Sabtu, 07 Februari 2009

Madu Organis Siap Ekspor


*Omzet per Musim Capai Rp 4 Miliar
PONTIANAK, TRIBUN - Pendamping Asosiasi Periau Danau Sentarum (APDS) Kapuas Hulu, Thomas Irawan Sihombing, mengatakan pihaknya sedang menyiapkan ekspor madu hutan organis asal Danau Sentarum ke Sarawak, Malaysia Timur dan Brunei Darussalam.
Langkah itu diambil mengingat harga jual di sana lebih menggiurkan di samping jarak tempuh yang lebih dekat ketimbang ke Jakarta.

"Secara geografis, Kapuas Hulu memiliki keuntungan karena berbatasan langsung dengan Sarawak. Jaraknya hanya sekitar 80 kilometer lewat jalur darat. Bandingkan dengan jarak tempuh ke Jakarta," kata Thomas kepada Tribun di Sekretariat Bersama Karimata 43, Sabtu (7/2).

Dia berharap pemerintah segera membuka Pos Lintas Batas (PLB) Badau-Aruk pada Maret 2009 seperti yang direncanakan. Dengan begitu, akan semakin cepat kemungkinan ekspor madu hutan ke Sarawak. Sebab, petani akan lebih diuntungkan karena harga jual yang lebih tinggi.

"Untuk madu hutan ukuran 600 mililiter harganya Rp 60 ribu. Bandingkan dengan harga di Pontianak yang Rp 70 ribu per kilogram atau ke Jakarta yang dihargai Rp 45 ribu per kilogramnya," papar Thomas.

Ditanya tentang standar mutu, lelaki berkacamata ini menegaskan sejak 2005, produsen kelompok kecil usaha madu hutan sudah melakukan Sistem Pengawasan Mutu Internal (SPMI) untuk memperoleh Sertifikat Organis.

"Sistem ini menjamin tiap periau secara internal melakukan pengawasan terhadap dirinya. Kegiatan- kegiatan terdokumentasi secara tertulis dan dapat diperiksa pihak lain secara obyektif. Hasilnya, pada 2007 APDS berhasil menerapkan SPMI dan memastikan 4,3 ton madu hutan yang diproduksi organis," tegas Thomas.

Pada tahun itu juga, Board of Indonesian Organic Certifications (BIOCert) memberikan Sertifikat Organis kepada APDS. Sertifikat itu diserahkan langsung oleh Menteri Kehutanan, MS Kaban, di Cisarua, Bogor, Jawa Barat.

Dia menjelaskan anggota APDS saat ini berjumlah 8 periau dari 33 periau yang ada di kawasan Danau Sentarum. Dari jumlah tersebut kapasitas produksi pada musim 2008-2009 mencapai 16,5 ton. Sebanyak 10 ton dijual ke Dian Niaga, Jakarta. Sisanya sekitar 1,5 ton dipasarkan ke Riak Bumi. Total omzet penjualan sebesar Rp 517,5 juta.

"Kalau seluruh periau yang ada berhimpun, omzet kita bisa menyentuh angka Rp 4 miliar. Dengan asumsi kapasitas produksi bisa 30 ton per musim," katanya.

Periau adalah organisasi tradisional pengelolaan madu hutan di Danau Sentarum. Tiap periau beranggotakan 10-30 orang. APDS terbentuk untuk memaksimalkan dan memberdayakan lembaga tersebut dengan pendampingan dari Aliansi Organis Indonesia (AOI).

Pada 2004-2007, hanya 5 periau yang bergabung di APDS dengan kapasitas produksi madu hutan organis 4,3 ton. Pada 2008-2009, jumlahnya meningkat jadi 8 periau dengan produksi mencapai 10 ton. Sayang, pada musim 2007-2008, hampir semua periau gagal panen karena banjir menerjang kawasan ekosistem lebah Apis Dorsata yang selama ini menghasilkan madu hutan.

"Melihat periau-periau yang ada, sekitar 500 kepala keluarga menggantungkan hidupnya dari madu organis ini. Potensi ekonomi ini sangat besar untuk dikembangkan. Apalagi, baru sekitar 12 ribu hektare yang dikelola dari sekitar 132 ribu hektare lahan yang tersedia," tegas Thomas lagi.

Kendala

Sejauh ini, lanjut Thomas, APDS masih menemukan sejumlah kendala dalam memproduksi madu hutan organis. Pertama, masa panen alami madu yang terbatas yaitu setahun sekali antara bulan November- Februari.

Belakangan para petani menemukan panen sistem baru. Di mana, tidak semua sarang diambil. Melainkan menyisakan anakan dan hanya mengambil madunya saja. Dengan cara ini, panen bisa sampai 3 kali setahun.

Kedua, madu yang dijual adalah madu asli. Belum ada diversifikasi produk lainnya. Apalagi, selama ini, Pemkab Kapuas Hulu belum pernah melakukan pendampingan terkait peningkatan kualitas produk. Untuk packing saja misalnya baru dilakukan saat tiba di Dian Niaga, dengan merek Dorsata.

Persoalan ketiga adalah kadar air yang masih tinggi dalam madu yang dihasilkan. Saat ini, rata-rata terdapat 27 persen kandungan air. Sementara standar idealnya 21 persen.
"Untuk menurunkan kadar air dan kelembaban kita menggunakan dehumidifier. Namun, harus didatangkan dari Jakarta dan harganya relatif mahal. Untuk yang fortabel misalnya harus merogoh kocek Rp 7,8 juta per unit," papar Thomas.

Persoalan lainnya adalah ancaman banjir dan kekeringan di Danau Sentarum. Lebah Apis Dorsata menggantungkan hidup dari alam. Karena itu, disebut madu hutan organis karena memang tidak menggunakan bahan-bahan kimia dalam produksinya.

Apis Dorsata hanya memakan sari pati delapan bunga di Danau Sentarum. Di antaranya adalah bunga putat, kawi, dan masung. "Untuk menjaga ketersediaan pakan lebah Apis Dorsata, Periau Semalah misalnya sudah membudidayakan bunga-bunga tersebut di areal seluas 8 hektare," ujar Thomas seraya mengatakan untuk pemasaran produk di dalam negeri tidak mengalami kendala berarti karena sudah bekerjasama dengan mitra Jaringan Madu Hutan Indonesia (JMHI). Dalam waktu dekat APDS bersama AOI akan mengadakan lawatan bisnis ke Serawak.

Mengenali Madu Asli
Ambil madu sedikit. Teteskan ke dalam gelas berisi air putih. Kalau tetesan madu bisa bertahan hingga ke dasar gelas, maka madu itu masih murni. Namun, kalau madu yang diteteskan terurai bersama air putih, maka madunya sudah tidak asli lagi.

Tidak benar kalau madu alsi tidak dikerumuni semut. Malah sebaliknya pasti disenangi semut. Kalau semut tidak mengerumuni madu, artinya madu sudah terpermentasi dan sudah tidak asli lagi. (hasyim ashari)

Tidak ada komentar: