Kamis, 18 Desember 2008

Muda-Andreas Cetak Sejarah


*Kemenangan Ketiga Calon Independen

Saya masih ingat betul, pengamat politik Fachry Ali, sempat berujar saat mengomentari kemenangan Irwandi Yusuf yang menangi Pemilu Gubernur Nanggroe Aceh Darussalaam (NAD), pada 11 Desember 2006.

Irwandi dan Muhammad Nazar adalah pasangan calon independen. Mereka mengantongi 38,20% suara sekaligus mengalahkan pasangan Golkar malik Raden-Sayed Fuad Zakaria dan kandidat dari PPP Ahmad Humam Hamid-Hasbi Abdullah.

"Kasus Irwandi Yusuf itu langka. Belum pernah ada kejadian sebelumnya calon independen menang. Di negara-negara yang mengakomodir calon independen dalam undang-undangnya, mungkin kemenangan calon independen NAD ini adalah baru pertama kali di dunia," kata Fachry Ali.

Tampaknya, pengamat dari LIPI itu harus segera meralat ucapannya. Sebab, Oktober 2008, sejarah kemenangan calon independen terulang untuk kedua kalinya. Kali ini, giliran pasangan OK Arya Zulkarnain-Gong Matua Siregar yang memenangi Pemilu Bupati Batubara, Sumatera Utara.

Keduanya mengantongi 34,67 persen suara. Unggul atas pesaing terdekat psangan Yahdi Khoir Harahap-Surya yang diusung PAN dan Golkar.

15 Desember 2008, pencapaian cemerlang calon nonpartai politik juga mewarnai Pemilu Bupati Kubu Raya, Kalimantan Barat. Pasangan independen Muda Mahendrawan-Andreas Muhrotien tidak tergoyahkan meski pemilihan harus dua putaran.

Keduanya mengalahkan Pasangan Sujiwo-Sapta Oktohari yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI P) dengan perbandingan suara 123.448 dan 91.539. Dengan begitu, berarti sudah tiga pasangan calon Independen yang memenangi pemilihan kepala daerah di Indonesia sejauh ini.

Terlepas dari berbagai faktor, saya hanya ingin mencermati bagaimana Irwandy Yusuf, OK Arya Zulkarnain, dan Muda Mahendrawan membetot perhatian masyarakat.

Irwandi Yusuf adalah cerdik pandai dibalik upaya perdamaian di Aceh. Selain ditunjuk sebagai senior Representative GAM (TNA) untuk Misi Pemantau Aceh (AMM), ia juga dipercaya petinggi GAM di Swedia sebagai Koordinator Juru Runding GAM. Saat rapat pertama di Aceh Monitoring Mission, dia tampil sebagai koordinator Juru Runding GAM di Aceh (2001-2002).

sementara Oka Arya dan Muda Mahendrawan, gigih berupaya memekarkan wilayah masing-masing. Oka memperjuangkan Kabupaten Batubara lepas dari Kabupaten Induknya, Asahan. Sementara Muda Mahendrawan begitu mengakar karena kukuh mengusung pemekaran Kabupaten Pontianak menjadi Kabupaten Kubu Raya.

Kemenangan calon independen sebenarnya bukan barang baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Pada 1955, Indonesia pernah mengakui M Hasan yang duduk sebagai anggota legislatif dari luar partai politik. Untuk partai, Indonesia juga sempat terhenyak saat Partai Dayak menang di Kalimantan.

Bukti sejarah itu pula yang menegaskan sesungguhnya calon independen memiliki akar dalam sejarah ketatanegaraan negara kita.

Tapi, tetap saja kemenangan ketiga pasangan calon independen di atas menimbulkan perbincangan hangat di masyarakat. Teman-teman ngopi saya sempat mempertanyakan apa yang sesungguhnya terjadi dengan mesin-mesin partai politik?

Kurang besar apa PDI P dan Golkar di Kubu Raya? Kurang kuat bagaimana PAN, Golkar, dan PPP di Aceh?

Mustahil mereka tidak bergerak. Apalagi, tiap partai memiliki hierarki kepengurusan dan basisi massa yang jelas. Dan, paling mungkin digerakkan menjadi mesin penghimpun suara terefektif. Karena, umumnya mereka loyal terhadap pengurus partai yang lebih tinggi.

Inilah, meminjam istilah mantan Ketua MPR, Amien Rais, sebuah pelajaran berharga bagi partai politik. Betapa kehadiran calon independen membuat oase di tengah hujatan dan kurang berwibawanya partai politik akhir-akhir ini.

Partai-partai lebih sering sibuk dengan dirinya sendiri. Mereka sepertinya membicarakan kepentingan publik, tapi hanya di awal, untuk kemudian rakyat hanya menjadi bahan tawar-menawar kekuasaan. Mereka sepertinya sibuk memperhatikan konstituen, tapi hanya saat-saat pemilihan umum untuk akhirnya mereka lupakan.

Lihat saja, bagaimana partai politik berkecenderunan untuk menjadi oligarki karena seringkali kurang mengkonsultasikan pencalonan seseorang melalui partai dengan konstituennya. Partai sekadar menjadi
juri untuk meloloskan seseorang menjadi calon kepala daerah.

Kehadiran calon independen sebetulnya merupakan mekanisme kontrol terhadap partai-partai politik.
Namun demikian, partai-partai politik tidak perlu takut menyikapai fenomena ini, selama memiliki manajemen yang baik dan bertanggung jawab kepada konstituennya. Dan mereka mengembalikan fungsi sebagai organisasi yang mengartikulasikan kepentingan publik.

Memang calon independen ini lebih pas dipakai dalam pemilihan kepala daerah dibandingkan dalam pemilihan presiden. Tetapi, siapa yang bisa menyangka. Gubernur Aceh sudah, Bupati Batu-bara sudah. Bupati Kubu Raya sudah. Presiden Indonesia, mungkinkah?

Pengalaman di Amerika Serikat memperlihatkan sulitnya calon independen menang dalam pemilihan presiden. Sepanjang sejarah negeri Paman Sam itu, hanya George Washington yang bisa menjadi presiden tanpa lewat partai. Apalagi ada mekanisme pemilihan pendahuluan guna menentukan calon partai dalam pemilihan presiden untuk menjamin aspirasi rakyat.

Tak pelak, calon independen seperti Ross Perot atau Ralph Nader, hanya menjadi semacam penggembira. Walaupun mereka punya banyak uang. Di tataran politik lokal, calon independen memang bisa menang meski sepanjang sejarah, baru tiga gubernur nonpartai yang terpilih.

Terakomodirnya calon Independen tidak terlepas keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang mengabulkan yudicial review pasal 59 UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pilkada. Isinya calon perseorangan dibolehkan ikut berlaga dalam pemilihan kepala daerah dengan memerhatikan ketentuan pasal 58 UU Pemda melalui mekanisme yang demokratis dan transparan.

Di luar itu, hakikat demokrasi adalah kesetaraan semua warga untuk mendapatkan hak mereka. Tak ada yang diistimewakan, tak ada pula yang dikekang, termasuk soal hak dipilih. Inilah makna yang pantas digarisbawahi dari keputusan Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan keputusan itu, kini kandidat kepala daerah tak perlu mendapat dukungan partai untuk berlaga di ajang pemilihan kepala daerah.

Itulah fakta demokrasi kita. Publik tidak bodoh. Mereka punya mekanisme sendiri untuk menolak hegemoni partai. Ketika partai tidak lagi merepresentasikan konstituennya, mereka memilih untuk tidak memilih atau mencoblos calon independen, seperti yang terjadi di Aceh, Batubara, dan Kubu raya. Fenomena maraknya golongan putih dan populernya calon independen seharusnya menjadi pelajaran bagi partai-partai.

Hadirnya calon independen tidaklah berarti menyingkirkan peran partai. Demokrasi yang sehat tetap membutuhkan partai, karena di sinilah mekanisme rekrutmen calon pemimpin yang lebih teratur bisa berjalan. Partai juga diperlukan untuk menyederhanakan konflik politik dalam masyarakat.

Tugas partai-partai politik sekarang adalah bagaimana agar mereka mampu memperkecil kesenjangan antara harapan publik dan peran yang dijalankan partai. Bila kesenjangan itu teratasi, calon independen dengan sendirinya tak akan banyak mendapat pendukung.

1 komentar:

Ririn.Syaefuddin mengatakan...

Iya sih...Muda-Andreas kembali mencetak sejaah bahwa calon independent ternyata mendapat di hati masyarakat. Sehingga, mereka pun terpilih sebagai pasangan yang layak memimpin masyarakatnya daripada calon parpol. So, partai politik seharusnya berkaca dari kegagalan mereka. Apakah sebenarnya sebab kegagalan tersebut. Apakah karena partai politik sudah tidak bisa lagi dipercayai masyarakat??? Mereka hanya bisa berkoar ketika kampanye, namun tidak bisa membuktikan apa yang mereka janjikan kepada bangsa negara ini. Sangat disayangkan, menurut saya pribadi, banyak calon dari partai politik yang berkepentingan untuk mensejahterakan partai mereka sendiri. Seolah mereka memiliki hutang kepada partai tersebut ketika perahu parpol mendukung aksi kampanye mereka. Tapi, entahlah. Ini hanya opini saya. Dan saya yakin, ada beberapa orang di sana yang memiliki opini yang sama dengan saya. Jika ada yang tersinggung dengan ucapan ini, saya mohon maaf. Yang jelas, negara Indonesia kini sudah bebas untuk masyarakatnya beropini...Tul Kan...???Semoga Indonesia dihindarkan dri keterpurukan dan selalu dilindungi-Nya. Amin