Kamis, 25 Desember 2008

Rumah Tanpa Huruf R

Saat kecil dulu, kalau berkelahi dengan teman sepermainan saya sering diolok. Bahan olok-olokan itu pula yang memancing perkelahian semakin menjadi-jadi. Tidak jarang yang berakhir dengan baju robek, atau wajah membiru. Atau setidaknya menangis tersedu.

Bocah yang paling suka mengolok saya adalah Kubil. Nama aslinya adalah Hardi. Rumah kami hanya dibatasi kebun langsat dan rambutan. Disebut Kubil karena meski orang Betawi asli, matanya sipit. Persis tokoh kartun Kubil di Harian Pos Kota.

Hampir setiap hari, apalagi kalau dia kalah main sepakbola, Jaban, atau Tojo. Senjata pamungkasnya pasti keluar. "Cadel, cadel, cadel!!" begitu dia menghardik saya.
Saya kemudian membalasnya dengan mengatakan "Congek woii congek!"
Seperti halnya saya, Kubil juga punya kekurangan. Dari telinganya mengeluarkan cairan berwarna putih kekuningan yang beraroma tidak sedap. Kalau sudah saling ejek begitu, selanjutnya pasti baku hantam.

Begitulah. Jujur saya merasa minder karena lidah saya pendek. Jadi, tidak bisa mengucapkan huruf R. Perasaan itu masih tumbuh saat saya di SMP dan SMA. Apalagi, setiap Senin atau Sabtu, saya kerap diminta jadi Pemimpin Upacara Bendera. Atau minimal membaca UUD 1945.
"Kepada pembina upacala, holmat glakk!" begitu kira-kira.

Saya sedikit terhibur karena di kampung saya ada anak Jakarta yang baru pindah. Satu keluarga, mereka tidak bisa menyebut huruf R. Bahkan, kalau berbicara yang mereka sebut huruf L bukan R. Ternyata, ada yang lebih parah. Dari sana saya mulai kritis. Karena, Babeh, Enyak, dan ketiga adik saya bisa melafalkan R dengan baik. Artinya, cadel bukanlah keturunan.

Dari sejumlah referensi, cadel adalah ketidakmampuan mengucapkan satu huruf unik. Umumnya huruf R. Meski ada juga sebagian orang yang justru bisa menyebut huruf R namun cadel untuk huruf lainnya. Orang Jepang misalnya, kebanyakan cadel pada huruf L.

Cadel sendiri dibedakan menjadi dua, yaitu cadel karena faktor psikologis dan cadel karena faktor neurologis. Cadel yang disebabkan faktor neurologis berarti disebabkan adanya gangguan di pusat bicara.

Untuk mengatasinya, mereka (umumnya anak) dengan gangguan ini harus segera dibawa ke neurolog. Pada prinsipnya, gangguan ini masih bisa ditangani. Namun bila kerusakannya termasuk parah, bukan tidak mungkin akan terbawa sampai dewasa.

Cadel yang kedua adalah cadel yang disebabkan faktor psikologis. Karena kehadiran adik, contohnya, maka untuk menarik perhatian orang tua, anak akan menunjukkan kemunduran kemampuan bicara dengan menirukan gaya bicara adik bayinya.

Untuk mengatasinya, orang tua harus menunjukkan bahwa perhatian padanya tidak akan berkurang karena kehadiran adik. Selain itu, orang tua juga harus terus mengajak anak bicara dengan bahasa yang benar, jangan malah menirukan pelafalan yang tidak tepat. Pada kasus yang parah, dianjurkan membawa anak ke ahlinya agar bisa tergali apa masalah yang melatarbelakanginya.

Singkat cerita, saya terkena cadel neurologis dan terbawa hingga dewasa. Layaknya orang dewasa, saya membutuhkan pendamping hidup. Sungguh tak dinyana, perempuan yang saya nikahi, Mina, juga tidak fasih melapal huruf R. Bahkan, kadarnya lebih parah dari saya. Kalau lagi iseng saya sering menggodanya, juga sebaliknya.

Setahun setelah menikah, kami dianugerahi bocah mungil Bagas Kusuma Wardhana. Saat lahir, selain nama, apalagi yang dipikirkan kalau bukan jangan-jangan Bagas juga tidak bisa bisa menyebut huruf R. Kekhawatiran itu makin memuncak saat Bagas belajar bicara, huruf S, ,N, dan huruf R-nya tidak karuan. Huruf lainnya, vokal kah atau konsonan bisa ia serap dengan baik dan mengucapkannya dengan baik pula.

Sebelum kehadiran Bagas, saya dan istri kalau tidak terpaksa, sangat jarang menyebut kata yang ada huruf R-nya. Begitu Bagas mbrojol ke muka bumi, kami tambah jarang menyebutnya. Khawatir kalau Bagas ikut-ikutan.

Jadilah, nyaris selama empat tahun ini, di rumah kami jarang sekali terdengar ada huruf R diucapkan. Kami terus merangsang Bagas agar bisa menyebut huruf R, S, dan N. Saat umurnya, 2 tahun tujuh bulan, dia mengalahkan huruf S dan N. Tapi, tidak untuk huruf yang kami takuti, R. Dia masih saja cadel. Jangan-jangan....jangan-jangan...kami sudah berpikiran buruk saja. Karena memang hampir menyerah.

Saya kemudian coba berimprovisasi, tanpa konsultasi ke psikolog, bagaimana agar bagas sukses menaklukan huruf R. Di antaranya dengan membelikan VCD lagu-lagu pop dewasa dan sebuah lap top mainan yang mengajarkan mengeja huruf dan angka.

Di luar itu, kami memberikan keleluasaan Bagas untuk bermain sesukanya. Termasuk dengan anak- anak yang usianya lebih tua. Jujur, dia lebih banyak belejar mengenal sendiri, terutama huruf R.


Hasilnya, sungguh di luar dugaan. Dua pekan lalu, Bagas sudah bisa menyebut hurur R dengan baik. Saking senangnya, kadang kami membuatnya jengkel. Misalnya, ketika menyebut kata kamar. Kami kerap melontarkan pertanyaan terbuka dan berulang-ulang.

Misalnya, Bagas tadi sembunyi di mana?
Dia menjawab, "Di kamar,"
"Dimana? " tanya saya lagi.
"Di kamar," katanya.
"Maaf Gas, Ayah tidak dengar,"
"Di kamar Ayah. Makanya perhatiin kalau Bagas lagi ngomong," ujarnya geram.

Aku dan istriku tersenyum lebar.
Alhamdulillah..Bagas tidak cadel. Tidak seperti Ayah dan Bundanya. Kini, setelah hampir empat tahun, akhirnya ada huruf R di rumah kami. Duh...Senangnya bukan main! Padahal, kami hanya dikasih huruf R.

Tidak ada komentar: