungkin uang, karena dengan uang kau bisa membeli segalanya. Untuk itu, melanggar prinsip sesekali, tidak apa. Dan jika seseorang mempercayaimu, terimalah dengan jiwa besar. Karena tanpa itu, kau bukan siapa-siapa," kata-kata ayah seperti wasiat.

Dan iapun menutup ceritanya dengan menegaskan dirinya tidak tidur saat aku dilahirkan.
"Ayah manapun akan melakukan hal serupa. Sebuah keajaiban, menemanimu melihat dunia untuk pertama kali. Kau adalah pelipur perih ayah setelah kehilangan pekerjaan," ujarnya.

Kemudian, aku lelap dalam dekapan malam. Dengan angan mengembang, asa yang menyala-nyala dan cita-cita yang mengangkasa. Tapi pagi ini, hanya aroma kematian yang menyeruak. Bergerak di puncak ilalang yang mulai tegak.

Pada api yang tidak lagi jinak. Aku beringsut, mencoba duduk. "Kau sudah bangun, Anakku. Sini dekat ayah," suaranya bergetar datar.

Aku segera meruap meraih sisi lengannya yang perkasa. Kupenuhi gerak dengan gurat isyarat. Bahwa bayang ketakutan datang entah darimana. Meracun nafasku, hingga tarik alirnya tersengal-engah.

Ayah menghela nafas. Berat, dalam dan tersendat. Bukan karena asap yang mulai pekat. Tapi seperti dihimpit beban dahsyat. Dan dibiarkannya tetap begitu. Sesaat, pandangannya menyapu seluruh ruangan. Berhenti menumbuk mataku.

Tapi keteduhan di wajahnya itu, seolah luluh runtuh. Ada semacam senyuman yang tidak jadi. Yang isinya cukilan misteri yang sukar kupahami. Entah bagaimana, aku merasa maut sedang bertengger di matanya. Memburu nadinya. Mengoyak belulangnya. Menohok jantungku sendiri.

Dalam sekejap kematian yang tertutup rapat, kini ikhwal yang terbentang gamblang. Sedang aku berubah ciut. Seperti guratan fajar yang membentuk bayang kehitaman cecabang pohon-pohon perdu di halaman belakang.

Aku tahu pasti akan mati. Yang tetap tidak kuketahui adalah, akan kemanakah kematian membawa ayah, membawa jiwaku serta. Adakah menjelma sebentuk burung Srigunting, di kehidupan selanjutnya. Yang menukik menyambar perjalanan hidupku yang singkat.

Atau aku akan berserak serupa debu. Melayang di semesta purba. Untuk kemudian tersesat dan menetap entah di tubuh siapa. Atau, aku tidak akan terlahir kembali. Hanya Mati saja. Dan siklus transendensi, berhenti. Titik. Dengan begitu tugas laki-laki sejati tidak pernah tuntas. Aku gagal membangun dinasti untuk orang-orang yang kucintai.

Tujuh belas hari yang lalu. Usai menerima surat merah jambu yang lusuh dan berdebu. Ayah seperti mayat di keranda. Diam dan dingin. Yang tersisa dari seluruh waktunya hanya kemarahan yang dipendam. Kesedihan dan kegamangan yang menjurang. Keputusasaan yang menenggelamkan keajaibannya sebagai suami, sebagai ayah dan sebagai dirinya sendiri. Ohh dimanakah cinta. Bukankah cinta adalah naluri manusia yang paling hakiki. Tanpanya, bagaimana melintasi senja.

Meski udara mulai menipis. Bahkan panas kian mengganas. Aku tidak berani bertanya. Sampai ayah memutuskan berbicara. Dengan cerita tanpa kata. Sebab putus oleh derita. Dalam kamar yang semakin membara. Penuturannya lara.

"Jika waktunya tiba, kejarlah gadis-gadis yang menarik. Jaga dan perlakukan mereka seperti putri raja. Karena memang begitulah adanya mereka. Jangan ulangi kesalahan ayah," Ayah menutup bibirnya dengan gigi bergeretak.

Di matanya terlihat mendung dan petir yang siap mengubahnya menjadi hujan. Wajahnya berpaling ke arah bantal berwarna biru, yang dibelinya untuk melamar ibu. Sepuluh tahun yang lalu.

Ayah benar-benar menangis. Tanpa air mata. Sebab kering terseka tebaran bara.
Ibu. Sosoknya seperti sebuah masa lalu. Bagai kilatan gambaran di kepala. Muncul begitu saja, lalu meruap entah kemana.

Tapi begitu nyata. Sebab kurasa emosi. Seperti ketika aku ingin menikam ayah, karena hanya diam. Diam dalam api yang sekam. Diam membiarkan ibu menghilang. Dari hari-hariku yang masih panjang. Dulu, dulu sekali. Ketika sebuah bisikan lembutnya, mengabarkan kalau usiaku menginjak 3 tahun. Tepat ketika ayam berkokok, ibu mengecup bibirku, mengusap rambutku.
"Jagoan ibu, jangan nakal yah."

Sosok elok itu dengan langkah sedikit berpaling, pergi menjinjing tas besar berwarna hitam. Lalu sirna bersama bus antar negara. Meninggalkan aku yang meronta di pelukan ayah. Aku kehilangan kecantikannya.
Ibuku memang cantik. Ayu sekali. Seperti penjelmaan dewi dan bidadari. Hatinya seperti peri. Rahangnya indah. Wajahnya dipenuhi taman bunga. Matanya embun cemara. Kalau tertidur, ia seperti berbicara banyak hal.

Entah bagaimana kalau ia bangun. Ibu memang hanya bangun kalau hendak menyusuiku. Selebihnya ia tidur dengan senyuman senja musim hujan. Begitulah, tidak ada yang menandingi naturalnya cinta.

Sangit sudah di mana-mana. Api semakin cepat saja merambat. Di luar, terdengar hiruk pikuk para tetangga. Kuyakin mereka kalang kabut. Sebab pagi ini bukan dipenuhi kabut, tapi api yang melaut. Aku dan ayah masih berdekapan. Duduk di atas tempat tidur. Bersandar pada dinding yang tidak lagi dingin.

"Baruna. Ini surat yang dikirim ibumu. Bacalah, agar kau tidak lagi bertanya, mengapa pagi ini semuanya bara,"

Belum sempat aku menjamahnya, atap rumah tiba-tiba runtuh. Jatuh tepat di sampingku. Baramerah berpencar seperti kembang api. Arang dan asap pekat. Aku tergagap. Dekapan ayah terlepas.

Surat di genggamanku terlontar dan terbakar. Sejurus kemudian, sepraiku yang dekil, berkobar. Lidah-lidah api mengejar dan menjalar dengan sangar. Aku masih melihat ayah menggelepar. Selain nyawanya yang meregang, seluruh tubuhnya adalah api. Tapi keperkasaannya bangkit dan berontak.

"Tuhan. Sudah kuputuskan, kalau kematian menjadi jalanku. Tempat dimana aku bisa berkehendak untuk berkuasa. Kematian akan menjadi kuasaku. Bukan kuasa-MU lagi. Kini akulah Sang Dalang. Akan kubuat Kau tergamam, mungkin juga sekian sedih. Bukankah begitu kau permainkan kami. Kau buat kami menangis, lain waktu Kau buat kami tertawa. Kini, lihatlah baik-baik. Aku, hamba-Mu yang taat, hamba-Mu yang dibalut taubat, akan tersayat. Lumat oleh hasrat. Hasrat untuk membunuh-Mu. Karena Kau sudah membiarkan, kehormatan istriku dikoyak majikan murtad. Karena Kau tidak berbuat apa-apa ketika kepala istriku pecah, terjun dari apartemen berlantai tujuh. Bangsaat! Keluarlah Kau Tuhan. Hadapi kuasaku,"

Dalam asap yang menggulung, ayah terhuyung. Terjerembab di tepi tempat tidur. Aku beringsut. Tapi ayah berhasil menggapai dan mendekapku. Dalam sekejap, api meraih rambut, wajah dan kulitku. Tapi aku malah menggigil kedinginan.

Kurasa maut segera menjelang. Datang bersama ibu yang kurindu. Dan kematian jadi begitu membahagiakan. Bersahaja dan baka. Seperti kehidupan, aku menanti kematian kembali setiap fajar. Juga ketika senja kala. Sebab kematian adalah selapis emas yang sedih.

Atau mungkin enigma tak bertepi. Aku tidak pernah sampai menyentuh dasar maknanya. Kecuali aku hanya bocah dengan keterbelakangan mental seumur hidup. Yang dibesarkan oleh kecewa. Yang kehadirannya ditolak oleh cinta.

Sungai Jawi, April 2005

Jumat, 09 Oktober 2009

Mananggar


Oleh: Hasyim Ashari
Dia satu-satunya lelaki yang tahu, bagaimana menyentuh hatiku dengan benar. Kharismanya berpendar, bersama tutur sapanya yang mutiara. Mengobati dahagaku dari reguk cinta yang sempurna.

Ia pernah memberiku setangkai mawar. Hanya karena hari itu adalah hari kamis. Romantis, manis. Menerima hadiah bukan karena kita sedang merayakan sesuatu. Sementara hasratnya, bisa membakar gairah yang sudah lama mati sekalipun. Tanpa diminta, ia sudah mengerti apa yang diinginkan seorang istri.

Sebelum kami saling mendekap dengan peluh yang melaut, langit-langit runtuh, kasur dan guling jebol, diterjang gelombang kasmaran. Oooh….!! Begitu dasyat. Selalu dasyat. Kelembutan, keindahan dan kasih sayang. Semua kudapatkan. Sebelum kemudian ajal mengakhiri segalanya.

Aku sedang mengiris mangga muda. Tiba-tiba ambulance meraung mengabarkan kematian. Auranya menebar kengerian. Membangkitkan bulu roma. Senja yang gerimis menjadi miris. Aku terperanjat.

Di luar orang mengetuk pintu. Suaranya terdengar seperti malaikat maut. Darahku berdesir, menyambar-nyambar seperti petir. Kecuali putih yang kulihat, kemudian semuanya menjadi gelap.

Aku pingsan. Tak kuasa memandang wajahnya pasi, bibirnya terkatup dan jemarinya tanpa geming. Entrapment berupa air deras yang datang tiba-tiba di buritan, gagal ditaklukannya. Perahu karetnya terhempas. Arus hole menggulungnya. Suamiku kehabisan nafas. Suamiku tewas.

Tidak. Ini tidak mungkin terjadi. Tapi kenyataan ini, sungguh tak terbantahkan. Aku tenggelam dalam linangan air mata yang melaut. Membayangkan harus menghabiskan separuh usia tanpa dirinya.

Kesedihan mengurungku. Hujan do'a sekalipun tidak mampu menyejukkan. Kehilangan menjadi kewajiban yang amat menyakitkan. Waktu telah mengubah segala-galanya. Meski hati kurebahkan pada tabah, tapi tetap terasa berat. Berat, karena aku harus belajar hidup lagi.

Sementara gerbang kematian menawarkan ruang maha lega. Jika bukan karena kandunganku, pasti sudah kuturut suamiku. Dengan mata pisau tertancap di ulu hati. Tentu saja.

"Sarah..adakah kau rindu pada bebatuan yang bertebaran, arus yang mendebarkan, deretan pohon-pohon Tengkawang, kicau Burung Tingkil dan angin yang mendesir tenang. Sungguh, layaknya harmoni mahakarya. Sebuah kedamaian yang memberi semua pengertian. Sayang, izinkan aku ke Mananggar. Lusa aku kembali. Aku menyayangimu. Jika bukan karenamu, aku tidak akan bisa berdiri tegar sampai hari ini. Tapi aku juga membutuhkan Mananggar," itulah kalimat terakhir yang kudengar, dari bibirnya yang mengobati lara. Ia kemudian menyambar perahu karet, pelampung, padle, helm dan sandal gunung.

Mananggar dan suamiku. Keduanya seperti lahir dan ditakdirkan untuk tidak terpisahkan. Suamiku telah jatuh cinta kepada panorama air terjun bertingkat tujuh itu. Bahkan sebelum keduanya dipertemukan oleh pandangan pertama.

Wajar. Sebab di tubuh Mas Doni mengalir darah petualang. Sedang Mananggar menanti ditaklukkan. Alurnya yang menganak sungai, memiliki arus bolak-balik yang unik. Karena itu, suamiku rela menempuh perjalanan 200 kilometer.

Sebulan dua kali ia rela bergegas meninggalkan Pontianak menuju Desa Serimbu, Kecamatan Air Besar, Kabupaten Landak. Katanya, Mananggar telah banyak mengajarkan kebijaksanaan. Alam memiliki philosofi sendiri tentang hidup dan kematian.

"Bayangkan. Ukuran kita dibanding perbukitan itu, sungai-sungai itu, hamparan sabana itu, ribuan pepohonan itu. Kita hanya partikel terkecil dari cakrawala. Bahkan jika kita matipun, tak mempengaruhi semesta. Waktu tetap berputar. Melahirkan jiwa-jiwa yang lapar. Berkaca dari itu, bukankah tidak ada masalah besar dalam kehidupan manusia. Yang ada hanya masalah kecil yang belum ditemukan solusinya," kata suamiku ketika aku dibawanya serta, suatu ketika. Menutupi galau di hatinya.

Sebenarnya aku kuatir. Tapi tak kuasa menolak inginnya. Aku mencoba memahami perasaannya. Sebelas tahun menunggu momongan, tentu membuatnya lelah. Penantian tak berujung mengantarnya ke puncak putus asa. Sudah habis rasanya seluruh upaya.

Dari konsultasi ke dokter spesialis kandungan, berobat ke paranormal, hingga mencoba berbagai obat tradisional. Hasilnya, kami belum juga memiliki keturunan. Aku berharap, rafting membawanya ke dunia yang lain. Dunia dimana hanya ada keindahan dan ketakjuban. Sehingga pikiran tentang buah hati, tidak terlalu menyiksanya.

Benar. Setiap kembali ke rumah, selalu saja cinta yang dibawanya pulang. Berbinar dan terang benderang.

Sebelum kepergiannya ke Mananggar, sebenarnya aku sudah hamil satu bulan. Tapi sengaja kubungkus kabar ini rapat-rapat, sebagai kado ulang tahunnya yang ke-37. Kubayangkan wajahnya keharuan, penuh sukacita. Dia menjadi bapak dan tugasku lengkap sebagai wanita. Rumah kami sesak oleh tangis dan tawa si kecil kelak.

Sebuah keluarga bahagia seperti yang selalu kubaca di majalah-majalah wanita. Tapi ternyata kematian datang lebih cepat. Membuyarkan mimpi-mimpi indah, yang belum selesai itu. Bahwa kematian mengekalkan cinta, aku tidak tahu. Yang kutahu, kematian hanya akan menjadi debu dalam ruang-ruang hampa milik kita. Jadi lupakan kematian. Lebih cepat lebih baik.

Sudah seratus hari Mas Doni meninggalkan kami. Aku dan bayi dalam perutku. Kami jadi terbiasa. Tadi malam, aku seperti mendengar suaranya lagi. Layap-layap. Jauh, sangat jauh. Tapi begitu jelas. Suaranya datang membawa dingin yang sangat. Seolah ingin menyerap seluruh energi panas yang ada di dalam kamar. Tubuhku sampai menggigil.

"Temui aku di Mananggar..temui aku di Mananggar. Sebelum purnama sempurna," kata-katanya kemudian hilang ditelan fajar.

Meski terlalu nyata untuk sebuah mimpi, Aku tidak perduli. Sampai malam berikutnya, suara itu terdengar lagi. Dengan pesan serupa. Bahkan ketika aku sedang terjaga.

Aku masih memegang kemudi Daihatsu Feroza. Menyusuri jalan berbatu. Tidak terasa, aku sudah merambati Mananggar. Geli rasanya, datang ke sini hanya karena sebuah alasan. Mimpi.

Tapi kupikir, mimpi juga sebuah dunia. Dunia dengan logikanya sendiri. Dengan banyak alasan yang pantas dipertimbangkan. Lebih dari itu, aku memang ingin memaguti potongan kenangan suamiku yang masih tertinggal, meskipun terlalu menyakitkan untuk disimpan.

Di bawah senja yang pucat, kuseret kaki dengan rantai-rantai dari sisa rindu yang kemarin. Rindu pada suamiku. Sampai Mananggar menumbuk mataku dengan pesonanya.

Begitu banyak air tumpah. Putih. Jernih. Sambung menyambung seperti selendang bidadari. Dentumnya mengetuk perut bumi. Di kanan dan kirinya, semua rumput penuh warna. Marun, hijau, biru, merah dan kuning. Ujung-ujungnya mendongak ke langit. Seperti hendak berteriak.

Kupu-kupu hitam putih terbang disekitarku. Anak-anak penoreh getah, telanjang dada. Tubuhnya sangit dibakar matahari. Gigi kekuning-kuningan dan sorot mata memendam kekaguman sekaligus harapan.

Mendengar mereka bercengkrama dalam Bahasa Dayak, seperti dendang dari sebuah negeri ujung langit. Merdu. Murni. Apalagi memperhatikan telapak-telapak tangan kecil mereka yang lincah, melempar getah ke dalam tangkin. Kemudian beringsut pulang dijemput kabut. Desau angin pada wajahku, mengabarkan sebuah tanah kelahiran yang ditinggalkan jaman.

Telingaku menangkap ada langkah mendekat. Aku menoleh ke belakang untuk memastikan. Disampingku, ternyata sudah berdiri dengan anggun seorang wanita. Kutaksir umurnya tidak lebih dari 26 tahun.

Melihat parasnya, dia pasti dari desa sekitar. Meski demikian, ia terlihat terpelajar. Pada tangannya, anak laki-laki berayun manja. Usianya sekitar 5 tahun. Wajahnya menggemaskan. Tatapan matanya, seperti pernah kuakrabi siang malam. Tapi entah dimana. Aku jadi berkhayal. Seperti apa bayiku kelak.

"Maaf. Apakah kita pernah bertemu sebelumnya," tanyaku memberanikan diri.
"Baru kali ini. Mbak seperti menunggu seseorang?"
"Iya..suamiku,"
"Suami mbak ada di sini,"
"Sulit untuk dijelaskan,"

"Maaf mbak. Saya tidak bermaksud lancang. Tapi, bukankah untuk beberapa hal, kita memiliki keterbatasan untuk menjelaskan. Dan pada titik itu yang kita butuhkan hanya kemauan untuk mengerti,"

"Mungkin begitu. Ngomong-ngomong apakah adik menunggu seseorang juga," aku balik bertanya.

"Aku menunggunya setiap senja. Di sini, di tempat yang amat dicintainya,"
"Suamiku juga mencintai tempat ini,"

Wanita itu kemudian menatapku. Penuh selidik tapi dalam batas kesopanan.
"Namaku Asti. Mbak pasti, Sarah..."
"Darimana adik tahu namaku,"
"Bang Doni menceritakan segalanya,"
"Asti mengenal suamiku?" tanyaku lagi.

Dia memalingkan wajahnya. Tatapannya menumbuk air yang tumpah itu, dalam-dalam. Ia seperti mencari sisa-sisa keberanian untuk berkata-kata. Kulihat, kelopak matanya mulai tergenang. Ada setetes air, jatuh dari sudut mata kanannya yang teduh.

"Lebih dari sekedar yang Mbak duga. Enam tahun lalu, kami menikah di sini. Dan ini Nikodemus. Dia darah daging kami. Bang Doni, memintaku menyampaikan maafnya, maaf kami. Telah merahasiakan semuanya."

Dadaku seperti hendak meledak. Ingin kuteriak. Namun suaraku tersekat. Lututku bergetar. Seluruh sendiku terasa rontok. Aku nyaris tersungkur. Tiba-tiba langit tak lagi menyimpan bintang. Sepotong purnama yang baru setengah, sirna. Seluruhnya menjadi bisu. Semua kembali kepada ketiadaan.

Ngabang, 22 Januari 2004

Minggu, 13 September 2009

Sejarah Sepeda Gazelle


Tahun 1892
Willem Kolling, yang bekerja sebagai agen kantor pos disebuah desa di Belanda yang bernama Dieren, mengundurkan diri dan memulai usaha dagang sepeda dengan memesan sebuah sepeda di Inggris. Usaha dagangnya berkembang dengan sangat bagus. Kolling kemudian memulai kerja sama dengan pengecer perangkat dari besi dan kompor Rudolf Arentzen dari Dieren.

Tahun 1902
Arentzen dan Kolling membeli tanah dan bangunan baru ditempat berdirinya pabrik sekarang, dan memulai produksi sepeda. Dalam tahun yang sama, sepeda pertama kali yang bermerk Gazelle mulai dijual.

Tahun 1903
Kemudian Gazelle memperkenalkan produksi sepeda motornya yang pertama, namun tidak dibuat oleh Gazelle sendiri.

Tahun 1905
Meskipun perkembangannya berkembang bagus Arentzen mengundurkan diri dari perusahaan itu. Posisinya digantikan oleh Hendrik Kolling, Saudara Willem Kolling.

Tahun 1912
Dengan perluasan besar-besaran terhadap tanah dan bangunan awal mereka, dan dengan alat permesinan yang modern dan spesialis, rencana produksi sendiri bisa direalisasikan sepenuhnya. Mereka memiliki spesialisasi dalam pembuatan sepeda lengkap. Sementara itu aktivitas perdagangan borongan Gazelle menjadi semakin penting.

Tahun 1915
Keluarga Kolling dan kemenakan mereka Jan Breuking mengganti nama perusahaan menjadi " N.V. GAZELLE Rijwielfabriek v/h Arentzen en Kolling ". Dalam dua puluh lima tahun berikutnya perusahaan ini mengalami pertumbuhan yang mantap.

Permintaan dari Outlet domestik serta permintaan international meningkat secara signifikan. Hal ini juga karena pasar yang berkembang bagi sepeda Gazelle di Indonesia, yang pada saat itu menjadi Koloni Belanda. Disamping sepeda-sepeda standar, beberapa sepeda bermotor, Delivery Bicycles dan Carrier tricycle ( sepeda muatan tiga roda ) diproduksi untuk berbagai sektor industri.

Tahun 1930-1931
Gazelle memperkenalkan model kerangka silang 9X dan 8V

Tahun 1931
Berbagai variasi merk Invicta muncul dalam katalog Gazelle, sementara itu merk Gelria juga diperkenalkan.

Tahun 1935
Gazelle memperkenalkan tandem pertama yang sangat populer dalam tahun-tahun sebelum perang dunia kedua. Pada tahun perkenalannya, 600 unit tandem segera terjual.

Tahun 1937
Sepeda listrik yang digerakkan oleh akumulator 12 V dan didesain oleh Philips diproduksi oleh lima pembuat sepeda yang terkenal di Belanda. Diantara mereka, Gazelle adalah yang paling penting dan mereka memproduksi 117 sepeda jenis ini.

Tetapi sepeda jenis ini tidak pernah sangat populer. Seperti bagi banyak perusahaan belanda lainnya, perang merupakan masa yang sulit bagi Gazelle, sebagian mesin pabrik dibongkar oleh tentara jerman yang menduduki dan diangkut ke Jerman. Mesin yang masih tersisa diledakkan persis sebelum kedatangan sekutu.

Selain itu , Pabrik Willem Kolling menderita kerusakan hebat akibat perang. Dalam bulan Agustus 1946 sepeda Gazelle pasca perang yang pertama tersedia dan pada tahun 1950 tersedia sepeda Gazelle dengan Clip-on Motor. Produksi Carrier Bicycle dan Carrier tricycles diteruskan.

Tahun 1954
Perusahaan Gazelle yang sebelumnya merupakan perusahaan pribadi diubah menjadi In-corporation. Pada tahun yang sama, Gazelle membuat 1.000.000 sepeda.

Tahun 1963
Diawal tahun 1963, Gazelle melakukan merger dengan Batavus dari Heerenveen. Kerja sama ini tidak bisa memenuhi harapan yang mendasari dan putus sesudah dua tahun.

Tahun 1964
Gazelle merupakan perusahaan pembuat sepeda belanda pertama yang memperkenalkan sepeda lipat ( folding bike ) yang dinami "kwikstep". Berbeda dengan sepeda lipat umum lainnya, kwikstep dilipat pada sumbu horizontal dibawah siku-siku bawah (botoom bracket) tidak pada sumbu vertikal.

Tahun 1966
Gazelle memperkenalkan kembali model tandem, kali ini jenis modern yang tidak begitu berat. pada tahun yang sama 2.000.000 sepeda Gazelle dibuat.

Tahun 1968
Gazelle mengambil alih merk Juncker, Simplex dan Locomotive serta merk moped terkenal Berini. Selain hub (poros) depan dengan rem tromol (drum-brake front hub) bermerek Gazelle, yang masih diproduksi sampai sekarang.

Gazelle juga memproduksi three-speed rear hub (poros belakang dengan tiga kecepatan) dan dengan rem teromol pada tahun enam puluhan. sesudah membuat sekitar 45.000-50.000 unit, produksi dihentikan diakhir tahun enam puluhan karena biaya yang tinggi.

Tahun 1971
Gazelle diambil alih oleh Tube Investment (TI). Nama perusahaan ini sekarang adalah " Gazelle Rijwielfabriek B.V " sebuah perseroan terbatas swasta (private limited company).
Tahun 1987 :

TI menjual divisi sepedanya kepada Derby Cycles Corp. Perusahaan multinasional dengan kantor pusat di New York ini sekarang juga memiliki perusahaan pembuat sepeda Raleigh, produsen sepeda Sturmey-Archer serta merk-merk sepeda Jerman yang terkenal Kalkhoff, Rixe, Winora dan Staiger.

Tahun 1992
Gazelle merayakan ulang tahun yang ke-100. Pada tahun yang sama,produksi total komulatifnya mencapai 8 juta unit.

Tahun 1999
Dibulan April, Gazelle mencapai tonggak sejarah baru : 10 juta sepeda telah dikeluarkan oleh pabrik. Gazelle sekarang mempekerjakan 550 karyawan dan menghasilkan lebih dari 300.000 sepeda dalam setahun.

Gazelle merupakan salah satu dari sedikit perusahaan pembuat sepeda besar yang masih membuat sendiri sebagian besar rangkanya. 20% dari total produksi diekspor ke Belgia dan wilayah-wilayah Jerman yang berdekatan.

Tahun 2001
Derby Cycles Corporation menjual Gazelle kepada dana Investasi Belanda " Gilde Buy Out Fund ". Gazelle berkembang bagus,tetapi Derby mengalami masalah finansial yang serius. Produksi tahunannya adalah sekitar 380.000 unit, sementara pangsa pasar Gazelle mencapai sekitar tiga puluh persen.

Sekarang ini, Gazelle masih menjadi pemimpin industri sepeda belanda. Sepeda Gazelle diproduksi dalam jumlah besar dan dikenal sebagai sepeda yang sangat nyaman dan tangguh Mercedes Benz-nya merk-merk sepeda Belanda.

( Sepeda muatan Gazelle yang bisa dilipat (Diproduksi pertama kali tahun 1930), kotak muatannya bisa dilipat dan chasisnya juga bisa diubah. Sepeda Gazelle bisa dilacak tahun pembuatannya dengan sangat mudah. ada daftar nomor kerangka untuk periode 1916-1950, yang berasal dari arsip-arsip Gazelle.

Gazelle menggunakan nomor kerangka langsung sampai tahun 1974. Angka pertama mengacu kepada angka terakhir tahun pembuatan. Semenjak 1981, Gazelle menggunakan nomor kerangka dengan tujuh angka. (Sumber : Theo Matthijs and Herbert Kuner, 1999-2006)

Jumat, 21 Agustus 2009

Tribun Terbesar di Kalbar


*Hasil LP3ES di 15 Kota Besar

"Saat survei kita tanyakan media apa yang tiap hari mereka baca. Dari yang disebutkan, Tribun Pontianak, teratas."
Shanty Margaretha
Supervisor LP3ES

JAKARTA, TRIBUN - Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), mengukuhkan Harian Tribun Pontianak sebagai koran terbesar yang paling disukai pembaca Kalimantan Barat.

Penetapan lembaga independen yang tak diragukan kredibilitas, akuntabilitas dan integritasnya ini, didasarkan fakta hasil riset tim LP3ES terhadap surat kabar, majalah, tabloid dan media online di 15 kota besar di Indonesia. Survei terhadap 2.971 responden ini, menempatkan Tribun Pontianak sebagai koran terbesar yang paling dibaca masyarakat Kalbar.

"Saat survei, kita tanyakan kepada ibu-ibu dan pembaca di Kalbar, media apa yang tiap hari mereka baca. Dari tiga nama yang disebutkan, Tribun Pontianak, teratas dan sering disebutkan," kata Supervisor LP3ES untuk wilayah Kalimantan Barat, Shanty Margaretha kepada Tribun, Jumat (21/8).

Yang patut disyukuri lagi, Tribun Pontianak sebagai grup Kompas Gramedia, tampil sebagai market leader tak sampai setahun, setelah terbit untuk melayani masyarakat Kalbar, 1 Agustus 2008 lalu. Urutan kedua ditempati koran lama, Pontianak Pos dan urutan ketiga, Metro Pontianak.

Shanty yang tergabung dalam tim peneliti LP3ES mengungkapkan, alasan utama pembaca Kalbar adalah berita Tribun Pontianak bermutu, mengedepankan standar jurnalistik sebagaimana yang dianut harian terbesar di Indonesia Kompas.

"Pemberitaan yang ditampilkan sudah memenuhi standar. Pelatihan bagi wartawannya serta komposisi beritanya, oke," jelas Shanty.

Selain itu, masyarakat pembaca Kalbar terpesona tampilan cover yang atraktif, enak dipandang, enak dibaca disertai foto-foto menarik, dan harganya terjangkau. "Cetakannya juga sangat bagus," puji Shanty, mengutip aspirasi pembaca Kalbar.
Kepercayaan Publik
Agar makin memberi manfaat optimal terhadap masyarakat Kalbar, Shanty menyarankan Tribun segera me-launching Tribun Portal. Dengan berita yang real time yang bisa di-klik kapan pun dan di mana pun, peran dan pengaruh Tribun Pontianak makin impresif.

Pemimpin Redaksi Tribun Pontianak, Albert Joko yang mensyukuri hasil riset lembaga independen itu, menyampaikan terimakasih yang besar kepada pembaca di Kalbar.
"Tribun berterimakasih setinggi-tingginya kepada segenap pembaca budiman yang setia membaca Tribun tiap hari. Hasil survei LP3ES ini nyata sebagai kepercayaan masyarakat kepada Tribun. Kepercayaan ini sekaligus amanah yang wajib dijawab Tribun dengan mutu layanan produk unggul dan berpijak nilai manfaat masyarakat," tutur Albert Joko.

Sebelumnya, hasil survei LP3ES bekerjasama dengan Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) ini, disampaikan Direktur Eksekutif SPS Pusat Asmono Wikan dalam bentuk executive summary berjudul, Studi Perilaku Masyarakat dalam Mengkonsumsi Media Massa dalam Rapat Kerja SPS di Hotel Millennium Jakarta, Kamis (20/8) lalu. Raker dihadiri seluruh pengurus SPS se-Indonesia.

Anggota tim riset LP3ES, Hendrajit saat mempresentasikan hasil survei menyatakan, keberadaan surat kabar di Indonesia diperkirakan mampu bertahan sampai 15 tahun ke depan, karena beberapa keunggulannya dibanding media lain, seperti televisi, radio, maupun online. "Patut disyukuri, tapi tidak boleh euforia karena ke depan tetap bisa rawan," kata Hendrajit.
Keunggulan Grup Kompas
Menurut Hendrajit, surat kabar memiliki keunggulan dibanding media lain, yaitu kedalaman berita serta kearsipan yang membuat masyarakat tetap tertarik. Survei yang digelar di 15 kota, menggunakan sampel yang dipilih secara acak distratifikasi tak proposional pada masing-masing kota, seimbang secara gender dan kategori remaja dan dewasa.

Metodologi survei ini, merepresentasi pendapat masyarakat pembaca media cetak di 15 kota, dalam kelompok pembaca remaja (usia 12-18 tahun) dan dewasa (di atas 18 tahun). Sampel yang diambil sebanyak 2.971 responden.

Adapun pengumpulan data dilakukan melalui wawancara tatap muka menggunakan kuesioner mulai 23 Juni 2009 sampai 29 Juni 2009. Tim survei LP3ES menetapkan margin of error 1,7 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.

Selain Tribun Pontianak yang tampil sebagai koran terbesar, grup Tribun di Manado, yakni Tribun Manado, dan Banjarmasin Post di Banjarmasin, juga tampil sebagai market leader di provinsi masing-masing.

Selain di Kalbar, LP3ES menggelar survei di Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Medan, Palembang, Padang, Batam, Banjarmasin, Pontianak, Makassar, Manado dan Denpasar.
Di Jakarta, Harian Kompas tetap nomor satu, urutan berikutnya Pos Kota lalu Warta Kota.

Sedangkan di Batam, grup Tribun, yakni Tribun Batam menempati urutan kedua paling banyak dibaca setelah Batam Pos. Survei LP3ES juga mengungkap pertumbuhan tiras surat kabar harian, mingguan tabloid dan majalah.

Suratkabar harian paling sering dibaca, yakni mencapai 91,1 persen, jauh meninggalkan tabloid maupun majalah bulanan. Sedangkan cakupan sebarannya, surat kabar yang paling sering dibaca adalah surat kabar lokal dengan proporsi 69,0 persen, diikuti dengan surat kabar regional 22,4 persen dan surat kabar nasional 8,6 persen.

Menariknya, di survei tersebut terungkap rubrik yang paling sering dibaca adalah kecelakaan, musibah, bencana mencapai 67,9 persen. Berikutnya, rubrik kriminal dan pendidikan yang diminati pembaca. (rzi/kompas.com)

Selasa, 11 Agustus 2009

Pertemuan

Oleh: Hasyim Ashari

Lama aku tertahan untuk tidak pulang ke tanah kelahiranku, Bekasi. Meski sebenarnya, hasrat untuk bertemu ayah, ibu dan ketiga adikku membuat dadaku penuh sesak oleh rindu. Belum lagi kenangan masa kecil yang tercecer pada jalan setapak, melekat pada pematang sawah, pada angin dan gerai tawa penduduk desa yang renyah, segar dalam ingatan.

Seolah tidak pernah lelah memanggilku kembali. Untuk sekedar singgah atau bahkan mencumbui mereka sepanjang usia tidurku. Tentu saja, karena seperti aku menyimpannya, mereka juga memiliki lembaran indah bersamaku.

Setiap saat, setiap nafas yang kuhela dan pandangan yang kubuang. Namun kesibukanku sebagai wartawan, nyaris tidak memberikan ruang yang cukup untuk pulang. Kecuali kemarin, ketika pimpinan memintaku mengikuti lokakarya Peace Jurnalisme di Surabaya.

Peace Jurnalism adalah sebuah pendekatan yang menempatkan jurnalis sebagai juru damai di daerah konflik. Aku tidak punya kata untuk menolak. Karena lokakarya tersebut, sangat berarti untuk menopang tugas-tugas peliputanku kelak. Apalagi Pontianak dikenal sebagai daerah yang memiliki potensi konflik cukup tinggi.

Tujuh kali kerusuhan antar etnis. Ratusan nyawa tak berdosa terkubur sia-sia. Dan, perih yang memilukan itu, nyaris menganga setiap tahun. Lebih dari itu, aku memang memerlukan jeda untuk membebaskan diri dari aura andrenalin.

Tugas peliputan dan deadline yang tidak kenal kompromi, telah menyisakan guratan didahiku, menyerupai alur anak-anak Sungai Kapuas. Aku masih dikerubung keraguan, sesaat sebelum pesawat yang membawaku dari Surabaya, landing di Cengkareng.

"Singgah ke Bekasi, atau langsung ke Pontianak" gumamku. Kulirik jam di lobi bandara, pukul 15.30 WIB. Sementara pesawat ke Pontianak take off jam lima sore. Aku menuju cafe, kemudian memesan secangkir kopi hangat dan Dunkin Donnuts.

Bekasi, kota itu selalu membangkitkan kenangan pada kekasihku. Tujuh tahun yang lalu. Ketika kebesaran cinta melebihi tubuhku yang ringkih. Sebelum keputusan menyakitkan lahir, dibidani oleh keadaan yang melunjak. Sebelum cinta menyerah oleh dua keinginan yang berlainan. Dan pelukan hangat tidak lagi mampu menyatukannya.

Meskipun aku tidak pernah merasa ditinggalkan, karena ku tahu ia tidak sungguh-sungguh ingin melakukannya. Aku tidak pernah berhenti mencintainya. Pribadinya selalu kukagumi dan tak mampu kutolak, hadir setiap saat.

Bahkan hingga aku menjauh ke Pontianak, bahkan jika dia sedang bercumbu dengan laki-laki lain sekalipun. Hatiku mengingatnya, karena itu dia selalu hidup. Tidak pernah jauh apalagi menghilang.

Sebaliknya, namanya menjadi bunga yang menerbarkan aroma wewangian putri-putri khayangan, tumbuh subur di lubuk hatiku. Aku merasakannya. Dia membuatku mabuk kepayang. Jika aku singgah, kuasakah aku menolak perasaan seorang laki-laki? Haruskah terkoyak kembali luka lama yang merahnya membakar seluruh emosiku?

Belum setengah kopi kureguk, ketika langkah kaki gemeretak mendekat. Tapi aku terlalu lelah untuk terusik karenanya. Sampai kudengar suara yang nadanya dawai nirwana dan nyanyiannya adalah senandung dewa-dewi. Ketika mereka rindu redam.

"Darma? Hei..sedang apa di sini?," suara itu menohok tepat dijantungku. Aku rasa dadaku gemetar. Gemetar oleh pertemuan yang sudah lama kuhindari. Gemetar seperti terbangun dari mimpi menakutkan.

Tapi aku tidak bermimpi, sama sekali tidak. Laras benar-benar berdiri di sampingku. Menemukanku bulat-bulat ketika aku menjaga jarak. Meski aku sebenarnya tidak ingin menghindar. Keadaan yang memaksaku.

Tapi ternyata Tuhan selalu tahu, kapan memisahkan dan mempertemukan. Tiba-tiba aku seperti lahir kembali, setelah perasaan cemas membunuh keberanianku pelan-pelan.
"Laras !!. A..aku menunggu pesawat ke Pontianak. Laras sendiri sedang apa?,"
"Laras kan memang sering ke Bandara. Biasa antar anak-anak berangkat ke Singapura. Ini juga baru selesai check in,"
"Kamu...sudah punya anak? Berapa?" tanyaku penuh selidik. Melirik cincin di jari manisnya.

"Becanda kamu. Anak-anak itu maksudnya Tenaga Kerja Wanita. Dua tahun terakhir, Laras bekerja di sebuah PJTKI sebagai tutor bahasa inggris dan mengurusi keberangkatan. Kantornya di di Belakang Terminal Kampung Rambutan. Jadi, hampir setiap hari Laras ke bandara. Ngomong-ngomong tidak singgah ke Bekasi?"

"Sebenernya, aku ingin sekali. Tapi ..."
"Takut bertemu Laras...!," dia selalu begitu. Selalu bisa membaca isi kepalaku.

Ya Tuhan, tatapan itu masih bijak. Senyumnya mutiara dan wajahnya seteduh cemara. Kecuali kejelitaannya yang semakin dewasa, semua masih belia seperti tujuh tahun lalu, ketika aku melumatnya dengan cemas.

Ketakjuban itu dan pesona kesederhanaanya adalah sisi lain keajaiban yang kutemukan dari diri seorang perempuan. Tidak, emosiku harus kutekan sekelebat kilat di tengah prahara. Edan!
"Laras. Maaf aku harus chek in. Sebentar lagi pesawatku berangkat. Senang bertemu denganmu," aku tergopoh menyabet ransel.

Perasaanku berkecamuk. Rindu dan perih menjadi satu. Walau sebenarnya, aku ingin menatap wajahnya sepanjang hari ini. Jika saja, dia bukan milik orang lain dan tidak di tengah keramaian, aku pasti sudah memeluknya, hingga tulang belulangnya luruh dan bersatu dengan kulit serta dagingku. Dia lantas menghidupi separuh sisa hidupku.

"Dar..tunggu sebentar. Laras ingin menjelaskan semuanya,"
"Simpan saja penjelasan itu. Aku sudah tahu semua. Aku memakluminya, karena itu aku tidak pernah menaruh sakit hati, apalagi dendam. Waktu yang mengajariku demikian. Aku sungguh tak ingin mengusik bahagiamu. Sudahlah..!" aku bergegas. Meninggalkan Laras yang berlari kecil memburu langkahku.

"Dar..tunggu," Laras meraih lenganku. Jemarinya dingin, bergetar.
"Kamu yang mengajari Laras untuk jujur dan mendengarkan apa kata hati. Laras tahu perasaan Darma, jadi jangan membohongi diri sendiri,"

"Laras tahu apa tentang perasaanku. Mengapa baru sekarang. Bagaimana dengan tujuh tahun yang lalu. Mengapa Laras menutup hati, hingga seluruh pengorbanan, pengertian, dan kesetiaan yang kutanam, tidak mampu membukanya,"

"Tidak bolehkah orang membuat satu saja pilihan keliru dalam hidupnya. Sementara, kekeliruan itu yang kemudian mengajarinya bagaimana menjadi dewasa. Karena itulah, Laras ingin menebusnya Dar. Sekarang.! Har ini.!

Aku terperanjat. Menatap bibirnya yang bergetar. "Laras kuatir besok Laras sudah benar-benar menjadi milik orang lain dan kita tidak punya kesempatan lagi memperbaikinya. Jika tidak ingin memulainya lagi, maka akhirilah ini dengan indah. Pikirkanlah. Sehari saja. Laras tidak minta apa-apa, hanya seluruh waktu dalam satu harimu."

Matanya basah. Aku tahu Laras, dia tidak pernah main-main. Hatiku terenyuh. Tidak pantas memang aku bersama tunangan orang lain, meskipun dia mantan kekasihku. Lebih dari itu, karena akupun milik juwita yang sedang menunggu. Yang digenggamannya kecemasan dan harapan.

Tapi, aku masih mencintai Laras. Bahkan, kadarnya tidak berkurang. Malah bertambah sayangku. Jarak dan waktu, telah memupuknya menjadi kasih. Sore itu aku membatalkan penerbangan pulang.

Aku meraih jemari Laras dan menuntunnya ke dalam bus kota, ketika senja jatuh di Jakarta. Sinarnya keemasan dan warnanya kuning gading berebut ruang dengan pekat di ufuk timur. Gedung-gedung pencakar langit, takzim bertengadah menyambut malam, sebelum kerlip temaram neon menambah kemegahannya.

Senja ini, keindahannya masih seperti tujuh tahun yang lalu. Ketika kami berdekapan dalam seragam abu-abu. Sejak saat itu, kami selalu menunggu datangnya senja. Dimanapun ia menjatuhkan diri.

"Darma..satu senja saja sudah membekukan seluruh cinta yang Laras bina selama empat tahun bersama Doni. Laras semakin yakin, kalau cinta sejati itu benar-benar ada. Laras juga percaya bahwa setiap manusia memiliki pasangan jiwanya. Laras tahu cinta sejati tidak harus mengorbankan cinta orang lain. Sementara pasangan jiwa, kebijaksanaannya melebihi simbol-simbol ikatan perkawinan. Laras boleh jadi melahirkan lusinan keturunan laki-laki lain, tapi kenyataan tidak terbantah, kalau kamulah sebelah jiwa Laras,"

Pernyataan Laras berpacu dengan bus yang melesat menyisir belantara Jakarta menuju timur. Dia menyandarkan kepalanya dibahuku. Sementara aku melepaskan bebanku pada kelembutan sikapnya, pada harum dan kehangatan kulitnya dan pada rambutnya yang bergelombang.

Kami berbicara penuh makna, tanpa kata, tanpa penjelasan, tanpa pertanyaan. Kami sudah mengerti tanpa harus memberi pengertian. Sehingga tidak ada lagi yang harus diungkapkan. Hanya nafas cinta yang memburu. Seperti tujuh tahun yang lalu.

Sepanjang senja itu, aku tidak hanya memaafkan Laras, tapi juga mengampuni keadaan. Dan bila saja Tuhan memanggilku saat ini, aku ingin diserakan bersama gugusan gemintang. Bersama cakrawala menjadi pandu bagi seluruh sejoli yang sedang kasmaran, di bumi.

Juwita, aku tahu ini penghianatan atas percayamu. Tak kusangsikan kau adalah kekasihku, istriku, hidupku selamanya. Tapi Laras, jiwanya sudah menikahi jiwaku, jauh sebelum kita bertemu. Aku tidak mampu menolak, meski untuk satu hari. Setelah itu, akan kuserahkan semua milikku di bawah panji-panji kesetiaanmu. Maaf!

Jakarta, 4 Maret 2003

Jumat, 07 Agustus 2009

Motor Pertama di Pulau Jawa


*Si Kereta Setan Hildebrand Und Wolfmuller

Kereta Setan. Begitu orang menyebut kendaraan bermotor pertama di Jawa yang tidak ditarik oleh kuda atau hewan lainnya. Pokoknya, "kereta setan" yang maksudnya sepeda motor itu bikin bengong orang yang melihat "kereta setan" ini melintas. Saking terkesima dengan sepeda yang bisa lari sendiri dengan kencang maka kendaraan itu pun diberi nama "kereta setan".

Ternyata si kereta setan itu adalah kendaraan bermotor pertama di Jawa. Jadi, bukan mobil yang hadir pertama di Jawa, tapi sepeda motor. Orang pertama yang memiliki kereta setan ini adalah seorang masinis pabrik gula di Umbul, dekat Probolinggo. Namanya John C Potter, ia bukanlah orang Probolinggo tapi orang Inggris.

Potter, demikian disebutkan oleh JJ de Vries dalam Jaarboek van Batavia en Omstreken, Batavia, sampai-sampai membuat Hildebrand dan Wolfmuller - pemilik pabrik sekaligus penemu sepeda motor - kepayahan mencari letak kota Probolinggo lantaran mereka harus mengirimkan pesanan sepeda motor, atas nama Potter, dari Jerman ke pelosok Jawa Timur kala itu.

Hildebrand dan Wolfmuller tercatat sebagai penemu sepeda motor pertama di dunia pada tahun 1893. Nama mereka berdua menjadi nama pabrik sepeda motor, Hildebrand Und Wolfmuller. JJ de Vries menulis, bahkan bagi orang di masa sekitaran abad 20, sepeda motor temuan Hildebrand dan Wolfmuller dinilai ajaib. Bisa dibayangkan bagaimana orang di masa lampau ternganga dengan sepeda motor yang berjalan tanpa rantai, kopling, magnet, bahkan tanpa baterai dan seutas kabel pun.

Sepeda motor ini hanya menggunakan dua silinder horisontal dan dua tabung yang dipanaskan dengan bahan bakar naphta (minyak bumi berwarna kuning). Untuk menjalankannya perlu waktu 20 menit. Bangkai motor ini ditemukan di tahun 1932. Tercecer di bengkel Potter. Bangkai ini kemudian disusun kembali sebagai barang antik dan ditempatkan di museum lalu lintas Surabaya.

Bicara soal sepeda motor, akhir pekan ini, 8 dan 9 Agustus, Motor Besar Club (MBC) DKI Jakarta akan menggelar acara di kawasan Kota Tua yang dipusatkan di Taman Fatahillah termasuk Munas MBC di Museum Bank Mandiri. Acara bertema "Batavia Bike Week" ini digelar untuk pertama kali sebagai kepedulian kelompok ini dalam upaya memperkenalkan kawasan bersejarah di Jakarta sambil menyalurkan hobi terhadap motor besar.

Lintas Jawa
Tidak mau kalah dengan pengendara mobil, pengendara sepeda motor pun berupaya membukukan rekor perjalanan lintas Jawa dari Batavia (Jakarta) sampai Soerabaja (Surabaya) yang berjarak sekitar 850 kilometer.

Tanggal 7 Mei 1917, Gerrit de Raadt dengan mengendarai sepeda motor Reading Standard membukukan rekor perjalanan dari Jakarta ke Surabaya dalam waktu 20 jam dan 45 menit. Sepuluh hari setelahnya, 16 Mei 1917, Frits Sluijmers dan Wim Wygchel yang secara bergantian mengendarai sepeda motor Excelsior memperbaiki rekor yang dibukukan Gerrit de Raadt.

Mereka mencatat waktu 20 jam dan 24 menit, dengan kecepatan rata-rata 42 kilometer per jam.
Rekor itu tidak bertahan lama. Sembilan hari sesudahnya, 24 Mei 1917, Goddy Younge dengan sepeda motor Harley Davidson membukukan rekor baru dengan catatan waktu 17 jam dan 37 menit, dengan kecepatan rata-rata 48 kilometer per jam.

Rekor itu sempat bertahan selama lima bulan sebelum dipecahkan oleh Barend ten Dam yang mengendarai sepeda motor Indian dalam waktu 15 jam dan 37 menit pada tanggal 18 September 1917, dengan kecepatan rata-rata 52 kilometer per jam.

Melihat rekornya dipecahkan oleh Barend ten Dam, enam hari sesudahnya, 24 September 1917, Goddy Younge yang berasal dari Semarang kembali mengukir rekor baru dengan catatan waktu 14 jam dan 11 menit, dan kecepatan sepeda motor Harley Davidson yang dikendarainya rata-rata 60 kilometer per jam.

Pada awal tahun 1960-an, mulai masuk pula skuter Vespa, yang disusul dengan skuter Lambretta pada akhir tahun 1960-an. Pada masa itu, masuk pula sepeda motor asal Jepang, Suzuki, Honda, Yamaha, dan belakangan juga Kawasaki.

Seiring dengan perjalanan waktu, sepeda motor asal Jepang mendominasi pasar sepeda motor di negeri ini. Urutan teratas ditempati oleh Honda, diikuti oleh Yamaha di tempat kedua dan Suzuki di tempat ketiga. (warta kota/kompas gramedia).

Kamis, 06 Agustus 2009

Mbah Surip Genjot Sepeda Ontel


*Dari Mojokerto ke Jakarta
Lelaki nyentrik, unik, dan sederhana itu menjejakkan kaki di Jakarta pada 1985. Tujuannya bukan untuk menjadi seniman, melainkan bertemu dengan petinju idolanya, Elias Pical, yang saat itu sedang naik daun.

Ia berambisi mengalahkan Elias Pical dalam adu panco. Lelaki kelahiran 1949 itu, yakin bakal menaklukkan sangan juara dunia. Apalagi, di kampungnya, Mojokerto, tidak ada yang bisa melawan Mbah Surip tanding panco. Ia kemudian bulat menetapkan hati ke Jakarta.

Siapa yang menyangka, kalau Mbah Surip tidak memilih menggunakan angkutan umum. Ia menggoes sepeda ontel dari Mojokerto ke ibu kota negara. Tidak tanggung-tanggung, ia tempuh perjalanan dalam waktu empat hari.

Tiba di Jakarta, Mbah Surip bingung karena tak punya tempat tinggal di Jakarta akhirnya ia pun melangkahkan kakinya ke Kelompok Penyanyi Jalanan (KPJ), Bulungan. Kepada seorang temannya, Andi, ia minta diantar ke rumah Elias Pical.

Andi menyanggupi, dengan persyaratan Mbah Surip harus mengalahkan orang-orang KPJ lebih dulu. Semua orang di KPJ kalah kecuali Andi. Walau sudah mencoba berulang-ulang, Mbah Surip tetap saja kalah.

Impian bertanding panco dengan Elias Pical pun tidak pernah terjadi. Sebab Mbah Surip sendiri sudah asik di KPJ. Tekadnya yang luar biasa untuk sruvive membuat lelaki

Bob Boreno, pelukis kenamaan di Kaltim menuturkan ia bertemu Mbah Surip tahun 1986. Mereka sama-sama berprofesi sebagai seniman di Gelanggang Remaja Jakarta Selatan (Gerajas) di Jl Bulungan, Jakarta Selatan.

"Dulu, Mbah Surip ke mana-mana selalu pakai sepeda ontel. Sepedanya suka saya umpetin (sembunyikan, Red.). Kalau ban sepedanya bocor, minta uang ke saya untuk menambal," ujar Om Bob.

Di matanya, Mbah Surip memiliki sifat yang sangat peduli pada orang-orang di sekitarnya. "Kalau dia dapat rejeki habis ngamen, dan dia mau makan, dia tanya dulu teman-teman kiri kanan siapa yang belum makan, dia mau ngajak makan, dia yang bayar," papar Om Bob.

Perjuangan tak kenal menyerah, dedikasi dan kesetiaan kepada teman, mengantarkan Mbah Surip yang sederhana ke jenjang ketenaran. Orang mengenalnya di mana-mana, anak-anak, remaja, orangtua, kerap melantunkan Tak Gendong.

Bukti popularitas Mbah Surip, selain jadi ikon baru rumah-rumah produksi dan stasiun televisi, ring-back tone (RBT) Tak Gendong mampu merebut hati 130 ribu pelanggan Indosat dan XL. Ratusan ribu pelanggan itu mengaktivasi RBT Tak Gendong per Februari sampai Juni 2009.
Dari laris-manisnya RBT ini, Mbah Surip ketiban bagian Rp 4,5 miliar dari total pemasukan Rp 9 miliar.

Meski begitu, lihatlah ia sama sekali tidak berubah. Corak kehidupan jelata, bersahaja, dan selalu tertawa, tak ubahnya ekspresi seorang manusia miskin yang jujur dalam menjalani kehidupannya.

Pernah saat diikuti reporter Viva News, Mbah Surip makan di sebuah warteg. Ada pengemis dan pengamen yang mendekat. Ia buru-buru merogoh dua lembar Rp 50 ribu dari sakunya. Uang yang masih dalam amplop itu, adalah honornya jadi bintang tamu di Ceriwis di TRANS TV .

Kini, Bangsa Indonesia kehilangan seniman unik, nyentrik dan bertalenta tinggi ala Mbah Surip, Pelantun lagu Tak Gendong ini meninggal mendadak sekitar pukul 11.30 WIB, di rumah Mamiek Srimulat di Kampung Makassar, Jakarta Timur.
Selamat jalan Mbah..i love you full.!!

Senin, 27 Juli 2009

Dursdley Pedersen?



Saya menemukan gambar sepeda ini di Antara Foto.
Sepeda ini satu di antara peserta pameran di Jawa Timur..
Adakah rekan-rekan yang tahu..sepeda jenis apa ini? Sebab emblemnya gak kelihatan.
Selain konstruksi rangkanya yang unik..penggerak roda juga menggunakan Gardan.
Saya hanya menemukan kesamaan bentuk rangka sepeda ini dengan Merk Dursdley Pedersen.

Namun, Dursdley rata-rata memakai rantai sebagai penggerak roda...
Sungguh beruntung yang punya sepeda ini. Ternyata Indonesia memang kaya raya dengan sepeda antik...
Untuk lengkapnya bisa dilihat di www.dursley-pedersen.net

Minggu, 31 Mei 2009

Lahan Aloevera Menyusut Drastis


*Petani Sulit Pasarkan Hasil Panen

PONTIANAK, TRIBUN - Asosiasi Petani Aloevera Kalbar, menyambut baik rencana Dinas Perdagangan dan Industri Kalbar, yang mencanangkan program One Village One Product (Ovop), dengan menjadikan aloevera atau lidah buaya sebagai komoditas unggulan Kota Pontianak.

Namun, saat ini banyak petani yang sudah beralih menanam pepaya Hawai, karena kesulitan menjual aloevera. "Jumlah petani dan areal tanam Aloevera menyusut drastis. Jika pada 2001-2005 ada sekitar 100 hektare, dalam empat tahun terakhir berkurang menjadi sekitar 50 hektare saja. Petani sulit menjual hasil panen," kata Ketua Asosiasi Petani Aloevera Kalbar, Tjin Djie Sen, kepada Tribun, Minggu (31/5).

Djie Sen menuturkan, pabrik pengolahan lidah buaya, PT Niramas di Jl 28 Oktober yang menjadi harapan para petani di Pontianak Utara, ternyata tidak maksimal menyerap hasil panen. Bahkan, sejak tiga bulan terakhir, mereka tidak lagi meminta pasokan dari petani. "Kalau ada permintaan dari luar negeri, baru mereka pesan. Kalau tidak, petani hanya menjualnya kepada home industri di Pontianak. tentu saja permintaanya jauh lebih kecil," ujarnya.

Djie Sen menjelaskan PT Niramas, biasanya sekali order ke petani bisa mencapai 8 ton lidah buaya. Namun, kalau ke home industri paling besar hanya 200 kilogram per hari. Jika ke kios-kios di Jl Budi Utomo paling hanya 100 kilogram per hari. Belum lagi, banyak home industry yang memiliki kebun lidah buaya sendiri. "Kalau persoalan pemasaran ini tidak segera dipecahkan, saya yakin tidak ada lagi yang menanam lidah buaya," tegasnya.

Ia menambahkan, bertani lidah buaya sebenarnya sangat menguntungkan. Untuk satu hektare lahan produktif bisa menghasilkan 3 ton per sekali panen. Lidah buaya bisa dipanen dua kali sepekan. Artinya, jika harga per koligram Rp 800, minimal petani bisa mengantongi hampir Rp 5 juta per pekan.

"Persoalannya sekarang, siapa yang mau beli. Tanaman sudah siap panen, pembelinya terbatas. Terpaksa kita gilir biar semua kebagian. Sementara petani yang masuk asosiasi ada 58 orang," kata Djie Sen.

Karena itu, banyak petani yang kemudian beralih menanam pepaya Hawai karena dianggap lebih mudah dijual. Bahkan, tanaman lidah buaya yang sudah ada dicabut karena menanggap lidah buaya tidak lagi menguntungkan. Lahan yang adapun jadi sia-sia.

"Aliong, petani lidah buaya di Jl Budi Utomo, Sungai Selamat, menjual 14 ribu batang lidah buaya miliknya seharga Rp 24 juta. Padahal, per pekan untuk lidah buaya sebanyak itu, bisa menghasilkan 6 ton per sekali panen. Ingat, lidah buaya itu dipanen seumur hidup. Kemungkinan Aliong beralih ke pepaya," paparnya.

Asosiasi saat ini sedang memikirkan bagaimana bisa mengekspor pelepah lidah buaya ke Singapura dan Kuala Lumpur, Malaysia. Langkah itu sudah pernah dilakukan beberapa waktu lalu. Sekali kirim msatu peti kemas bisa 20 ton pelepah lidah buaya.

"Kita berharap pemerintah campur tangan untuk mencarikan pasar lidah buaya. Tidak hanya untuk Pontianak, namun juga untuk petani di Rasau Jaya. Kita sering ikut pameran, namun tidak ada tindaklanjut. Sepertinya usaha kami sia-sia," tegas Djie Sen.

Petani aloevera di Parit Pangeran Dalam, Jiman Saputro, hanya tersenyum ketika Tribun bertanya tentang niat pemerintah menjadikan aloevera sebagai produk unggulan.

"Setahun lalu, Wali Kota Buchary A Rachman mengatakan aloevera jadi maskot Kota Pontianak. Saya bertanya, bagaimana dengan petaninya Pak. Kami kesulitan memasarkannya. Kalau saja PT Niramas rutin mengambil aloevera petani, pemerintah tidak perlu lagi campur tangan. Petani sudah terbantu. Sekarang, kenyataannya bagaimana. Banyak petani yang beralih menaman pepaya," papar Jiman yang memiliki 3.000 batang pohon lidah buaya.

Jiman menjual hasil panennya kepada home industri yang ada di Pontianak. Namun itupun permintaannya sangat terbatas, karena hanya sebulan dua kali. Sekali kirim sekitar 200 kilogram atau setara Rp 1,6 juta.

Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Pontianak Utara, Bambang Irawan, membenarkan
keluhan-keluhan tersebut. "Pupuk misalnya, kita bisa distribusikan sekitar 28 ton per bulan dari 33 ton pupuk bersubsidi yang dialokasikan. Tidak ada masalah krusial lain kecuali pemasaran. Yang juga patut jadi perhatian adalah dukungan infrastruktur," katanya.

Akses Jalan Rusak Parah
Djie Sen dan Jiman, menyoroti kondisi jalan di sentra lidah buaya yang saat ini rusak parah. Penetapan Pontianak Utara sebagai sentra aloevera ternyata tidak dibarengi dengan infrastruktur yang memadai. "Bagaimana kita bisa mengangkut lidah buaya, pepaya, dan hasil pertanian lainnya jika jalan rusak begini," kata Djie Sen.

Jalan-jalan yang rusak tersebut menjadi urat nadi para petani di kawasan Parit Bugis dan Parit Jawa. masing-masing Jl Kebangkitan Nasional yang rusak sekitar 4 kilometer, Jl Parit Pangeran Dalam rusak sepanjang 2 kilometer, Jl 28 Oktober rusak sejauh 1 kilometer dan Jl Padat Karya juga rusak sekitar setengah kilometer.

"Harus hati-hati. Kalau tidak, pepaya bonyok sebelum tiba di pasar. Jl Parit Pangeran Dalam ini, terakhir dibangun pada 2005. Karena pengerjaanya terkesan asal-asalan, sekarang hancur," ujar Jiman, Ketua RW28, yang tinggal di Parit Pangeran Dalam.

Pantauan Tribun, di empat jalan utama itu, banyak lubang berdiameter setengah meter dengan kedalaman sekitar 15 centimeter. Lubang-lubang itu hampir merata dan berjarak sekitar 20 centimeter. Bahkan, di Jl Parit Pengeran Dalam dua gorong-gorong amblas.

Djie Sen dan Jiman menegaskan, sudah berkali-kali mengusulkan di musyawarah rencana pembangunan (Musrenbang) di tingkat desa, namun sampai saat ini belum ada realisasinya.

Sekretaris Fraksi Golkar, DPRD Kota Pontianak, Firdaus Zar'in, mengaku beberapa kali pernah mendapat keluhan warga terkait kerusakan jalan di kawasan tersebut. "Keluhan itu sudah lama. Kita
juga prihatin. Apalagi kawasan itu merupakan sentra aloevera. Kalau tidak didukung dengan infrastruktur memadai, bagaimana bis aproduktif," kata Firdaus Zar'in.

Saya belum cek masalah ini ke Dinas Pekerjaan Umum Kota Pontianak. Sebab masalahnya Jl Kebangkitan Nasional masuk jalan provinsi. Kewenangannya ada di Dinas Pekerjaan Umum Provinsi. Tapi, ia meminta agar kedua lembaga itu bersinergi untuk memperbaiki jalan yang rusak tersebut.

"Saya akan mendorong teman-teman di Fraksi Golkar untuk memperjuangkan anggaran bagi perbaikan jalan Kebangkitan Nasional pada anggaran biaya tambahan (ABT), Juli, tahun ini. Kami siap memperjuangkannya. Ini juga sebagai kado terakhir," ujarnya.

Perluas publikasi
Kesibukan terlihat di Isun Vera, sebuah home industry pengolahan lidah buaya di Komplek Bumi Indah Khatulistiwa, Blok A Nomor 3, Siantan Hulu. Fatmah (17) dan Sari (17), mengemas teh lidah buaya ke dalam bukus-bukus kecil. Sementara Ira (21), mengepak jelly lidah buaya di sebelahnya. Mereka adalah tiga dari 15 karyawan yang bekerja di Isun Vera.

"Kerjanya dibagi-bagi. Ada yang membuat teh, ada yang membuat dodol, jelly, selai, dan kerupuk. Sekarang kita juga buat tas dan dompet dari kulit lidah buaya. Untuk bahan baku kita beli dari petani 200 kilogram per hari. Tapi, kita juga punya kebun 2 hektare," kata pemilik Isun Vera, Sunani, kepada Tribun.

Kebanyakan pekerjanya adalah mereka yang hanya tamatan sekolah dasar. Ada juga yang tamatan SMA. Per bulan Sunani menggaji mereka nilai nilai yang disesuaikan dengan masa kerja dan beban pekerjaan. "Gajinya antara Rp 350 ribu-1,2 juta per bulan. Ya, kita merasa bangga bisa menyediakan lapangan pekerjaan untuk warga sekitar," tambahnya.

Perempuan berkacamata ini menuturkan permintaan terhadap produk olahan lidah buaya cukup besar. Apalagi setelah beberapa stasiun televisi nasional meliput tanaman dan produk lidah buaya. Kini, ia bisa memenuhi permintaan dari Jakarta, Banjarmasin, Pangkalanbun, Yogyakarta, dan Malaysia.

"Yang paling laris adalah teh lidah buaya dan jelly. Mereka rutin memesan minimal sebulan sekali. Per bulan omzetnya bisa mencapai Rp 10 juta," papar Sunani yang berharap publikasi dan promosi produk olahan lidah buaya diperluas.

Untuk kualitas produk, Sunani mengaku sudah mematenkan merek dagangnya di Jakarta sejak dua tahun lalu. Sertifikatnya akan keluar bulan Agustus mendatang. Sementara untuk sertifikasi halal sedang dalam proses dan gratis. (hsm)

Jumat, 29 Mei 2009

Bangkai Simplex Cycloid


Kalau rezeki emang gak kemana. Kagak bakal tertukar. Tapi, kali ini saya yang kurang beruntung. Saya yang berharap bisa menemukan Simplex, eh..rupanya rekan saya, Atel, yang ketiban durian runtuh. Tapi tak mengapa, saya ikut merasa senang. Sebab tuh Simplex gak jatuh ke tangan yang keliru.

Atel menelpon saya sekitar pukul 23.00 WIB, belum lama ini. Waktu itu, saya sedang nongkrong di sebuah kafe di bilangan Jl Gajahmada Pontianak. Sepulang kerja, saya dan beberapa teman memang ngumpul di sana. Bicara tentang ini itu, termasuk tentang sepeda.

"Bang, saya baru dapat Simplex nih. Cuman, bentuk setangnya agak aneh. Bener apa enggak?" tanya Atel di ujung telepon.

Saya kemudian memintanya menjelaskan, anehnya di mana. Rupanya, posisi handle rem yang konstruksinya masuk ke batang setang. Tidak seperti sepeda tua biasa yang posisi handlenya ada di luar. Saya langsung teringat referensi yang pernah saya baca di Simplex Forum.

"Itu Simplex Cycloid. Tapi, tidak tahu apakah Neo atau model lainnya,"
Setelah membaca komentarnya Andyt, ternyata sepeda tersebut dekat ke Simplex Cycloid Elite. Satu di antaranya adalah konstruksi setangnya yang masuk. Andyt mengatakan, banyak Simplex yang menggunakan setir (Setang) Simplex model biasa, misalnya Cycloide Standaart, Cycloide Radium, dan Cycloide Model Extra. Di Surabaya saja, pasaran setir yang model masuk sekitar Rp 400-500 ribu perunit dan tergantung kondisi.

"Kalau ente gak mau, biar gua yang bayar Tel,"
Atel tertawa di ujung teleponnya."Ha ha ha ha,"
Saya langsung menyarankan Atel, untuk segera membayar si Simplex. Bukan apa-apa, kalau kelamaan, takut pemiliknya keburu menyadari kalau sepeda yang tidak dipakainya lagi itu tergolong varian langka. Saya ingat betul komentar Bang Lai di Simplex Forum.

Cycloide sekarang banyak dicari. Entah karena konstruksi yang enak, ataukah lagi ikut-ikutan demam memburu Cycloide. "Barangnya langka banget. Jadi makin sulit nemunya. Lima tahun lalu saja, ketika belum banyak orang tahu cycloide sudah sulit nyarinya. Apalagi sekarang," kata Bang Lai.
Rekan Bang Lai, mendapat Cycloide seri 2 cuman dihargai Rp 1,2 juta! "Itu harta karun kata saya," tegas Bang Lai.

Ia mengaku heran banget haree genee dapet Cycloide bagus, cuman segitu. Ia bahkan bersloroh, jangankan Rp 1,2 juta, keluar Rp 5,1juta pun banyak orang berani demi si Cycloid.
Andyt menambahkan, Simplex Cycloide adalah buruan utama penggemar sepeda kuno di Indonesia dua tahun terakhir. Sehingga jenis ini menjadi sangat..sangat..langka.

Kebanyakan yang muncul sudah gado-gado (onderdil tidak semua asli dan dicampur dengan opsi merek sepeda lain), dan ada pula yang palsu (dari frame Hima, atau Valuas atau merek kurang terkenal lainnya) dan celakanya dijual dengan harga mahal sebagai Cycloide asli. Pembeli yang kurang jeli hanya menyesal dikemudian hari. Jadi sebaiknya hati-hati. Satu tromol Cycloide-nya saja dengan kondisi 80 persen laku Rp 1 juta lebih. Busyet dah!.

Atel kembali menuturkan, beberapa ciri yang menjadi ciri khas Cycloid Elite, sudah gak pada kelihatan kecuali setangnya. Tidak hanya itu, nomer serinya juga diawali dengan angka 7, bukan 1 atau 2. Namun, ternyata ada juga Simplex Cycloid yang seri 7. Tapi, saya tidak tahu kapan tanggal pembuatannya.

Sejumlah komentar menyebut tahun pembuatan Simplex Cycloid, cenderung tahun tua kira-kira 1935 ke bawah. Namun ada juga yang mulai dibuat tahun 1950-1955. Untuk lebih jelas tentang Simplex bisa kunjungi http://www.rijwiel.net/artsim_n.htm, tentang penomoran produksi Simplex. Hmm..ternyata banyak harta karun di Kalbar. Setelah si cantik frame "S" Neckarsulm Stickmachen Union (NSU), kini ada Simplex Cycloid Elite yang bangkit dari kubur.

Sabtu, 02 Mei 2009

Awas, Selingkuh Bikin Ketagihan


*Boyke Ingatkan Keganasan Kanker Rahim

PONTIANAK, TRIBUN - Dokter spesialis kandungan terkemuka, dr Boyke Dian Nugraha SpOG MARS, menegaskan selingkuh sama dengan mengkonsumsi narkoba. Sekali mencoba pasti bikin ketagihan dan sulit untuk dihilangkan. Tidak hanya itu, selingkuh juga menjadi ancaman serius bagi kelangsungan kehidupan rumah tangga dan karier.

"Contohnya seperti yang menerpa Ketua KPK, Antasari Azhar," ujar Boyke saat berkunjung ke Tribun Pontianak, Sabtu (2/5).

Berdasarkan pasien yang datang berkonsultasi ke Klinik Pasutri miliknya, perselingkuhan menjadi penyebab ketidakharmonisan hubungan suami istri atau sebaliknya, hubungan suami istri yang tidak harmonis memicu perselingkuhan.

"Selingkuh tidak hanya dilakukan suami, namun juga istri. Dari lima laki-laki empat di antaranya selingkuh. Sementara dari lima wanita dua di antaranya juga selingkuh. Ironisnya, dari 10 kasus perselingkuhan hanya dua kasus yang sampai ke jenjang perkawinan. Sisanya, dilakukan untuk having fun," kata Boyke.

Boyke menuturkan sedikitnya pasangan selingkuh yang menikah karena kebanyakan laki-laki itu buaya. Sementara wanita menginginkan kehidupan yang lebih stabil. Apalagi, belakangan selingkuh menjadi bagian dari gaya hidup kalangan mapan. Sebab mereka bergelimang uang dan kekuasaan.

"Golongan ini berselingkuh untuk mendapatkan pengakuan dan status sosial. Karena itu mereka menjalin hubungan dengan perempuan atau laki-laki yang derajat sosialnya lebih tinggi ataudari kalangan artis misalnya. Jadi jelas orientasinya bukan seks semata," paparnya.

Boyke juga menegaskan mereka yang selingkuh di usia dewasa, biasanya secara kasat mata memiliki tampang baik-baik, bahkan cenderung alim pada masa mudanya. Justru mereka yang pada masa muda kerap bergaul dengan teman-teman wanita yang kecil kemungkinan berselingkuh ketika berumah tangga.

"Ibu-ibu yang datang ke saya, banyak yang komplain. Tidak mungkin suami saya selingkuh Dok. Dia sudah empat kali umroh. Lalu saya jawab, waktu umroh 'barangnya' pakai sorban gak Bu," ujar Boyke tertawa.
Kanker rahim

Boyke menuturkan, berhenti dari RS Kanker Dharmais karena ia tidak sanggup melihat pasien-pasien yang datang ke rumah sakit dalam kondisi sehat, kemudian pulang ke rumah dalam keadaan meninggal. Serviks menjadi pembunuh nomor satu perempuan di Indonesia. Hal ini disebabkan mayoritas penderita datang berobat ketika kesehatannya kritis atau ketika penyakitnya sudah stadium lanjut.

"Kalau sudah kena kanker rahim, sekali suntik obatnya bisa Rp 14 juta. Setelah disuntik, rambut rontok dan seluruh kulit mengering serta terkelupas. Pasiennya meninggal dalam kondisi yang mengenaskan bukan," paparya.

Kanker ini disebabkan oleh virus yang ditularkan suami kepada istrinya saat berhubungan intim. Mereka yang selingkuh dan bergonta-ganti pasangan menjadi kelompok yang rentan menularkan kanker mematikan ini. Karena itu, Boyke beranggapan ada hubungan antara kanker serviks dengan hubungan suami istri dan keharmonisan dalam rumah tangga. "Kalau rumah tangga harmonis, termasuk soal hubungan suami istri, yakinlah akan baik-baik saja," ujarnya.

Serviks tidak bisa dilihat secara fisik karena tidak menimbulkan gejala. Satu cara untuk mengetahuinya adalah dengan Pap Smear dan Pap Net. Pap Smear adalah screening untuk mendeteksi perubahan sel sel yang terjadi di dalam serviks uterus. Sementara Pap Net adalah pemeriksaan dengan pengambilan lendir leher rahim sama seperti papsmear konvensional, tetapi dengan memanfaatkan teknologi komputer dalam menganalisanya.

"Tingkat akurasi Pap Net sampai 95 persen. Sedangkan Pap Smear hanya 80 persen. Harga pemeriksaan Pap Smear mulai Rp 150 ribu dan Pap Net mulai Rp 350 ribu," ujar Boyke yang saat ini sedang mengkampanyekan bahaya kanker serviks.

Bagi mereka yang ingin mengantisipasi serviks, Boyke menganjurkan untuk divaksin. Termasuk mereka yang belum pernah melakukan hubungan intim. Namun vaksin ini hanya efektif diberikan untuk mereka yang berusia antara 10 tahun hingga 55 tahun. Di atas itu, vaksin menjadi tidak banyak pengaruhnya. Harga vaksin mulai dari Rp 750 ribu dilakukan sebanyak tiga kali selama enam bulan.

Data yang dilansir Kompas.com, diperkirakan 52 juta perempuan Indonesia berisiko terkena kanker serviks. Sementara 36 persen perempuan dari seluruh penderita kanker adalah pasien kanker serviks. Ada 15.000 kasus baru per tahun dengan kematian 8.000 orang per tahun.

Angka harapan hidup lima tahun jika kanker ini diketahui dan diobati pada stadium 1 adalah 70-75 persen, pada stadium 2 adalah 60 persen, pada stadium 3 tinggal 25 persen, dan pada stadium empat penderita sulit diharapkan bertahan. (hsm)

Minggu, 08 Maret 2009

Ngembat Jatah Makan Siang Paspamres

Kelompok Kompas Gramedia yang terdiri dari, Hotel Santika, Toko Buku Gramedia, Radio Sonora, dan Tribun Pontianak menggelar kegiatan Journey to Exellence 2009 di Hotel Grand Mahkota, Jumat (6/3). Kalau ada acara begituan, sudah pasti ada makan siangnya atau lunch.

Untuk urusan yang satu ini, saya agak terlambat karena harus Salat Jumat dulu. Sudah pun selesai, saya masih harus ngopi sejenak karena diajak teman lama saya Ade Rianto. Kebetulan kami salat di masjid yang sama tidak jauh dari Hotel Grand Mahkota.

Ade bercerita tentang facebook yang menggila di tempat kerjanya, tempat kerja saya yang lama. Menurutnya, ia bisa bertemu dengan rekan-rekan SMA-nya dulu lewat interaksi di laman yang sedang trend tersebut. Dia juga bertutur tentang ayahnya yang sebulan lalu meninggal karena sakit.

Pembicaraan terus mengalir. Apalagi warung kecil di sudut Jl H Nurali menyuguhkan suasana adem, segar, karena banyak pepohonan. Kalau saja tidak ingat ada kegiatan, ingin rasanya berlama-lama. Saya pamit dan kamipun berpisah.

Ia sempat mengantar saya hingga ke pintu belakang Hotel Grand Mahkota. Di lobi, saya bertemu rekan sekantor, Stefanus Akim yang pura-pura kelihatan penting dengan membaca Koran Kompas. Saya bilang saya lapar. "Itu yang di sebelah sana," kata Akim menjawab pertanyaan saya di manakah letak meja makannya.

Saya mengikuti telunjuk redaktur yangg terkenal dengan slogan "Dua Kali dia Pak Lamhot" di kantor. Di meja makan, saya bertemu dengan Pak Nur Secioto, Pimpinan Perusahaan yang sedang bercakap- cakap dengan anak buahnya. "Sudah makan belum Sim?" tanya Pak Nur dengan senyumnya yang khas. "Belum Pak," jawab saya.

Saya kemudian bergegas menuju meja panjang yang menyajikan aneka lauk pauk makan siang. Meja itu tersusun atas dua sisi. Masing-masing sisi menyajikan menu makan siang. Karena yang di sebelah dekat meja Pak Nur Secioto lauk pauknya ditutup semua, saya bergeser ke sisi satunya lagi.

Rupanya di situ semua menu terbuka. Ukuran piringnya juga besar-besar. Lauk pauknya terlihat sangat segar dan enak. Saya mengambil piring dan mengambil nasi putih, dua potong daging, dan Cap Cai. Saya agak grogi karena ada pelayan yang terus mengikuti saya di belakang. Terutama setiap kali saya memindahkan lauk ke piring yang saya pegang.

Saat akan mengambil Cap Cai itulah, tiba-tiba hanphone saya bergetar. "Bos yang ente ambil litu jatah makan siang paspampres (Pasukan Pengamanan Presiden)," rupanya Stefanus Akim yang menelpon saya. Ia tertawa kecil di ujung telepon.

"Ah bodoo amat, gua lagi laper," jawab saya singkat. Saya menoleh ke lobi. Akim terkekeh sambil memegang koran. Saya menoleh di sekitar meja, rupanya banyak pria berbadan tegap sedang makan siang. Mereka berpakaian cokelat tua dengan kancing kemeja keemasan. Rupanya, mereka Paspampres yang mengawal kedatangan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Dalam hati, ngeper juga saya. Jangan-jangan gara-gara saya salah ambil menu, ada anggota Paspamres yang tidak kebagian jatah makan siang. Dengan menyembunyikan sedikit rasa malu, saya beringsut mencari meja makan.

Saat saya makan, saya terus memperhatikan pelayan yang mengikuti saya tadi. Jangan-jangan, dia mendatangi saya dan membuat nafsu makan saya hilang. Alhamdulillah, rupanya tidak. Tidak lama kemudian, ada tamu hotel yang juga turun makan. Dia menuju menu yang disajikan untuk paspamres. Belum apa-apa, pelayan yang tadi mengikuti saya langsung mencegahnya.

"Maaf Pak! yang sebelah sini khusus untuk paspamres. Tamu yang lain silakan mengambil makan siang di sebelah sana," katanya. Si tamu hotel itu kemudian berpindah meja dan mengambil jatah makan siangnya satu persatu.

Saya hanya tersenyum dalam hati. Mmebayangkan, bagaimana kalau si tamu hotel itu adalah saya. Ditegur ketika suasana ruang makan sedang ramai. Pasti mokal abis. Di luar itu, rupanya di antara begitu banyak tamu hotel, hanya saya yang bisa mencicipi masakan khusus paspampres. He he he ..

Selesai makan, saya menghampiri Stefanus Akim yang masih sibuk baca koran. Aneh juga saya pikir, ada orang yang buat koran, hobinya baca koran. Kalau baca majalah mungkin beda. Begitu tahu saya datang, Akim langsung memberi hormat dengan mengangkat tangan kanannya tepat di kening. "Siap Pak! Laksanakan perintah!" dan kamipun tertawa.

Sabtu, 07 Maret 2009

Black Campaign sampai Iklan Terselubung Rawan


*Coffe Morning Tribun Pontianak Bersama KPID dan Panwaslu

PONTIANAK, TRIBUN - Obrolan pagi Anggota Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kalbar dan Komisi Penyiaran Informasi Daerah (KPID) Kalbar bersama jajaran Redaksi Tribun Pontianak, Selasa (3/3) siang, berlangsung hangat.
iskusi informal bertajuk Bersama Kita Tingkatkan Mutu Pemilu di Kalbar itu, diwarnai pengkajian terhadap pasal-pasal dalam UU Nomor 42 Tahun 2008 yang bersifat multi-tafsir. Seirus, tapi tetap santai.

Anggota Panwaslu Warih Yulikanti dan Hawad Sriyanto SH begitu bersemangat melayani pertanyaan- pertanyaan tajam kru redaksi.
Demikian halnya Anggota KPID, Syarif Muhammad Hery Alkadrie dan Sumarsono yang tiada bosa mengurai masalah-masalah periklanan yang belum gamblang betul ketentuannya.

"Saya yakin beberapa teman media, termasuk lembaga penyiaran memberi peluang kepada seluruh peserta Pemilu. Kadang memang terjadi, peserta Pemilu yang tidak menangkap peluang itu," tutur Hawad Sriyanto.

Mencermati kebebasan berkampanye melalui iklan televisi, radio, media massa saat ini, menyimpan potensi pelanggaran ketentuan yang ada. "Dalam proses itu, bukan tidak mungkin terjadi pelanggaran kampanye. Misalnya, black campaign dan iklan-iklan terselubung," kata Hawad.

Warih menjelaskan seperangkat larangan kampanye di media massa antara lain, menjual blocking segmen atau blocking time, menerima sponsor atau format dalam bentuk apa pun untuk kampanye, dan menjual spot iklan yang tak dimanfaatkan peserta Pemilu kepada peserta Pemilu lain.

"Media juga harus bisa mematuhi ketentuan masa tenang. Yaitu, tiga hari menjelang pemilihan. Selama masa tenang, tidak boleh lagi muncul atribut, lambang, dan slogan yang mengarah kepada penyampaian visi misi peserta Pemilu," tegasnya.

Cabut Izin
Disinggung kebiasaan Paswaslu kewalahan, bahkan lepas dalam mengawasi pelanggaran selama Pemilu, Hawad mengatakan, Panwaslu tak bekerja sendirian. Melainkan berkoordinasi dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Dewan Pers, dan pemerintah daerah.

"Jika pelanggaran peserta Pemilu, kita memberikan laporan kepada KPU. Jika media massa yang melanggar ketentuan, kita akan arahkan ke dewan pers," tuturnya.
"Jika berkaitan tempat-tempat yang dilarang untuk pemasangan baliho, spanduk, dan atribut lainnya, pemerintah daerah yang akan menertibkan melalui satuan polisi pamong praja setelah mendapat surat dari Panwaslu," jelas Hawad.

Selain itu Panwaslu menjalin kerjasama dengan aparat penyidik (Kejaksaan dan Polri).
KPID pun fokus mengawasi pernyiaran publik, baik media televisi dan radio. "Kita bisa berikan teguran dan sanks-sanksi, kalau lembaga penyiaran publik tersebut melakukan pelanggaran," tegas Sumarsono.

Media elektronik, radio dan televisi, berlangganan maupun komunitas harus memberi alokasi waktu yang adil dan berimbang untuk kampanye.
"Memang space dan durasi tidak dibatasi sebagai konsekusnsi keputusan MK. Yang dipantau
KPID advertorial tak dibatasi untuk media, tapi dibingkai ketentuan UU Penyiaran. Tidak boleh lebih 20 persen dari jam tayang," jelas Hery Alkadrie.

Lembaga penyiaran publik yang melanggar UU Nomor 10 Tahun 2008, sanksinya berupa teguran tertulis, penghentian sementara mata acara, pengurangan durasi hingga pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran. (hsm)

Jumat, 06 Maret 2009

Permintaan Impor Bibit Sawit Capai 13 Juta

PONTIANAK, TRIBUN - Kepala Bidang Perlindungan Dinas Perkebunan Kalbar, Wawan Hermawan, mengatakan 66 perusahaan perkebunan besar swasta (PBS) saat ini kesulitan untuk mendapatkan bibit kelapa sawit bersertifikat dari tujuh sumber benih di Indonesia.

Karena itu, mereka mengajukan izin impor kecambah sawit dari Malaysia, Costa Rica, dan Papua Nuguinea. Pada 2008 saja, jumlah permintaan bibit impor mencapai 13,06 juta.

"Namun, jumlah tersebut juga tidak dapat dipenuhi semuanya. Realisasinya dari permintaan hanya 3,21 persen atau sekitar 420 ribu bibit sawit. Jadi, hampir sebagian besar perusahaan tidak mendapat bibit," kata Wawan Hermawan kepada Tribun, Rabu (4/3).

Mantan Kabid Pencemaran dan Pengrusakan Lingkungan Bapedalda Kalbar ini, menjelaskan angka permintaan tersebut jauh lebih besar dari 2007 yang hanya 3,57 juta bibit. Sedang realisasinya sekitar 1,59 juta bibit.

Kebutuhan bibit impor pada 2007, juga lebih besar dari permintaan pada 2006 yang berjumlah 3,4 juta dengan realisasi 961.500 bibit. Sedangkan pada 2005 permohonan mendatangkan bibit sawit impor mencapai 5,8 juta. Namun hanya bisa dipenuhi sekitar 1,9 juta bibit saja.

"Impor bibit sawit diawasi ketat. Perusahaan perkebunan yang akan mengimpor harus mendapat izin dari Dinas Perkebunan Kalbar. Hal itu dilakukan untuk mempermudah pengawasan. Jika tidak, kita khawatir bibit-bibit itu bukan untuk komsumsi sediri. Tetapi, dijual kembali kepada perusahaan dan petani yang membutuhkan. Itu yang tidak boleh," papar Wawan.

Lelaki berkacamata ini menegaskan, keputusan impor tersebut tidak terlepas dari tujuh sumber benih yang tidak mampu menyuplai kebutuhan benih untuk perkebunan di Kalbar. Tujuh sumber benih itu adalah PPKS, Lonsum, Socfindo, Tyunus, Dami Mas, Tania Selatan, BSM, Selapan Jaya, Bhakti Tani Nus, dan Selaras Inti Pratama.

"Pada 2008 saja, permintaan terhadap benih pada perusahaan yang terdapat di Sumatera itu, sekitar 53,36 juta. Namun, hanya mampu direalisasikan sekitar 4,32 juta bibit," katanya.
Wawan menambahkan ketujuh sumber benih itu hanya mampu memproduksi sekitar 130 juta bibit sawit per tahun. Jumlah bibit sawit itu untuk menyuplai kebutuhan perkebunan se-Indonesia.

"Karena itu, tidak mengherankan harus antre untuk memperoleh bibit. Rata-rata bibit sudah dipesan setahun sebelumnya," ujarnya.

Kelangkaan bibit ini, kemudian dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab dengan menjual bibit ilegal. Dinas Perkebunan Kalbar sendiri sepanjang 2000-2008 menangkap sekitar 110 ribu bibit ilegal tersebut. "Harganya memang jauh lebih murah. Biasanya diminati petani. Kuallitas bibit tersebut baru terlihat pada tahun keempat karena tidak berbuah," tegas Wawan.

Dalam kesempatan itu, Wawan mengingatkan areal perkebunan sawit di Kalbar sudah overload. Saat ini terdapat sekitar 293 perusahaan perkebunan dan yang aktif hanya 162 perusahaan. Lahan yang terpakai sudah mencapai 460 ribu hektare dari 1,5 juta hektare yang ditargetkan pemerintah.

"Jika dilihat perkembangannya, pertumbuhan areal perkebunan sawit Kalbar memang lamban. Sebab perusahaan sejauh ini kesulitan bibit sawit. Jadi, paling lahannya itu-itu saja," katanya. (hsm)

Selasa, 17 Februari 2009

NSU Ikut Pameran


Di antara sepeda-sepeda yang dipamerkan di Mal Matahari, sepeda milik saya, Neckarsulm Stickmachen Union (NSU), adalah yang paling kusam. Bukan hanya karena belum di cat, bekas las-lasan juga masih terlihat di sana sini, terutama di sepakbor, jepit udang, dan batang S-nya.

Saya sedikit menyesal meninggalkan dan percaya begitu saja saat tukang las menggarap NSU. Sebab, begitu selesai, hasilnya tidak sesuai dengan harapan saya. Caranya membuat sambungan dan memotong sangat kasar dan bisa dilihat, lengkungan S terutama yang bawah, terlihat tidak mulus. Bentuknya jadi seperti patah, padahal tidak.

Dalam pameran tersebut, ada tiga jenis sepeda Jerman yang dipamerkan. Masing-masing Bismack, NSU, dan Opel. Untuk sepeda merek Opel, terlihat sangat istimewa karena tidak ada sambungan antara batang dengan batang lainnya. Semua seperti dibuat dengan cara dipress.

Saat menyaksikan sepeda-sepeda Jerman tersebut, ada aktivis WWF-Indonesia, yang asal Jerman. Dia takjub dan tidak percaya ada sepeda yang dibuat negaranya bisa sampai ke Pontianak. Dia kemudian tertarik dengan bel kecil yang nemplok di sepeda saya. Ia ingin sekali memilikinya karena juga punya sepeda, meski bukan sepeda tua. Sebagai kenang-kenangan, saya merelakan bel kecil tersebut untuk dia.

Sekarang, saya sedang menyempurnakan si NSU. Namun sulit sekali memperoleh yang orisinilan. Terutama setang dengan kosntruksi rem tusuk. Setangnya sih ada, namun sudah patah termakan usia. Saya juga kesulitan untuk mencari lampu karbit, gir depan, emblem, sadel, dan ketengkas.

Kalau ada rekan-rekan yang punya barang-barang tersebut, sudilah berbagi informasi. Siapa tahu harganya bisa cocok. Terimakasih. Hidup sepeda ontel. Hidup NSU!

Pameran Sepeda Betot Perhatian Warga





Pameran Sepeda Tua yang dihelat Sepeda Onte Kalbar (Sepok) di Mal Matahari pada 17-18 Januari 2009 membetot perhatian warga Kota Pontianak. Termasuk Wali Kota Pontianak, Sutarmidji SH Mhum.

Ia memuji Sepok yang telah menambah khasanah pariwisata Kota Pontianak. Bahkan, dalam waktu dekat berencana menggandeng Sepok untuk sosialisasi bersepeda di kalangan pelajar SLTP. Wali Kota juga akan mencanangkan aktivitas bersepeda bagi warga kota. Setidaknya, dalam tiga bulan ada satu hari yang digunakan untuk bersepeda.

Sementara itu, pengelola Mal Matahari, tidak menyangka kalau antusiasme pengunjung begitu besar. Karena itu, dari jadwal yang telah ditetapkan selama 17-18 Januari, pameran diperpanjang hingga 19 Januari. Untuk satu hari itu, pengelola mal tidak memungut biaya tempat alias gratis.

Di basedment Mal Matahari, pengunjung terus berdatangan dari pagi hingga mal tutup. Mereka terheran-heran ternyata masih ada sepeda-sepeda tua dengan kondisi sangat bagus. Lengkap dengan berbagai aksesoris yang berumur tidak muda lagi. Belum lagi ulah anggota Sepok yang bikin heboh dengan berpenampilan gaya zaman dulu.

Terdapat sekitar 45 sepeda di areal seluas 70 meter persegi. Jumlah sepeda dibatasi karena memang ruang yang tersedia tidak memadai. Kalaupun diperluas, maka konsekuensinya harus bayar lebih mahal. Sepeda-sepeda yang dipajang adalah sepeda-sepeda terpilih yang merepresentasikan merek, jenis, dan negara produsen.

Panitia sengaja tidak memasang pembatas di areal pameran untuk memberikan ruang lebih leluasa kepada pengunjung untuk berinteraksi dengan sepeda-sepeda tersebut. Jadi, mereka bisa memagang dan berfoto bersama di areal pameran.

Pengunjung makin antusias karena di areal dilengkapi dengan keterangan tentang sejarah singkat sepeda-sepeda tersebut. Ada juga foto-foto dan film dokumentasi tentang aktivitas Sepok selama setahun. Semua tersaji di layar proyektor cukup besar. Kemeriahan semakin terasa karena ada musik tanjidor yang jadi pengiring.

Pameran tersebut hanya rangkaian Hari Ulang Tahun Pertama Sepok yang jatuh pada 12 Januari 2008. Kegiatan lainnya adalah Fun Bike dan konvoi keliling kota. Berikut saya tampilkan sebagian suasana pameran. Selamat menikmati!

Titik Api Kalbar Tertinggi

PONTIANAK, TRIBUN - Sepanjang dua tahun terakhir, 2007-2008, titik api di wilayah Kalbar adalah yang tertinggi di Indonesia. Titik api yang terdeteksi berasal dari kawasan hutan tanaman industri (HTI), perkebunan sawit, dan lahan lainnya termasuk lahan milik masyarakat.

"Meski dengan titik api tertinggi, sejauh ini belum ada upaya berarti dari instansi terkait untuk mencegah terulangnya kembali pembakaran lahan," kata Forest Fire Coordinator WWF-Indonesia, Dedi Hariri, kepada Tribun, Selasa (17/2).

Di temui usai diskusi di Sekretariat Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Kalbar, Dedi menuturkan
pada 2007 dari 31.648 titik api di Indonesia, 6.450 titik api atau yang terbanyak berada di Kalbar. Diikuti kemudian oleh Sumatera Selatan dengan 4.814 titik api dan Kalimantan Tengan dengan 4.305 titik api.

Ia menambahkan, kebakaran lahan yang terjadi dari tahun ke tahun sejatinya sudah bisa diantisipasi. Namun sepertinya, upaya pencegahan belum terlihat. Pemerintah baru bergerak begitu hutan dan lahan terbakar. "Padahal, untuk mengatasi kebakaran tersebut, jauh lebih sulit. Satu di antaranya karena peralatan yang kita miliki sangat terbatas. Australia dengan peralatan memadai saja, tidak berdaya menjinakan api," ujarnya.

Dedi menuturkan, proses penegakan hukum juga masih lemah. Padahal, sudah ada UU Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Perda Nomor 6 tahun 1998 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan. Ada juga Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan.
"Tampaknya belum ada pelaku pembakar lahan yang sampai ke pengadilan. Kalaupun ada, saya tidak yakin jeratan pasal yang dikenakan tidak bisa dielakkan oleh para pelaku," katanya.

Berdasarkan catatannya, pada 2007 dari 6.450 titik api, 35,5 persen berada di perkebunan kelapa sawit, HTI sebesar 25,5 persen dan lahan lain termasuk milik masyarakat sebesar 39,0 persen. Pada 2008, dari 5.671 titik api, sebanyak 47,07 persen berasal dari perkebunan sawit, 46,23 persen lahan lain termasuk milik masyarakat dan sisanya, 6,7 persen berada di areal HTI.

WWF sendiri berupaya proaktif dengan melakukan pendekatan ke pemerintah, pengusaha, dan masyarakat untuk mencegah pembukaan lahan dengan sistem bakar. Ke pemerintah, WWF melakukan inisiasi produk hukum, seperti Perda Kebakaran Hutan yang saat ini dilakukan di Kaltim.

"Kami melakukan MoU Zero Burning dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kalbar. Sementara masyarakat kami ajak untuk tidak membakar lahan. Kalaupun cara membakar tidak bisa dihindari, pembakaran dilakukan dengan kendali api. Untuk ini, kami bahu membahu dengan LSM Diantama," papar Dedi. (hsm)

Tiga Terbanyak
Pada 2007 terdapat 31.838 titik api
Kalbar, 6.450 titik api
Sumsel, 4.814 titik api
Kalteng, 4.305 titik api

Pada 2008 terdapat 32.838 titik api
Kalbar, 5.671 titik api
Riau, 3.879 titik api
Jatim, 3.182 titik api
Sumber: WWF-Indonesia