Minggu, 29 Mei 2011

Menggantang Film Indie Kalbar


* Film Maker Damba Dukungan

MASIH ingat perhelatan Festival Film Indonesia (FFI) 2009 silam? Ajang bergengsi insan film nasional itu, menobatkan Aria Kusumadewa dan Djenar Maesa Ayu masing-masing sebagai Sutradara Terbaik dan Sutradara Baru Terbaik.

Padahal, film keduanya adalah karya film independen atau indie. Aria melalui Identitas dan Djenar Maesa lewat Mereka Bilang Saya Monyet. Masuknya dua karya indie ini pun kemudian banyak diperbincangkan insan film.

Harapan bahwa film indie bisa diapresiasi dan mendapat tempat di tingkat nasional, juga adalah harapan cineas Pontianak. Satu di antaranya adalah Akilbudi Patriawan yang membesut film Amie.

Pemuda yang hanya tamatan SMA Mujahidin Pontianak ini adalah satu dari sedikit pegiat film indie di Kalbar. Memang ada sederet nama lainnya. Sebut saja Pawadi Jihad (penulis naskah), Buhari (sutradara dan artis talent), Raditya (kameramen), Anca Apriansyah (lighting), dan Ahmad Afid (musik director).

"Awalnya hanya hobi. Namun, ternyata peluang menjadi cineas sangat terbuka karena di Kalbar jarang yang menggarap film indie. Kalau pun ada, seperti yang dilakukan teman-teman di sejumlah SMA di Pontianak, film indie hanya bagian dari tugas sekolah. Belum digarap profesional," kata Akilbudi kepada Tribun, Sabtu (28/5).

Hingga 2011, sudah sekitar 23 judul film yang dihasilkan pemuda kelahiran Pontianak, 5 Juli 1988 ini. Di antaranya, Gangs Over (2009), Hantu Oneng (2009), Detektif Agatha (2010), Jebakan X (2011), dan terakhir adalah Amie (2011).

Amie sendiri diputar di Taman Budaya Kalbar, 22-23 Mei lalu. Sebelumnya, juga sempat diputar di Singkawang.

"Konsekuensi film indie adalah tidak dibayar. Sebab biaya produksi hanya didapat dari donatur. Kita sudah berupaya untuk menembus sejumlah perusahaan swasta, namun masih belum direspon. Dan ini, jadi tantangan kami para pegiat film indie, untuk memproduksi film-film indie sebaik mungkin," ujar Akilbudi.

Selain karena hambatan pendanaan tadi, ia juga mengakui sulitnya mencari pemain atau artis. Mereka kurang bisa akting. Kondisi ini membuat penggarapan film indie biasanya menjadi lama karena harus latihan sebulan sebelum syuting.

"Di luar itu, rata-rata artis di sini kurang memahami apa itu film indie. Merekrut mereka untuk bisa main dengan konsekuensi tidak dibayar, itu jadi masalah tersendiri. Kendala lainnya adalah Kalbar sering mati lampu dan daya listrik di lokasi syuting tidak memadai," papar layouter Harian Kapuas Post ini.


Pasokan listrik menurut warga Jl Tabrani Ahmad, Gg Setara Nomor 1 Pontianak ini, sangat penting. Terutama untuk menopang semua peralatan syuting. Kamera, lighting, komputer recording, rel, rata-rata butuh daya 3.000 watt.

Dengan segala keterbatasan itu, Akilbudi dan teman-teman cineas Pontianak tetap bertekad mengembangkan film indie di Kalbar.

"Film indie itu representasi dari idealisme cineas. Meski belum menguntungkan, kita tetap akan produksi film-film indie. Ada kepuasan batin ketika menggarap dan menyaksikan antusiasme penonton menyaksikan film yang kita garap. Rasanya ingin buat yang lebih baik lagi. Kepuasan serupa juga dirasakan teman-teman lainnya," tegas Akilbudi.

Apalagi katanya, mereka yang terlibat di film-film indie Pontianak, baik kru maupun artis, bisa lebih dikenal luas oleh masyarakat. Harapannya, mereka juga bisa berkiprah di pentas perfilman nasional.

Bagaimana dengan kualitas film indie? Penulis nasakah Kalbar, Pawadi Jihad, mengatakan Kalbar boleh minim soal sumberdaya manusia dan sarana serta prasarana yang mendukung perfilman di daerah.

Namun, untuk kreativitas cineas Pontianak tidak kalah. "Untuk kreativitas, saya rasa kita sudah bisa disejajarkan dengan film maker yang ada di Bandung atau Jakarta," tegas penulis yang sudah menciptakan 20 naskah film ini yakin.

Untuk itu, di Kalbar perlu diagendakan kompetisi film-film indie. Karena dari film indie yang dinilai bukan hanya filmnya, tapi juga sutradara, skenario, editornya, desainnya, para pemainnya bahkan sisi artistiknya.

"Saya yakin, jika kita bisa mengangkat film-film indie hingga kepermukaan bukan saja jago kandang, tapi bisa ikut kompetisi nasional. Peluang untuk memajukan dunia film di Kalbar secara keseluruhan bisa tercapai," ujarnya.

Untuk kompetisi berarti butuh dukungan semua pihak. "Yang namanya indie ya independence. Meski demikian, perlu jugalah dukungan yang lain. Contohnya sarana prasarana. Kita pernah buat film indie dan minta bantuan pemerintah, tapi tidak ada respon. Ya, jadi karena indie, ya memang harus berdiri sendiri," paparnya.

Berkaca dari film-film yang sudah dibuat, Akilbudi Patriawan, yakin bisa memproduksi film layar lebar. Menurutnya, alat-alat yang dibutuhkan untuk pembuatan film layar lebar, pada dasarnya mereka sudah punya. Begitu juga soal teknik penggarapan dan sebagainya. (hasyim ashari/pontiana banjaria)

Mugiono, Pemerhati dan Pegiat Film Indie

Ruang Berekspresi

Tampaknya sudah mulai ada tanda-tanda, dunia perfilman di Kalbar tumbuh dan berkembang. Hal ini dapat dilihat dari mulai munculnya sineas-sineas muda ataupun film maker lokal untuk membuat film-film indie.

Mereka punya kualitas dan kreativitas. Banyak di antara mereka yang lulusan sinematografi, desain, fotografi, dan lainnya dari universitas maupun akademi di Jawa. Kondisi itu, ditopang lagi oleh sejumlah sekolah yang ekstrakurikulernya adalah sinematografi.

Tidak jarang muncul film maker-film maker muda kreatif dari sekolah-sekolah itu. Film indie yang dihasilkan siswa-siswa itu juga sangat bagus. Nah, inikan suatu bukti, bahwa sumber daya kita ada dan sangat kreatif. Ini juga bukti perfilman Kalbar walau lewat film indie sudah sangat maju.

Tapi, kemauan tanpa dukungan yang berarti dari pihak-pihak yang diharapkan bisa membantu, juga kiranya tidak akan jalan. Sayangnya, sampai saat ini, kemauan dan kreatifitas sineas ini belum didukung pemerintah, pihak swasta, ataupun media elektronik lokal.

Seperti Dewan Kesenian atau Dinas Pariwisata tidak ada yang membidangi perfilman. Kita sudah beberapa kali minta dukungan ke pemerintah. Tapi, tidak juga ada respon. Sama halnya dengan televisi lokal.

Cobalah beri peluang untuk program film-film indie lokal agar bisa ditayangkan. Bukan merugikan, rapi malah sebaliknya bisa mengangkat rating televisi lokal itu sendiri. Imbas lainnya adalah perkembangan dunia film indie di Kalbar semakin maju.

Banyaknya sutradara film dan artis nasional yang melirik potensi perfilman Kalbar, ternyata belum mampu menggugah para pemangku kepentingan untuk membantu mengembangkan dunia sinematografi Kalbar.

Meski masih banyak kurang di sana-sini, untuk memajukan perfilman di Kalbar jangan berhenti. Para sineas atau film maker Kalbar harus terus berkarya. Kalau film-film indie kita bisa berbicara di tingkat nasional, dampaknya bukan hanya pada penggiat film itu sendiri. Imbasnya juga akan dirasakan sektor lain.

Misalnya sektor pariwisata. Lihat saja sekarang sudah banyak sutradara berkelas nasional maupun artis buat film dan menggunakan masyarakat lokal. Jika kita bisa pemerintah bisa melihat peluang besar ini, berilah dukungan pada film-film indie di sini. (pontiana banjaria)

Apriansyah, Pemeran Utama Film Amie

Coba Layar Lebar

Sudah dua kali bermain film indie di Kalbar, tidak membuat Apriansyah (21) berpuas diri dalam menekuni dunia perfilman Tanah Air.

"Saya pikir banyak juga pemain film besar, awalnya menapaki karier di sinema lewat indie dulu. Malah dengan jalur indie, saya rasa pengalaman dan kualitas akting kita bisa lebih terasah," kata anak pasangan Saparudin dan Yopita ini kepada Tribun, Sabtu (28/5).

Pemeran utama pria dalam film Amie sebagai Alex ini, mengakui sebenarnya sudah mengandrungi berpola akting sejak di bangku sekolah menengah atas. Dari sanalah, kiprahnya dikembangkan dengan bermain teater dan mendirikan Sanggar XQ.

"Cita-cita saya memang pada akhirnya bisa bermain di layar lebar. Saya harap, mengasah akting di tetaer dulu dan bermain di film indie bisa membawa saya menuju layar lebar. Yang jelas jangan sampai patah semangatlah. Kalau dihati kita sudah tertanam seni peran, ya fokuskan itu saja," tutur penggemar Vino G Bastian ini.

Pemain film indie Gengs Over ini menambahkan main film indie cukup memberi pengalaman berharga. Terutama bagaimana menjadi aktor sesungguhnya. Karena menjadi aktor secara instant juga, dipikirnya bukanlah hal bagus.

"Banyak sih suka duka yang saya dapat main film. Waktu syuting film Amie saja kondisi saya hampir drop. Karena harus bangun subuh, syuting di panas terik matahari, kehujanan dan lainnya. Tapi dari semuanya, saya bisa nambah pengalaman, banyak teman baru, dan adanya kebersamaan," papar Apriansyah.

Menurutnya, meski dirinya belum ada tanda-tanda bisa main film nasional tapi harapan untuk peluang menuju ke sana selalu ada. Dengan melihat filmnya sudah mendapat apresiasi yang tinggi dari masyarakat Singkawang maupun Pontianak, itu sudha cukup membuatnya bangga.

"Setelah syuting saya merasa lega, apalagi melihat antusias dan apresiasi masyarakat Singkawang. Buat saya bangga. Kalau dipikir, apa yang saya impikan untuk jadi terkenal, walau baru tingkat daerah, itu sudah sangat menyenangkan. Tapi, masih ada impian saya yang belum tercapai, makanya saya harus terus berusaha dan lebih tekun," ujarnya. (pontiana banjaria)

Tidak ada komentar: