Rabu, 23 Desember 2009

Komunitas Sepeda Tua, Iklan Motor, dan Momentum Hari Ibu


Oleh: Fahmi Saimima, Sekjen KOSTI

Jakarta - Semakin hari kesadaran orang akan seriusnya ancaman perubahan iklim yang dipicu oleh pemanasan global semakin besar. Dalam situasi ini tanggung jawab harus ada pada setiap negara, setiap pihak, bahkan setiap orang. Semua harus berjuang keras secara simultan untuk mengurangi dampaknya yang semakin nyata.

Kita memang tidak mungkin menghindari teknologi. Tetapi, teknologi yang lebih kontekstual dengan situasi terkini harus dicari. Teknologi tidak boleh membutakan diri dari kenyataan bumi kita yang makin menua. Pabrik dan produk-produk bermesin termasuk mobil dan sepeda motor harus berjuang mengurangi emisi karbon, menggunakan bahan bakar sehemat dan seaman mungkin, sambil terus mencari bahan bakar alternatif.

Seiring dengan itu berbagai komunitas dengan gerakan cinta lingkungan pun terus menyerukan untuk merevisi gaya hidup agar lebih hemat energi, mencegah polusi, dan sebagainya. Salah satunya adalah Komunitas Sepeda Tua Indonesia (KOSTI) yang kehadirannya segera mendapat sambutan sangat baik di seantero Nusantara.

Besarnya animo masyarakat untuk kembali bersepeda pada perjalanan jarak dekat (dalam kota) ini telah direspon oleh beberapa Pemerintah Daerah dengan disediakannya jalur khusus sepeda. Kesungguhan ini semestinya mendapatkan support sehingga menjadi salah satu langkah efektif mengantisipasi dampak global warming tersebut.

Sehubungan dengan masalah ini kami atas nama KOSTI tidak merasakan adanya support positif dari sebuah perusahaan sepeda motor atas gerakan cinta lingkungan yang kami perjuangkan. Terutama saat menyaksikan tayangan iklan produk dalam rangka menyambut Hari Ibu.

Di sana digambarkan sosok Ibu yang begitu menderita --dengan ukuran sangat subyektif, karena masih menggunakan sepeda onthel. Lalu, "langkah mulia" yang dilakukan Sang Anak untuk membebaskan Sang Ibu dari penderitaan. Sekaligus sebagai tanda baktinya adalah membelikan Si Ibu sebuah sepeda motor baru.

Dalam pandangan kami iklan ini hanya melakukan pendekatan sepihak dan menafikan sisi positif bersepeda serta sisi negatif bersepeda motor. Terutama dalam kaitan perjuangan mengantisipasi dampak global warming yang semestinya menjadi tanggung jawab kita bersama.

Kasih sayang yang menjadi tema sentral pada momentum Hari Ibu lebih membutuhkan ekspresi kualitatif. Sebuah agency yang baik semestinya mampu mengekspresikan semangat perusahaan sepeda motor itu dengan pola ungkap yang tepat tanpa harus terjebak kepada perbandingan 'head to head' antara sepeda motor yang dipersepsikan sebagai sesuatu yang begitu bernilai dengan sepeda yang dipersepsikan sebagai simbol penderitaan.

Atas penayangan iklan tersebut dengan ini kami menyatakan keberatan sekaligus menyampaikan himbauan untuk menghentikan penayangannya. Karena, akan sangat kontraproduktif bagi perjuangan kami menyelamatkan lingkungan hidup dengan kembali bersepeda.

Sebagai sesama penghuni bumi ini marilah kita bekerja sama, bahu-membahu, demi menjaga lingkungan agar tetap kondusif sebagai tempat kita tinggal hingga generasi anak-cucu kelak. (Tulisan Dari Noereska - Yogya) Keberatan bersama disampaikan pula dari Komunitas B2W Indonesia dan Bikepackers Indonesia. Terima kasih.

Link terkait: http://sepeda.wordpress.com/2009/12/16/bagaimana-komentar-ontelis/
http://www.sepedaku.com/forum/showtread.php?t=24676
Iklan di: http://www.youtube.com/watch?v=_pFznRBIbvU
Diambil dari detik.com

Fahmi Saimima
Vila Tomang Baru Blok F11 No 15 Tangerang
kosti@asia.com
08567262750

Kamis, 17 Desember 2009

Harley Davidson WLC, Kagak Jodoh


Dapat si Villiers dalam keadaan mengenaskan. Tidak disangka-sangka. Saya pernah keliling pedalaman Kalbar hanya untuk mencari motor antik. Ada informasi sedikit saja saya pasti berangkat. Termasuk bela-belain izin dari kantor yang lama.

Daerah Bengkayang, Sanggau, Sintang, Singkawang, dan Ngabang pernah saya telusuri. Ada sih motor tua tapi, kebanyakan Jepang. Itupun tidak tua-tua amat. Paling banter Suzuki GT 125, GT 380, CB 125, dan Binter "KZ 200" Mercy.

Untuk Binter Mercy, saya sempat menemukan beberapa motor untuk anak-anak Black Jack, yang notabene pegila motor Chopper di Pontianak. Bahkan di Rasau Jaya, Kabupaten Kubu Raya, saya menemukan Mercy 250 cc. Seumur-umur saya baru pertama itu melihat jeroan mesin Mercy dan tertulis 250 Cc.

Sangat sulit menemukan motor-motor tua buatan Eropa di Kalbar. Informasi yang saya terima dari beberapa rekan yang sampai saat ini belum membuahkan hasil di antaranya adalah ada motor tua teronggok ditumpuk bersama sabuk kelapa (Batu Buil, Sintang), BSA M21 (Sompak, Ngabang), Norton zespan (Sanggau, keuskupan), HD WLC (Entikong, keuskupan), BSA Twin (Sanggau Permai, Sanggau), BSA C11 250 cc (Sintang), BSA 250 cc (Jeruju, Pontianak), dan terakhir HD WLC serta NSU Quicky (Pontianak).

Dicari kesana-ke sini, rupanya hanya HD WLC, NSU Quicky (Pontianak) dan BSA C11 250 cc Sintang yang infonya valid. Sayang untuk BSA C11, harganya tidak cocok. Sementara untuk HD WLC dan NSU Quicky Pontianak, sudah beberapa kali saya tawar tidak mau dilepas.

Cukup lama saya bersabar menunggu agar HD WLC bisa saya tebus. Hampir tiga tahunan saya tunggu. Selama itu, beberapa kali saya ke rumah yang punya. Namun, tetap tidak di jual. Motor dalam kondisi lengkap dan orisinil, malah masih ada bensin di tangkinya.

Di simpan di sebuah garasi yang terbuat dari kayu di depan rumah. Saking beratnya si HD, garasi itu miring tidak mampu menahan beban. Saya sendiri heran, ternyata ada WLC 750 CC di Kalbar. Kabarnya ada dua WLC, yang satu punya Pak Mal anggota Motorhead. Namun, saat motor sudah sehat dan dibawa jalan-jalan, ada PM yang menahannya. Motor buatan Amerika itu pun hingga kini tidak ada kabar beritanya. Konon kini WLC itu sudah dimiliki seorang anak jenderal di Jakarta.

Sekilas pasti tidak ada yang menyangka, rumah tua yang seluruhnya terbuat dari kayu itu, dan ada di pemukiman nyaris kumuh, ada harta karun tidak terhingga. Ya..warisan otomotof dunia yang banyak diincar pegila motor tua. Apalagi motor dalam kondisi yang orisinil pula. Bahkan, katanya motor yang sudah ditinggal pergi pemiliknya itu, sempat hidup dan dipakai keliling kampung.

Sambil menunggu pemiliknya ikhlas ditebus rupiah, saya tidak menyangka bertemu Villiers 200 Cc. Belakangan, setelah Villiers hidup, saya terpaksa menjualnya karena butuh uang untuk tambah-tambah membeli rumah. Sedih sih sedih, tapi hanya itu pilihannya. Apalagi masih ada harapan bisa memiliki HD WLC yang saya impikan siang malam.

Belakangan saya baru merasakan betapa tidak enaknya hidup tidak mengelus, melihat, dan menaiki motor antik. Hampa, tak bersemangat, seperti sebagian dari jati diri saya hilang entah kemana. Apalagi melihat rekan-rekan lainnya konvoi dan touring, plus kumpul bareng waktu ada acara temu bikers.

Sejak bekerja saya memang sudah akrab dengan motor tua. Diawali dengan Vesva Super 1966, kemudian Sprint 1978, Binter Mercy 1981, Binter Mercy Cobra 1984, dan Suzuki GT 125 Cc. Disusul Villiers 200 Cc. Saya hanya berdoa sambil sedikit-sedikit berupaya bisa memiliki motor Eropa lagi. Motor yang saya impikan adalah BMW R25 dan BSA B31 350 Cc. Buat brother yang baca tulisan ini, doain yah he he he he..biar cepat terkabul! Amin.

Di tengah asa memiliki WLC 750 Cc, saya kembali menelan kekecewaan. Sebulan lalu, saya mampir lagi ke rumah tersebut. Tentu saja untuk kembali menanyakan apakah motor itu akan dijual atau tidak. Saya kaget karena di garasi hanya ada Honda Supra 125.

WLC sudah tidak ada lagi! Yang punya rumah menuturkan motor itu sudah dijual. Ia enggan menyebut harganya. Hanya, ia bilang disamping uang tunai, Supra 125 itu juga untuk alat tukar si Tujuh Setengah. Sampai sekarang saya tidak tahu siapa yang akhirnya menjadi orang paling beruntung di dunia itu. Yang saya tahu, perasaan saya mirip lagunya Olga Syahputra...hancur hancur haaatiku!