Minggu, 08 Maret 2009

Ngembat Jatah Makan Siang Paspamres

Kelompok Kompas Gramedia yang terdiri dari, Hotel Santika, Toko Buku Gramedia, Radio Sonora, dan Tribun Pontianak menggelar kegiatan Journey to Exellence 2009 di Hotel Grand Mahkota, Jumat (6/3). Kalau ada acara begituan, sudah pasti ada makan siangnya atau lunch.

Untuk urusan yang satu ini, saya agak terlambat karena harus Salat Jumat dulu. Sudah pun selesai, saya masih harus ngopi sejenak karena diajak teman lama saya Ade Rianto. Kebetulan kami salat di masjid yang sama tidak jauh dari Hotel Grand Mahkota.

Ade bercerita tentang facebook yang menggila di tempat kerjanya, tempat kerja saya yang lama. Menurutnya, ia bisa bertemu dengan rekan-rekan SMA-nya dulu lewat interaksi di laman yang sedang trend tersebut. Dia juga bertutur tentang ayahnya yang sebulan lalu meninggal karena sakit.

Pembicaraan terus mengalir. Apalagi warung kecil di sudut Jl H Nurali menyuguhkan suasana adem, segar, karena banyak pepohonan. Kalau saja tidak ingat ada kegiatan, ingin rasanya berlama-lama. Saya pamit dan kamipun berpisah.

Ia sempat mengantar saya hingga ke pintu belakang Hotel Grand Mahkota. Di lobi, saya bertemu rekan sekantor, Stefanus Akim yang pura-pura kelihatan penting dengan membaca Koran Kompas. Saya bilang saya lapar. "Itu yang di sebelah sana," kata Akim menjawab pertanyaan saya di manakah letak meja makannya.

Saya mengikuti telunjuk redaktur yangg terkenal dengan slogan "Dua Kali dia Pak Lamhot" di kantor. Di meja makan, saya bertemu dengan Pak Nur Secioto, Pimpinan Perusahaan yang sedang bercakap- cakap dengan anak buahnya. "Sudah makan belum Sim?" tanya Pak Nur dengan senyumnya yang khas. "Belum Pak," jawab saya.

Saya kemudian bergegas menuju meja panjang yang menyajikan aneka lauk pauk makan siang. Meja itu tersusun atas dua sisi. Masing-masing sisi menyajikan menu makan siang. Karena yang di sebelah dekat meja Pak Nur Secioto lauk pauknya ditutup semua, saya bergeser ke sisi satunya lagi.

Rupanya di situ semua menu terbuka. Ukuran piringnya juga besar-besar. Lauk pauknya terlihat sangat segar dan enak. Saya mengambil piring dan mengambil nasi putih, dua potong daging, dan Cap Cai. Saya agak grogi karena ada pelayan yang terus mengikuti saya di belakang. Terutama setiap kali saya memindahkan lauk ke piring yang saya pegang.

Saat akan mengambil Cap Cai itulah, tiba-tiba hanphone saya bergetar. "Bos yang ente ambil litu jatah makan siang paspampres (Pasukan Pengamanan Presiden)," rupanya Stefanus Akim yang menelpon saya. Ia tertawa kecil di ujung telepon.

"Ah bodoo amat, gua lagi laper," jawab saya singkat. Saya menoleh ke lobi. Akim terkekeh sambil memegang koran. Saya menoleh di sekitar meja, rupanya banyak pria berbadan tegap sedang makan siang. Mereka berpakaian cokelat tua dengan kancing kemeja keemasan. Rupanya, mereka Paspampres yang mengawal kedatangan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Dalam hati, ngeper juga saya. Jangan-jangan gara-gara saya salah ambil menu, ada anggota Paspamres yang tidak kebagian jatah makan siang. Dengan menyembunyikan sedikit rasa malu, saya beringsut mencari meja makan.

Saat saya makan, saya terus memperhatikan pelayan yang mengikuti saya tadi. Jangan-jangan, dia mendatangi saya dan membuat nafsu makan saya hilang. Alhamdulillah, rupanya tidak. Tidak lama kemudian, ada tamu hotel yang juga turun makan. Dia menuju menu yang disajikan untuk paspamres. Belum apa-apa, pelayan yang tadi mengikuti saya langsung mencegahnya.

"Maaf Pak! yang sebelah sini khusus untuk paspamres. Tamu yang lain silakan mengambil makan siang di sebelah sana," katanya. Si tamu hotel itu kemudian berpindah meja dan mengambil jatah makan siangnya satu persatu.

Saya hanya tersenyum dalam hati. Mmebayangkan, bagaimana kalau si tamu hotel itu adalah saya. Ditegur ketika suasana ruang makan sedang ramai. Pasti mokal abis. Di luar itu, rupanya di antara begitu banyak tamu hotel, hanya saya yang bisa mencicipi masakan khusus paspampres. He he he ..

Selesai makan, saya menghampiri Stefanus Akim yang masih sibuk baca koran. Aneh juga saya pikir, ada orang yang buat koran, hobinya baca koran. Kalau baca majalah mungkin beda. Begitu tahu saya datang, Akim langsung memberi hormat dengan mengangkat tangan kanannya tepat di kening. "Siap Pak! Laksanakan perintah!" dan kamipun tertawa.

Sabtu, 07 Maret 2009

Black Campaign sampai Iklan Terselubung Rawan


*Coffe Morning Tribun Pontianak Bersama KPID dan Panwaslu

PONTIANAK, TRIBUN - Obrolan pagi Anggota Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kalbar dan Komisi Penyiaran Informasi Daerah (KPID) Kalbar bersama jajaran Redaksi Tribun Pontianak, Selasa (3/3) siang, berlangsung hangat.
iskusi informal bertajuk Bersama Kita Tingkatkan Mutu Pemilu di Kalbar itu, diwarnai pengkajian terhadap pasal-pasal dalam UU Nomor 42 Tahun 2008 yang bersifat multi-tafsir. Seirus, tapi tetap santai.

Anggota Panwaslu Warih Yulikanti dan Hawad Sriyanto SH begitu bersemangat melayani pertanyaan- pertanyaan tajam kru redaksi.
Demikian halnya Anggota KPID, Syarif Muhammad Hery Alkadrie dan Sumarsono yang tiada bosa mengurai masalah-masalah periklanan yang belum gamblang betul ketentuannya.

"Saya yakin beberapa teman media, termasuk lembaga penyiaran memberi peluang kepada seluruh peserta Pemilu. Kadang memang terjadi, peserta Pemilu yang tidak menangkap peluang itu," tutur Hawad Sriyanto.

Mencermati kebebasan berkampanye melalui iklan televisi, radio, media massa saat ini, menyimpan potensi pelanggaran ketentuan yang ada. "Dalam proses itu, bukan tidak mungkin terjadi pelanggaran kampanye. Misalnya, black campaign dan iklan-iklan terselubung," kata Hawad.

Warih menjelaskan seperangkat larangan kampanye di media massa antara lain, menjual blocking segmen atau blocking time, menerima sponsor atau format dalam bentuk apa pun untuk kampanye, dan menjual spot iklan yang tak dimanfaatkan peserta Pemilu kepada peserta Pemilu lain.

"Media juga harus bisa mematuhi ketentuan masa tenang. Yaitu, tiga hari menjelang pemilihan. Selama masa tenang, tidak boleh lagi muncul atribut, lambang, dan slogan yang mengarah kepada penyampaian visi misi peserta Pemilu," tegasnya.

Cabut Izin
Disinggung kebiasaan Paswaslu kewalahan, bahkan lepas dalam mengawasi pelanggaran selama Pemilu, Hawad mengatakan, Panwaslu tak bekerja sendirian. Melainkan berkoordinasi dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Dewan Pers, dan pemerintah daerah.

"Jika pelanggaran peserta Pemilu, kita memberikan laporan kepada KPU. Jika media massa yang melanggar ketentuan, kita akan arahkan ke dewan pers," tuturnya.
"Jika berkaitan tempat-tempat yang dilarang untuk pemasangan baliho, spanduk, dan atribut lainnya, pemerintah daerah yang akan menertibkan melalui satuan polisi pamong praja setelah mendapat surat dari Panwaslu," jelas Hawad.

Selain itu Panwaslu menjalin kerjasama dengan aparat penyidik (Kejaksaan dan Polri).
KPID pun fokus mengawasi pernyiaran publik, baik media televisi dan radio. "Kita bisa berikan teguran dan sanks-sanksi, kalau lembaga penyiaran publik tersebut melakukan pelanggaran," tegas Sumarsono.

Media elektronik, radio dan televisi, berlangganan maupun komunitas harus memberi alokasi waktu yang adil dan berimbang untuk kampanye.
"Memang space dan durasi tidak dibatasi sebagai konsekusnsi keputusan MK. Yang dipantau
KPID advertorial tak dibatasi untuk media, tapi dibingkai ketentuan UU Penyiaran. Tidak boleh lebih 20 persen dari jam tayang," jelas Hery Alkadrie.

Lembaga penyiaran publik yang melanggar UU Nomor 10 Tahun 2008, sanksinya berupa teguran tertulis, penghentian sementara mata acara, pengurangan durasi hingga pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran. (hsm)

Jumat, 06 Maret 2009

Permintaan Impor Bibit Sawit Capai 13 Juta

PONTIANAK, TRIBUN - Kepala Bidang Perlindungan Dinas Perkebunan Kalbar, Wawan Hermawan, mengatakan 66 perusahaan perkebunan besar swasta (PBS) saat ini kesulitan untuk mendapatkan bibit kelapa sawit bersertifikat dari tujuh sumber benih di Indonesia.

Karena itu, mereka mengajukan izin impor kecambah sawit dari Malaysia, Costa Rica, dan Papua Nuguinea. Pada 2008 saja, jumlah permintaan bibit impor mencapai 13,06 juta.

"Namun, jumlah tersebut juga tidak dapat dipenuhi semuanya. Realisasinya dari permintaan hanya 3,21 persen atau sekitar 420 ribu bibit sawit. Jadi, hampir sebagian besar perusahaan tidak mendapat bibit," kata Wawan Hermawan kepada Tribun, Rabu (4/3).

Mantan Kabid Pencemaran dan Pengrusakan Lingkungan Bapedalda Kalbar ini, menjelaskan angka permintaan tersebut jauh lebih besar dari 2007 yang hanya 3,57 juta bibit. Sedang realisasinya sekitar 1,59 juta bibit.

Kebutuhan bibit impor pada 2007, juga lebih besar dari permintaan pada 2006 yang berjumlah 3,4 juta dengan realisasi 961.500 bibit. Sedangkan pada 2005 permohonan mendatangkan bibit sawit impor mencapai 5,8 juta. Namun hanya bisa dipenuhi sekitar 1,9 juta bibit saja.

"Impor bibit sawit diawasi ketat. Perusahaan perkebunan yang akan mengimpor harus mendapat izin dari Dinas Perkebunan Kalbar. Hal itu dilakukan untuk mempermudah pengawasan. Jika tidak, kita khawatir bibit-bibit itu bukan untuk komsumsi sediri. Tetapi, dijual kembali kepada perusahaan dan petani yang membutuhkan. Itu yang tidak boleh," papar Wawan.

Lelaki berkacamata ini menegaskan, keputusan impor tersebut tidak terlepas dari tujuh sumber benih yang tidak mampu menyuplai kebutuhan benih untuk perkebunan di Kalbar. Tujuh sumber benih itu adalah PPKS, Lonsum, Socfindo, Tyunus, Dami Mas, Tania Selatan, BSM, Selapan Jaya, Bhakti Tani Nus, dan Selaras Inti Pratama.

"Pada 2008 saja, permintaan terhadap benih pada perusahaan yang terdapat di Sumatera itu, sekitar 53,36 juta. Namun, hanya mampu direalisasikan sekitar 4,32 juta bibit," katanya.
Wawan menambahkan ketujuh sumber benih itu hanya mampu memproduksi sekitar 130 juta bibit sawit per tahun. Jumlah bibit sawit itu untuk menyuplai kebutuhan perkebunan se-Indonesia.

"Karena itu, tidak mengherankan harus antre untuk memperoleh bibit. Rata-rata bibit sudah dipesan setahun sebelumnya," ujarnya.

Kelangkaan bibit ini, kemudian dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab dengan menjual bibit ilegal. Dinas Perkebunan Kalbar sendiri sepanjang 2000-2008 menangkap sekitar 110 ribu bibit ilegal tersebut. "Harganya memang jauh lebih murah. Biasanya diminati petani. Kuallitas bibit tersebut baru terlihat pada tahun keempat karena tidak berbuah," tegas Wawan.

Dalam kesempatan itu, Wawan mengingatkan areal perkebunan sawit di Kalbar sudah overload. Saat ini terdapat sekitar 293 perusahaan perkebunan dan yang aktif hanya 162 perusahaan. Lahan yang terpakai sudah mencapai 460 ribu hektare dari 1,5 juta hektare yang ditargetkan pemerintah.

"Jika dilihat perkembangannya, pertumbuhan areal perkebunan sawit Kalbar memang lamban. Sebab perusahaan sejauh ini kesulitan bibit sawit. Jadi, paling lahannya itu-itu saja," katanya. (hsm)