Sabtu, 02 Agustus 2008

Dia Menitikkan Air Mata


Kamis (31/7), kami menggelar rapat budgeting berita. Tidak biasanya, rapat kali ini sangat emosional. Maklumlah, kami akan menerbitkan Tribun Pontianak, Jumat (1/8). Moment itu akan menjadi pertaruhan produk kami apakah akan merebut hati warga Kalbar atau malah sebaliknya. Lebih dari itu, karena di kota yang kecil ini, sudah berdiri kokoh koran-koran milik Jawa Pos Group. Ada Pontianak Post, ada Equator, ada Metro Pontaianak.

Sejatinya, bukan mereka yang membuat kami gentar. Tapi, kami khawatir membuat kesalahan fatal saat lahir. Wajar kalau kemudian kami sangat hati-hati. Mungkin fameo yang mengatakan kesan pertam abegitu menggoda, jadi satu di antara sekian banyak acuan.

Kembali ke ruang rapat. Sebelum memulai budgeting berita, project manajer, Febby Mahendra Putra, meminta kami memanjatkan doa kepada Tuhan, agar menjadi lebih baik. Sejurus kemudian, Doni yang menjadi koordinator layout melafalkan doa-doa. Begitu selesai, kami mengusap wajah masing-masing.

Tapi, Pak Febby masih menegadahkan kedua telapak tangannya. Kedua sikunya bertumpu pada meja kayu. Matanya masih juga terpejam khidmat. Aku yang duduk di kursi paling pojok bisa memandangnya dengan leluasa. Dari pelupuk matanya yang kelelahan ada air mata meleleh. Dia buru-buru menyekanya agar tak kelihatan kami semua. Tapi terlambat, karena pipinya keburu basah. Matanya juga memerah. Dia tak bisa berkata-kata.

Aku hanya menebak apa yang ada dibenak sosok yang banyak dikagumi teman-teman itu. Mungkin Pemred Tribun Batam ini tidak percaya telah membidani lahirnya satu Tribun lagi. Sebelumnya, dia juga yang menjadi Project Manager di Tribun Kaltim, Tribun Timur, Tribun Pekanbaru, Tribun Jabar, dan beberapa koran di bawah Persda Kompas Gramedia.

Saat bertanya-tanya ada apa gerangan, perkataan emosional meluncur deras dari mulutnya. “Ini bukti kalau Tuhan masih sayang dengan kita. Begitu mau terbit, ada berita jatuh dari langit. Harus disyukuri. Sekarang tinggal bagaimana kita mengemasnya,” kata Pak Febby.

Sebelum terbit kami memang sudah menyiapkan Head Line (HL). Mendadak, Kamis (31/7) pukul 08.00 WIB, ada perampok beraksi di dekat rumah Wakil Gubernur Cristiyandi Sanjaya. Perampok tersebut tewas ditembus timah panas yang dilepaskan Pengawal Pak Cris.

Melihat Pak Febby begitu semangat, kami terbawa suasana. Apalagi setelah dia mengajak kami menyatukan tangan kanan sebagai bentuk kesatuan tekad untuk menyajikan berita terbaik di terbitan perdana. Sebelum meninggalkan ruangan kami berteriak lantang…Hei!

Empat hari setelah kami terbit, aku baru tahu mengapa Pak febby menangis saat itu. Saat kutanya, sosok humoris itu mengaku stres berat. Dia merasa sendirian saat melahirkan Tribun POntianak. "Teman tempat saya berbagi, tumbang seminggu sebelum koran ini terbit. Tinggal saya sendirian dan beban ini sungguh berat," ujarnya.

Rupanya, yang dimaksud adalah Pak Herman Dharmo. Direktur Utama Persda itu jatuh sakit selepas melihat langsung persiapan terakhir penerbitan Tribun Pontianak. Dia sempat memberikan pembekalan kepada karyawan baru PT Kapuas Media Grafika. Dalam amanahnya, beliau menyampaikan selamat kepada kami yang telah terpilih.

Sebab menurutnya, ada begitu orang banyak melamar. Namun tidak terpilih. "Karena itu jangan disia-siakan kesempatan ini. Teruslah berkarya untuk kemajuan kita bersama," pesannya. Setelah memberikan pembekalan, Pak Herman yang biasa memanggil saya dengan sebutan Anen (tokoh betawi) itu, pulang ke Jakarta.

Besoknya, kami menerima kabar lewat Pak Febby, Pak Herman masuk rumah sakit. Dia dirawat di sebuah rumah sakit di Singapur. Katanya, ada sesuatu di tulang sumsumnya. Sesuatu itu berasal dari obat pengendali kolesterol yang dikonsumsi.

"Bayangkan, tanpa beliau saya harus memencet tombol. Meski begitu, kepada semua pimpinan saya mengatakan, kalau kami (redaksi) yang paling siap," kata Pak Febby. Kalau tidak begitu, Tribun POntianak tidak akan pernah terbit.

Tidak ada komentar: