Kamis, 03 Maret 2016

* Seharian Menyusuri Kota Mataram (Bagian-1)

Taman Mayura
Menikmati Pesona Taman Mayura 

DI sela-sela menghadiri malam Penganugerahan Indonesia Print Media Awards (IPMA) 2016 di Hotel Grand Palace, wartawan Tribun Pontianak menyempatkan diri mengunjungi sejumlah tempat di Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB).

TRIBUN mendarat di Bandara Internasional Lombok di Tanak Awu, Kabupaten Lombok Tengah, Lombok, Senin (8/2) pukul 18.30 WITA. Bandara ini terletak sebelah tenggara Kota Mataram, Ibu Kota NTB, dan 8 kilometer selatan dari kota kecil Praya, Ibu Kota Lombok Tengah.

Karenanya bandara yang dibangun di atas lahan seluas 550 hektare dan menelan biaya Rp 625 miliar ini kerap disebut Bandara Praya. Bandara yang melayani penerbangan domestik dan internasional ini dibangun dalam tiga tahap. Tahap pertama pada 2006-2009, kedua 2013-2015, dan ketiga 2028.

Untuk sampai di bandar udara pengganti Bandara Selaparang Mataram ini, butuh waktu 1 jam 40 menit penerbangan dari Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten. Waktu selama itu, menjadi tidak terasa dengan pelayanan maksimal yang diberikan Batik Air.

Maskapai di bawah Lion Grup yang melayani rute Jakarta-Lombok ini menggunakan Airbus A320. Ini adalah satu di antara 12 pesawat baru dari total pembelian 44 pesawat Airbus A320 yang dibeli Lion tahun ini.

Pesawatnya sungguh nyaman. Selain menyediakan 174 kursi yang empuk, layar monitor 7 inci di tiap kursi,
juga menyajikan suguhan beragam informasi dan hiburan. Mulai deretan lagu-lagu cinta milik Afgan Syahreza, film Hollywood semisal Pacific Rim, game, hingga olahraga.

Tribun memilih laga klasik Liga Premier Inggris musim 2014/2015, antara Manchester United dan Manchester City. Asyiknya, hal itu bisa dinikmati sambil menyantap nasi putih plus menu ayam asam manis. Makin nyaman karena kualitas pendingin udara di kabin juga amat terjaga dan menyegarkan.

Dipandu Pramugari Senior, Suhartati, dan Pilot Kapten Dedy Sembada, Airbus A320 mendarat mulus di Praya setelah terbang di ketinggian 35 ribu kaki. Begitu tiba di Praya, para penumpang yang mendarat langsung dikejutkan dengan sambutan tidak biasa di pintu kedatangan.

Sekitar 6 sampai 10 orang duduk bersila di atas sebuah panggung minimalis. Mereka mengenakan pakaian serba hitam sambil menabuh gamelan. Gamelan yang belakangan diketahui sebagai Gamelan Belek itu, sepintas iramanya sama persis dengan gamelan yang ada di Pulau Dewata, Bali.

Tertarik dengan Gamelan Belek, sejumlah wisatawan, baik lokal maupun mancanegara, memilih tak buru-buru meninggalkan bandara. Mereka menonton dari dekat pertunjukan gratis tersebut, sambil sesekali mengabadikannya dengan kamera.

Tidak lupa juga berfoto selfie. Apalagi, tak jauh dari para seniman memainkan Gamelan Belek, di sudut lain bandara, ada penenun tradisional yang tengah memintal kain tenun motif ikat. Alatnya masih tradisional.
Bagi yang berminat, bisa langsung membelinya.

Di luar, langit di atas Bandara Praya masih terang benderang. Padahal, sudah setengah tujuh malam. Lampu penerangan jalan umum, belum menyala. Begitu juga para pengguna mobil dan motor, belum menghidupkan lampu utama.

Sedangkan penduduk sekitar, juga tak kunjung menyalakan listrik di rumah-rumah mereka. "Ini cuaca musim hujan. Kalau kemarau, lebih terang lagi," kata seorang sopir taksi, Arief, kepada Tribun. Ia menjelaskan banyak yang terkejut dengan suasana di Lombok. Terutama yang berasal dari Indonesia Bagian Barat. Sebab, waktu di Lombok satu jam lebih cepat. Sejatinya, dalam WIB, Tribun mendarat di Praya pukul 17.30 WIB.

Dari Praya, untuk menuju Kota Mataram dibutuhkan waktu 45 menit perjalanan darat dengan taksi. Maklum, Praya dan Mataram berbeda kabupaten. Praya di Lombok Tengah, Mataram di Lombok Barat.
Jika menggunakan taksi argo seperti Blue Bird dengan armada Toyota Vios dan Limo, harganya sekitar Rp 120 ribu.

Namun jika menggunakan taksi gelap dengan armada Toyota Avanza atau Daihatsu Xenia, harganya Rp 150 ribu per orang. Harga tersebut, sudah termasuk jasa mengantar sampai ke hotel. Arief merekomendasikan Tribun untuk menginap di Hotel Mataram di Jl Pejanggik.

Pilihan Arief tidak keliru. Dengan biaya menginap Rp 275 ribu per malam, berbagai fasilitas bisa dinikmati tamu yang datang. Di antaranya Free WiFi, TV cable, Breakfast, Pool, hingga Airport. Lebih dari itu, letak hotel yang berada di jantung kota, membuat tamu yang datang bisa merasakan denyut Mataram selama 24 jam.

Termasuk menikmati aneka jajanan kaki lima. Seperti pecel lele, bebek, merpati, soto, dan lain sebagainya. Namun, untuk yang doyan fast food, ada Mc Donald dan Kentucky Fried Chicken (KFC) di Mataram Mall, yang jaraknya hanya 5 menit jalan kaki dari hotel.

Ada juga gerai Indomart dan Alfamart yang buka sehari semalam suntuk. Fasilitas lain seperti Klinik Prodia dan aneka counter Anjungan Tunai Mandiri (ATM), juga mudah dijumpai. Malam itu, Tribun menyempatkan diri mencicipi pecel Merpati seharga Rp 20 ribu per porsi sebelum beristirahat.

Setelah cukup beristirahat, Tribun mengunjungi obyek wisata terdekat dari hotel, Selasa (9/2) pukul 08.00. Atas saran seorang karyawan hotel, Tribun lantas menyewa jasa ojek sepeda motor yang disediakan warga setempat untuk wisatawan.

Motor-motor itu terparkir rapi di depan hotel. Jumlahnya sekitar 7 sepeda motor. Letaknya di seberang jalan, tepat di pusat penjualan sepatu dan sandal, Sukses. Per hari, harga sewanya Rp 150 ribu. Sudah termasuk driver.

Lokasi pertama yang dikunjungi adalah Taman Mayura. Nama lengkapnya adalah Pura Jagatnatha Mayura Cakra Negara. Taman ini dibangun Raja Anak Agung Ngurah Karangasem pada 1744. Saat itu, kerajaan Bali masih berkuasa di Lombok.

Untuk masuk ke Mayura, tiketnya hanya Rp 10 ribu per orang. Menurut Pinandita RD Mangku Bong Budha Yasa, awalnya taman ini bernama Taman Kelepug. Artinya suara aliran air dari mata air yang jatuh ke kolam. "Dulu di sini banyak ular. Oleh Anak Agung, didatangkan burung Merak untuk mengusir ular-ular tersebut. Sejak saat itu disebutlah sebagai Mayura yang artinya Burung Merak," kata Mangku Bong Budha kepada Tribun.

Ada bagian paling menyita perhatian di Taman Mayura, yaitu Rat Kerte atau Gili. Letaknya tepat di tengah-tengah kolam. "Gili itu digunakan sebagai tempat sidang. Pengadilan zaman kerajaan. Semua yang bersalah diadili di situ," ujar Mangku Bong sambil menunjuk bangunan di tengah kolam.

Bangunan itu mirip pendopo dengan lebar sekitar 4 meter dan panjang 10 meter. Di tiap sudutnya ada patung singa. Untuk sampai ke Gili, pengunjung harus masuk melalui satu-satunya pintu gerbang yang tersedia.

Selain Gili, ada juga bagian lain dari Taman Mayura, yaitu 20 kepala naga untuk pemandian. Tiap naga akan mengeluarkan air, setiap perayaan Purnamaning Sasih Kapat, yang jatuh setahun sekali. Selain dihadiri para sesepuh dan pemuka agama Hindu, sebanyak 33 jempana atau linggih atau Stana Idha Bharata akan disucikan di sini.

Dari lokasi ini, juga terlihat empat pura utama, seperti Pura Ngelurah, Pura Gunung Rinjani, Pura Gedong, dan Pura Padmasana. Di Taman Mayura ini jugalah, Hari Raya Kuningan yang jatuh, Rabu (10/2) dipusatkan. Saat ditemui, Mangku Bong, tengah mempersiapkan segala sesuatunya untuk Kuningan.

Di antaranya membersihkan tempat untuk ngayah atau memimpin doa. "Kita sedang mempersiapkan untuk Kuningan. Besok ramai sekali di sini umat Hindu untuk berdoa," ucap Mangku Bong yang diwisuda sebagai pinandita pada 11 Oktober 2011 ini.

Menurutnya, Hari Raya Kuningan merupakan bagian dari rangkaian Hari Raya Galungan yang jatuh pada 10 hari setelah Galungan, yaitu pada Saniscara (Sabtu) Kliwon Wuku Kuningan. Kata Kuningan memiliki makna kauningan yang artinya mencapai peningkatan spiritual dengan cara introspeksi agar terhindar dari mara bahaya. "Kita memanjatkan doa-doa agar diberikan keselamatan," ujarnya.

Ia menuturkan, tak jauh dari Taman Mayura, ada rumah raja. Namanya, Puri Pamotan Cakranegara. Keturunan Raja Anak Agung Ngurah Karangasem tinggal dari generasi ke generasi di rumah ini.
Seorang pengunjung, Angelina (27), mengaku datang ke Taman Mayura bersama teman- temannya yang lain asal Jakarta. "Suasananya asri. Sejuk. Tertata rapi," kata Angelina yang tengah beristirahat di kursi taman yang disediakan.

Namun, ia menyayangkan para penjual batu akik dan mutiara di pagar Taman Mayura dekat pintu masuk, yang terkesan tidak tertata. Sekitar pukul 10.00, Tribun meninggalkan Mayura dan menuju destinasi wisata selanjutnya, Pantai Senggigi. (hasyim ashari/bersambung)

Tidak ada komentar: