Jumat, 21 Agustus 2009

Tribun Terbesar di Kalbar


*Hasil LP3ES di 15 Kota Besar

"Saat survei kita tanyakan media apa yang tiap hari mereka baca. Dari yang disebutkan, Tribun Pontianak, teratas."
Shanty Margaretha
Supervisor LP3ES

JAKARTA, TRIBUN - Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), mengukuhkan Harian Tribun Pontianak sebagai koran terbesar yang paling disukai pembaca Kalimantan Barat.

Penetapan lembaga independen yang tak diragukan kredibilitas, akuntabilitas dan integritasnya ini, didasarkan fakta hasil riset tim LP3ES terhadap surat kabar, majalah, tabloid dan media online di 15 kota besar di Indonesia. Survei terhadap 2.971 responden ini, menempatkan Tribun Pontianak sebagai koran terbesar yang paling dibaca masyarakat Kalbar.

"Saat survei, kita tanyakan kepada ibu-ibu dan pembaca di Kalbar, media apa yang tiap hari mereka baca. Dari tiga nama yang disebutkan, Tribun Pontianak, teratas dan sering disebutkan," kata Supervisor LP3ES untuk wilayah Kalimantan Barat, Shanty Margaretha kepada Tribun, Jumat (21/8).

Yang patut disyukuri lagi, Tribun Pontianak sebagai grup Kompas Gramedia, tampil sebagai market leader tak sampai setahun, setelah terbit untuk melayani masyarakat Kalbar, 1 Agustus 2008 lalu. Urutan kedua ditempati koran lama, Pontianak Pos dan urutan ketiga, Metro Pontianak.

Shanty yang tergabung dalam tim peneliti LP3ES mengungkapkan, alasan utama pembaca Kalbar adalah berita Tribun Pontianak bermutu, mengedepankan standar jurnalistik sebagaimana yang dianut harian terbesar di Indonesia Kompas.

"Pemberitaan yang ditampilkan sudah memenuhi standar. Pelatihan bagi wartawannya serta komposisi beritanya, oke," jelas Shanty.

Selain itu, masyarakat pembaca Kalbar terpesona tampilan cover yang atraktif, enak dipandang, enak dibaca disertai foto-foto menarik, dan harganya terjangkau. "Cetakannya juga sangat bagus," puji Shanty, mengutip aspirasi pembaca Kalbar.
Kepercayaan Publik
Agar makin memberi manfaat optimal terhadap masyarakat Kalbar, Shanty menyarankan Tribun segera me-launching Tribun Portal. Dengan berita yang real time yang bisa di-klik kapan pun dan di mana pun, peran dan pengaruh Tribun Pontianak makin impresif.

Pemimpin Redaksi Tribun Pontianak, Albert Joko yang mensyukuri hasil riset lembaga independen itu, menyampaikan terimakasih yang besar kepada pembaca di Kalbar.
"Tribun berterimakasih setinggi-tingginya kepada segenap pembaca budiman yang setia membaca Tribun tiap hari. Hasil survei LP3ES ini nyata sebagai kepercayaan masyarakat kepada Tribun. Kepercayaan ini sekaligus amanah yang wajib dijawab Tribun dengan mutu layanan produk unggul dan berpijak nilai manfaat masyarakat," tutur Albert Joko.

Sebelumnya, hasil survei LP3ES bekerjasama dengan Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) ini, disampaikan Direktur Eksekutif SPS Pusat Asmono Wikan dalam bentuk executive summary berjudul, Studi Perilaku Masyarakat dalam Mengkonsumsi Media Massa dalam Rapat Kerja SPS di Hotel Millennium Jakarta, Kamis (20/8) lalu. Raker dihadiri seluruh pengurus SPS se-Indonesia.

Anggota tim riset LP3ES, Hendrajit saat mempresentasikan hasil survei menyatakan, keberadaan surat kabar di Indonesia diperkirakan mampu bertahan sampai 15 tahun ke depan, karena beberapa keunggulannya dibanding media lain, seperti televisi, radio, maupun online. "Patut disyukuri, tapi tidak boleh euforia karena ke depan tetap bisa rawan," kata Hendrajit.
Keunggulan Grup Kompas
Menurut Hendrajit, surat kabar memiliki keunggulan dibanding media lain, yaitu kedalaman berita serta kearsipan yang membuat masyarakat tetap tertarik. Survei yang digelar di 15 kota, menggunakan sampel yang dipilih secara acak distratifikasi tak proposional pada masing-masing kota, seimbang secara gender dan kategori remaja dan dewasa.

Metodologi survei ini, merepresentasi pendapat masyarakat pembaca media cetak di 15 kota, dalam kelompok pembaca remaja (usia 12-18 tahun) dan dewasa (di atas 18 tahun). Sampel yang diambil sebanyak 2.971 responden.

Adapun pengumpulan data dilakukan melalui wawancara tatap muka menggunakan kuesioner mulai 23 Juni 2009 sampai 29 Juni 2009. Tim survei LP3ES menetapkan margin of error 1,7 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.

Selain Tribun Pontianak yang tampil sebagai koran terbesar, grup Tribun di Manado, yakni Tribun Manado, dan Banjarmasin Post di Banjarmasin, juga tampil sebagai market leader di provinsi masing-masing.

Selain di Kalbar, LP3ES menggelar survei di Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Medan, Palembang, Padang, Batam, Banjarmasin, Pontianak, Makassar, Manado dan Denpasar.
Di Jakarta, Harian Kompas tetap nomor satu, urutan berikutnya Pos Kota lalu Warta Kota.

Sedangkan di Batam, grup Tribun, yakni Tribun Batam menempati urutan kedua paling banyak dibaca setelah Batam Pos. Survei LP3ES juga mengungkap pertumbuhan tiras surat kabar harian, mingguan tabloid dan majalah.

Suratkabar harian paling sering dibaca, yakni mencapai 91,1 persen, jauh meninggalkan tabloid maupun majalah bulanan. Sedangkan cakupan sebarannya, surat kabar yang paling sering dibaca adalah surat kabar lokal dengan proporsi 69,0 persen, diikuti dengan surat kabar regional 22,4 persen dan surat kabar nasional 8,6 persen.

Menariknya, di survei tersebut terungkap rubrik yang paling sering dibaca adalah kecelakaan, musibah, bencana mencapai 67,9 persen. Berikutnya, rubrik kriminal dan pendidikan yang diminati pembaca. (rzi/kompas.com)

Selasa, 11 Agustus 2009

Pertemuan

Oleh: Hasyim Ashari

Lama aku tertahan untuk tidak pulang ke tanah kelahiranku, Bekasi. Meski sebenarnya, hasrat untuk bertemu ayah, ibu dan ketiga adikku membuat dadaku penuh sesak oleh rindu. Belum lagi kenangan masa kecil yang tercecer pada jalan setapak, melekat pada pematang sawah, pada angin dan gerai tawa penduduk desa yang renyah, segar dalam ingatan.

Seolah tidak pernah lelah memanggilku kembali. Untuk sekedar singgah atau bahkan mencumbui mereka sepanjang usia tidurku. Tentu saja, karena seperti aku menyimpannya, mereka juga memiliki lembaran indah bersamaku.

Setiap saat, setiap nafas yang kuhela dan pandangan yang kubuang. Namun kesibukanku sebagai wartawan, nyaris tidak memberikan ruang yang cukup untuk pulang. Kecuali kemarin, ketika pimpinan memintaku mengikuti lokakarya Peace Jurnalisme di Surabaya.

Peace Jurnalism adalah sebuah pendekatan yang menempatkan jurnalis sebagai juru damai di daerah konflik. Aku tidak punya kata untuk menolak. Karena lokakarya tersebut, sangat berarti untuk menopang tugas-tugas peliputanku kelak. Apalagi Pontianak dikenal sebagai daerah yang memiliki potensi konflik cukup tinggi.

Tujuh kali kerusuhan antar etnis. Ratusan nyawa tak berdosa terkubur sia-sia. Dan, perih yang memilukan itu, nyaris menganga setiap tahun. Lebih dari itu, aku memang memerlukan jeda untuk membebaskan diri dari aura andrenalin.

Tugas peliputan dan deadline yang tidak kenal kompromi, telah menyisakan guratan didahiku, menyerupai alur anak-anak Sungai Kapuas. Aku masih dikerubung keraguan, sesaat sebelum pesawat yang membawaku dari Surabaya, landing di Cengkareng.

"Singgah ke Bekasi, atau langsung ke Pontianak" gumamku. Kulirik jam di lobi bandara, pukul 15.30 WIB. Sementara pesawat ke Pontianak take off jam lima sore. Aku menuju cafe, kemudian memesan secangkir kopi hangat dan Dunkin Donnuts.

Bekasi, kota itu selalu membangkitkan kenangan pada kekasihku. Tujuh tahun yang lalu. Ketika kebesaran cinta melebihi tubuhku yang ringkih. Sebelum keputusan menyakitkan lahir, dibidani oleh keadaan yang melunjak. Sebelum cinta menyerah oleh dua keinginan yang berlainan. Dan pelukan hangat tidak lagi mampu menyatukannya.

Meskipun aku tidak pernah merasa ditinggalkan, karena ku tahu ia tidak sungguh-sungguh ingin melakukannya. Aku tidak pernah berhenti mencintainya. Pribadinya selalu kukagumi dan tak mampu kutolak, hadir setiap saat.

Bahkan hingga aku menjauh ke Pontianak, bahkan jika dia sedang bercumbu dengan laki-laki lain sekalipun. Hatiku mengingatnya, karena itu dia selalu hidup. Tidak pernah jauh apalagi menghilang.

Sebaliknya, namanya menjadi bunga yang menerbarkan aroma wewangian putri-putri khayangan, tumbuh subur di lubuk hatiku. Aku merasakannya. Dia membuatku mabuk kepayang. Jika aku singgah, kuasakah aku menolak perasaan seorang laki-laki? Haruskah terkoyak kembali luka lama yang merahnya membakar seluruh emosiku?

Belum setengah kopi kureguk, ketika langkah kaki gemeretak mendekat. Tapi aku terlalu lelah untuk terusik karenanya. Sampai kudengar suara yang nadanya dawai nirwana dan nyanyiannya adalah senandung dewa-dewi. Ketika mereka rindu redam.

"Darma? Hei..sedang apa di sini?," suara itu menohok tepat dijantungku. Aku rasa dadaku gemetar. Gemetar oleh pertemuan yang sudah lama kuhindari. Gemetar seperti terbangun dari mimpi menakutkan.

Tapi aku tidak bermimpi, sama sekali tidak. Laras benar-benar berdiri di sampingku. Menemukanku bulat-bulat ketika aku menjaga jarak. Meski aku sebenarnya tidak ingin menghindar. Keadaan yang memaksaku.

Tapi ternyata Tuhan selalu tahu, kapan memisahkan dan mempertemukan. Tiba-tiba aku seperti lahir kembali, setelah perasaan cemas membunuh keberanianku pelan-pelan.
"Laras !!. A..aku menunggu pesawat ke Pontianak. Laras sendiri sedang apa?,"
"Laras kan memang sering ke Bandara. Biasa antar anak-anak berangkat ke Singapura. Ini juga baru selesai check in,"
"Kamu...sudah punya anak? Berapa?" tanyaku penuh selidik. Melirik cincin di jari manisnya.

"Becanda kamu. Anak-anak itu maksudnya Tenaga Kerja Wanita. Dua tahun terakhir, Laras bekerja di sebuah PJTKI sebagai tutor bahasa inggris dan mengurusi keberangkatan. Kantornya di di Belakang Terminal Kampung Rambutan. Jadi, hampir setiap hari Laras ke bandara. Ngomong-ngomong tidak singgah ke Bekasi?"

"Sebenernya, aku ingin sekali. Tapi ..."
"Takut bertemu Laras...!," dia selalu begitu. Selalu bisa membaca isi kepalaku.

Ya Tuhan, tatapan itu masih bijak. Senyumnya mutiara dan wajahnya seteduh cemara. Kecuali kejelitaannya yang semakin dewasa, semua masih belia seperti tujuh tahun lalu, ketika aku melumatnya dengan cemas.

Ketakjuban itu dan pesona kesederhanaanya adalah sisi lain keajaiban yang kutemukan dari diri seorang perempuan. Tidak, emosiku harus kutekan sekelebat kilat di tengah prahara. Edan!
"Laras. Maaf aku harus chek in. Sebentar lagi pesawatku berangkat. Senang bertemu denganmu," aku tergopoh menyabet ransel.

Perasaanku berkecamuk. Rindu dan perih menjadi satu. Walau sebenarnya, aku ingin menatap wajahnya sepanjang hari ini. Jika saja, dia bukan milik orang lain dan tidak di tengah keramaian, aku pasti sudah memeluknya, hingga tulang belulangnya luruh dan bersatu dengan kulit serta dagingku. Dia lantas menghidupi separuh sisa hidupku.

"Dar..tunggu sebentar. Laras ingin menjelaskan semuanya,"
"Simpan saja penjelasan itu. Aku sudah tahu semua. Aku memakluminya, karena itu aku tidak pernah menaruh sakit hati, apalagi dendam. Waktu yang mengajariku demikian. Aku sungguh tak ingin mengusik bahagiamu. Sudahlah..!" aku bergegas. Meninggalkan Laras yang berlari kecil memburu langkahku.

"Dar..tunggu," Laras meraih lenganku. Jemarinya dingin, bergetar.
"Kamu yang mengajari Laras untuk jujur dan mendengarkan apa kata hati. Laras tahu perasaan Darma, jadi jangan membohongi diri sendiri,"

"Laras tahu apa tentang perasaanku. Mengapa baru sekarang. Bagaimana dengan tujuh tahun yang lalu. Mengapa Laras menutup hati, hingga seluruh pengorbanan, pengertian, dan kesetiaan yang kutanam, tidak mampu membukanya,"

"Tidak bolehkah orang membuat satu saja pilihan keliru dalam hidupnya. Sementara, kekeliruan itu yang kemudian mengajarinya bagaimana menjadi dewasa. Karena itulah, Laras ingin menebusnya Dar. Sekarang.! Har ini.!

Aku terperanjat. Menatap bibirnya yang bergetar. "Laras kuatir besok Laras sudah benar-benar menjadi milik orang lain dan kita tidak punya kesempatan lagi memperbaikinya. Jika tidak ingin memulainya lagi, maka akhirilah ini dengan indah. Pikirkanlah. Sehari saja. Laras tidak minta apa-apa, hanya seluruh waktu dalam satu harimu."

Matanya basah. Aku tahu Laras, dia tidak pernah main-main. Hatiku terenyuh. Tidak pantas memang aku bersama tunangan orang lain, meskipun dia mantan kekasihku. Lebih dari itu, karena akupun milik juwita yang sedang menunggu. Yang digenggamannya kecemasan dan harapan.

Tapi, aku masih mencintai Laras. Bahkan, kadarnya tidak berkurang. Malah bertambah sayangku. Jarak dan waktu, telah memupuknya menjadi kasih. Sore itu aku membatalkan penerbangan pulang.

Aku meraih jemari Laras dan menuntunnya ke dalam bus kota, ketika senja jatuh di Jakarta. Sinarnya keemasan dan warnanya kuning gading berebut ruang dengan pekat di ufuk timur. Gedung-gedung pencakar langit, takzim bertengadah menyambut malam, sebelum kerlip temaram neon menambah kemegahannya.

Senja ini, keindahannya masih seperti tujuh tahun yang lalu. Ketika kami berdekapan dalam seragam abu-abu. Sejak saat itu, kami selalu menunggu datangnya senja. Dimanapun ia menjatuhkan diri.

"Darma..satu senja saja sudah membekukan seluruh cinta yang Laras bina selama empat tahun bersama Doni. Laras semakin yakin, kalau cinta sejati itu benar-benar ada. Laras juga percaya bahwa setiap manusia memiliki pasangan jiwanya. Laras tahu cinta sejati tidak harus mengorbankan cinta orang lain. Sementara pasangan jiwa, kebijaksanaannya melebihi simbol-simbol ikatan perkawinan. Laras boleh jadi melahirkan lusinan keturunan laki-laki lain, tapi kenyataan tidak terbantah, kalau kamulah sebelah jiwa Laras,"

Pernyataan Laras berpacu dengan bus yang melesat menyisir belantara Jakarta menuju timur. Dia menyandarkan kepalanya dibahuku. Sementara aku melepaskan bebanku pada kelembutan sikapnya, pada harum dan kehangatan kulitnya dan pada rambutnya yang bergelombang.

Kami berbicara penuh makna, tanpa kata, tanpa penjelasan, tanpa pertanyaan. Kami sudah mengerti tanpa harus memberi pengertian. Sehingga tidak ada lagi yang harus diungkapkan. Hanya nafas cinta yang memburu. Seperti tujuh tahun yang lalu.

Sepanjang senja itu, aku tidak hanya memaafkan Laras, tapi juga mengampuni keadaan. Dan bila saja Tuhan memanggilku saat ini, aku ingin diserakan bersama gugusan gemintang. Bersama cakrawala menjadi pandu bagi seluruh sejoli yang sedang kasmaran, di bumi.

Juwita, aku tahu ini penghianatan atas percayamu. Tak kusangsikan kau adalah kekasihku, istriku, hidupku selamanya. Tapi Laras, jiwanya sudah menikahi jiwaku, jauh sebelum kita bertemu. Aku tidak mampu menolak, meski untuk satu hari. Setelah itu, akan kuserahkan semua milikku di bawah panji-panji kesetiaanmu. Maaf!

Jakarta, 4 Maret 2003

Jumat, 07 Agustus 2009

Motor Pertama di Pulau Jawa


*Si Kereta Setan Hildebrand Und Wolfmuller

Kereta Setan. Begitu orang menyebut kendaraan bermotor pertama di Jawa yang tidak ditarik oleh kuda atau hewan lainnya. Pokoknya, "kereta setan" yang maksudnya sepeda motor itu bikin bengong orang yang melihat "kereta setan" ini melintas. Saking terkesima dengan sepeda yang bisa lari sendiri dengan kencang maka kendaraan itu pun diberi nama "kereta setan".

Ternyata si kereta setan itu adalah kendaraan bermotor pertama di Jawa. Jadi, bukan mobil yang hadir pertama di Jawa, tapi sepeda motor. Orang pertama yang memiliki kereta setan ini adalah seorang masinis pabrik gula di Umbul, dekat Probolinggo. Namanya John C Potter, ia bukanlah orang Probolinggo tapi orang Inggris.

Potter, demikian disebutkan oleh JJ de Vries dalam Jaarboek van Batavia en Omstreken, Batavia, sampai-sampai membuat Hildebrand dan Wolfmuller - pemilik pabrik sekaligus penemu sepeda motor - kepayahan mencari letak kota Probolinggo lantaran mereka harus mengirimkan pesanan sepeda motor, atas nama Potter, dari Jerman ke pelosok Jawa Timur kala itu.

Hildebrand dan Wolfmuller tercatat sebagai penemu sepeda motor pertama di dunia pada tahun 1893. Nama mereka berdua menjadi nama pabrik sepeda motor, Hildebrand Und Wolfmuller. JJ de Vries menulis, bahkan bagi orang di masa sekitaran abad 20, sepeda motor temuan Hildebrand dan Wolfmuller dinilai ajaib. Bisa dibayangkan bagaimana orang di masa lampau ternganga dengan sepeda motor yang berjalan tanpa rantai, kopling, magnet, bahkan tanpa baterai dan seutas kabel pun.

Sepeda motor ini hanya menggunakan dua silinder horisontal dan dua tabung yang dipanaskan dengan bahan bakar naphta (minyak bumi berwarna kuning). Untuk menjalankannya perlu waktu 20 menit. Bangkai motor ini ditemukan di tahun 1932. Tercecer di bengkel Potter. Bangkai ini kemudian disusun kembali sebagai barang antik dan ditempatkan di museum lalu lintas Surabaya.

Bicara soal sepeda motor, akhir pekan ini, 8 dan 9 Agustus, Motor Besar Club (MBC) DKI Jakarta akan menggelar acara di kawasan Kota Tua yang dipusatkan di Taman Fatahillah termasuk Munas MBC di Museum Bank Mandiri. Acara bertema "Batavia Bike Week" ini digelar untuk pertama kali sebagai kepedulian kelompok ini dalam upaya memperkenalkan kawasan bersejarah di Jakarta sambil menyalurkan hobi terhadap motor besar.

Lintas Jawa
Tidak mau kalah dengan pengendara mobil, pengendara sepeda motor pun berupaya membukukan rekor perjalanan lintas Jawa dari Batavia (Jakarta) sampai Soerabaja (Surabaya) yang berjarak sekitar 850 kilometer.

Tanggal 7 Mei 1917, Gerrit de Raadt dengan mengendarai sepeda motor Reading Standard membukukan rekor perjalanan dari Jakarta ke Surabaya dalam waktu 20 jam dan 45 menit. Sepuluh hari setelahnya, 16 Mei 1917, Frits Sluijmers dan Wim Wygchel yang secara bergantian mengendarai sepeda motor Excelsior memperbaiki rekor yang dibukukan Gerrit de Raadt.

Mereka mencatat waktu 20 jam dan 24 menit, dengan kecepatan rata-rata 42 kilometer per jam.
Rekor itu tidak bertahan lama. Sembilan hari sesudahnya, 24 Mei 1917, Goddy Younge dengan sepeda motor Harley Davidson membukukan rekor baru dengan catatan waktu 17 jam dan 37 menit, dengan kecepatan rata-rata 48 kilometer per jam.

Rekor itu sempat bertahan selama lima bulan sebelum dipecahkan oleh Barend ten Dam yang mengendarai sepeda motor Indian dalam waktu 15 jam dan 37 menit pada tanggal 18 September 1917, dengan kecepatan rata-rata 52 kilometer per jam.

Melihat rekornya dipecahkan oleh Barend ten Dam, enam hari sesudahnya, 24 September 1917, Goddy Younge yang berasal dari Semarang kembali mengukir rekor baru dengan catatan waktu 14 jam dan 11 menit, dan kecepatan sepeda motor Harley Davidson yang dikendarainya rata-rata 60 kilometer per jam.

Pada awal tahun 1960-an, mulai masuk pula skuter Vespa, yang disusul dengan skuter Lambretta pada akhir tahun 1960-an. Pada masa itu, masuk pula sepeda motor asal Jepang, Suzuki, Honda, Yamaha, dan belakangan juga Kawasaki.

Seiring dengan perjalanan waktu, sepeda motor asal Jepang mendominasi pasar sepeda motor di negeri ini. Urutan teratas ditempati oleh Honda, diikuti oleh Yamaha di tempat kedua dan Suzuki di tempat ketiga. (warta kota/kompas gramedia).

Kamis, 06 Agustus 2009

Mbah Surip Genjot Sepeda Ontel


*Dari Mojokerto ke Jakarta
Lelaki nyentrik, unik, dan sederhana itu menjejakkan kaki di Jakarta pada 1985. Tujuannya bukan untuk menjadi seniman, melainkan bertemu dengan petinju idolanya, Elias Pical, yang saat itu sedang naik daun.

Ia berambisi mengalahkan Elias Pical dalam adu panco. Lelaki kelahiran 1949 itu, yakin bakal menaklukkan sangan juara dunia. Apalagi, di kampungnya, Mojokerto, tidak ada yang bisa melawan Mbah Surip tanding panco. Ia kemudian bulat menetapkan hati ke Jakarta.

Siapa yang menyangka, kalau Mbah Surip tidak memilih menggunakan angkutan umum. Ia menggoes sepeda ontel dari Mojokerto ke ibu kota negara. Tidak tanggung-tanggung, ia tempuh perjalanan dalam waktu empat hari.

Tiba di Jakarta, Mbah Surip bingung karena tak punya tempat tinggal di Jakarta akhirnya ia pun melangkahkan kakinya ke Kelompok Penyanyi Jalanan (KPJ), Bulungan. Kepada seorang temannya, Andi, ia minta diantar ke rumah Elias Pical.

Andi menyanggupi, dengan persyaratan Mbah Surip harus mengalahkan orang-orang KPJ lebih dulu. Semua orang di KPJ kalah kecuali Andi. Walau sudah mencoba berulang-ulang, Mbah Surip tetap saja kalah.

Impian bertanding panco dengan Elias Pical pun tidak pernah terjadi. Sebab Mbah Surip sendiri sudah asik di KPJ. Tekadnya yang luar biasa untuk sruvive membuat lelaki

Bob Boreno, pelukis kenamaan di Kaltim menuturkan ia bertemu Mbah Surip tahun 1986. Mereka sama-sama berprofesi sebagai seniman di Gelanggang Remaja Jakarta Selatan (Gerajas) di Jl Bulungan, Jakarta Selatan.

"Dulu, Mbah Surip ke mana-mana selalu pakai sepeda ontel. Sepedanya suka saya umpetin (sembunyikan, Red.). Kalau ban sepedanya bocor, minta uang ke saya untuk menambal," ujar Om Bob.

Di matanya, Mbah Surip memiliki sifat yang sangat peduli pada orang-orang di sekitarnya. "Kalau dia dapat rejeki habis ngamen, dan dia mau makan, dia tanya dulu teman-teman kiri kanan siapa yang belum makan, dia mau ngajak makan, dia yang bayar," papar Om Bob.

Perjuangan tak kenal menyerah, dedikasi dan kesetiaan kepada teman, mengantarkan Mbah Surip yang sederhana ke jenjang ketenaran. Orang mengenalnya di mana-mana, anak-anak, remaja, orangtua, kerap melantunkan Tak Gendong.

Bukti popularitas Mbah Surip, selain jadi ikon baru rumah-rumah produksi dan stasiun televisi, ring-back tone (RBT) Tak Gendong mampu merebut hati 130 ribu pelanggan Indosat dan XL. Ratusan ribu pelanggan itu mengaktivasi RBT Tak Gendong per Februari sampai Juni 2009.
Dari laris-manisnya RBT ini, Mbah Surip ketiban bagian Rp 4,5 miliar dari total pemasukan Rp 9 miliar.

Meski begitu, lihatlah ia sama sekali tidak berubah. Corak kehidupan jelata, bersahaja, dan selalu tertawa, tak ubahnya ekspresi seorang manusia miskin yang jujur dalam menjalani kehidupannya.

Pernah saat diikuti reporter Viva News, Mbah Surip makan di sebuah warteg. Ada pengemis dan pengamen yang mendekat. Ia buru-buru merogoh dua lembar Rp 50 ribu dari sakunya. Uang yang masih dalam amplop itu, adalah honornya jadi bintang tamu di Ceriwis di TRANS TV .

Kini, Bangsa Indonesia kehilangan seniman unik, nyentrik dan bertalenta tinggi ala Mbah Surip, Pelantun lagu Tak Gendong ini meninggal mendadak sekitar pukul 11.30 WIB, di rumah Mamiek Srimulat di Kampung Makassar, Jakarta Timur.
Selamat jalan Mbah..i love you full.!!