Senin, 12 September 2011

Wagub Christiandy Syukuri Kebersamaan


* Festival Kue Bulan di Kalbar
MASYARAKAT Tionghoa, termasuk di Kalbar, merayakan perayaan Cung Chiu Ciek atau festival Kue Bulan, besok, Senin (12/9). Tradisi perayaan Cung Chiu Ciek diperingati setiap tanggal 15 bulan 8 penanggalan Imlek.

Oleh karena itu, masyarakat Tionghoa mulai bersiap diri dan membeli berbagai jenis kue bulan yang tersedia di pasar. Wakil Gubernur Kalbar, Christiandy Sanjaya, misalnya mengaku berburu Kue Bulan hingga ke Singkawang.

Padahal, sudah membeli berbagai jenis kue di Pontianak. Kue itu untuk dinikmati bersama keluarga, saudara, maupun kerabat.

"Saya membeli Kue Bulan sampai ke Singkawang. Saat kemarin pulang memperingati 100 hari wafatnya Ibu saya di sana. Kue Bulan di Pontianak juga enak. Masing-masing tempat memiliki cita rasa yang berbeda," tutur Christiandy kepada Tribun, Sabtu (10/9).

Wagub mengaku menyukai jenis Kue Bulan, Go Jin Pia. Ia menilai perayaan Cung Chiu Ciek merupakan tradisi turun temurun yang memiliki nilai positif sehingga harus dilestarikan. Melalui tradisi ini secara ekonomi dapat menghidupkan pelaku Usaha Kecil Menengah (UKM), baik yang memproduksi maupun yang menjual kue.

Oleh karena itu, perlu didukung dan dipertahankan karena sangat positif dan memberikan nilai tambah untuk pertumbuhan ekonomi. Christiandy menuturkan, hingga sekarang tradisi ini dirayakan bersama keluarganya.

Dalam hal ini, saling membagikan kue bulan kepada yang lebih tua. "Kita tetap merayakan bersama keluarga, dengan cara kumpul dan makan bersama. Perayaan Kue Bulan merupakan hari spesial bagi masyarakat Tionghoa, kita patut bersyukur bisa berkumpul dan makan bersama dengan keluarga, serta kepada yang tua kita antarkan Kue Bulan," paparnya.

Kentalnya hubungan antarsaudara juga dirasakan Ketua DPRD Kota Singkawang, Tjhai Chui Mie. Menurutnya, zaman dulu (perang) kue bulan dijadikan alat komunikasi dengan menyisipkan kertas ke dalam kuenya untuk mengirimkan pesan.

"Sekarang, khususnya bulan ini, kita bisa mengirimkan Kue Bulan untuk saudara yang lebih tua dan kerabat. Sehingga mempererat hubungan saudara dan kerabat yang selama ini mempunyai kesibukan masing-masing," kata Chui Mie.

Wali Kota Singkawang, Hasan Karman, berharap masyarakat Tionghoa tidak sekadar
merayakan festival ini dengan makan bersama dan berkumpul. Namun, perlu juga mengetahui makna yang terkandung dari perayaan ini. Sehingga bisa meneladaninya.

Ketua DPRD Kota Pontianak, Hartono Azas, mengatakan hikmah penting yang bisa diteladani dari Festival Kue Bulan adalah semangat persatuan, kompak, jiwa kebersamaan bisa mewujudkan segala sesuatu.

"Harapan saya agar bangsa kita selalu memperkokoh nilai nilai kebersamaan tanpa melihat asal usul latar belakang yang penting hasil karya nyata bagi kemajuan pembangunan daerah," ujarnya.

Ketaladanan Suami Istri

Wali Kota Singkawang, Hasan Karman, mengatakan ada dua peristiwa yang terjadi mewarnai perayaan Kue Bulan. Pertama, kala itu di antaranya terjadinya perampokan di rumah sepasang suami istri, How Ie dan Chang Er, yang menyimpan benda pusaka berupa pil panjang umur atau pil ke surga yang diberikan kaisar kepada How Ie yang berjasa.

Ketika terjadi perampokan How Ie tidak berada di rumah dan Chang Er takut kehilangan pil itu sehingga ia meminumnya. Alhasih, setelah meminum pil itu roh Chang Er dipercaya naik ke surga dan meninggalkan dunia untuk selama-lamanya.

Oleh karena itu, setiap hari peristiwa itu, yakni tanggal 15 bulan 8 penanggalan Imlek, How Ie membikin Kue Bulan untuk mengenang istrinya. Dari peristiwa itu menggambarkan suami istri yang luar biasa saling mencintai karena takdir buat mereka pisah.

"Dari kejadian itu, dapat dipetik maknanya yaitu kesetiaan suami atau keteladanan suami istri yang perlu dicontohi oleh masyarakat sekarang ini. Apalagi saat ini, suami istri dikit-dikit mau cerai, sehingga cocok dijadikan keteladanan," imbaunya.

Peristiwa kedua adalah pemberontakan di zaman Dinasti Yuan (1271-1368) oleh suku Han terhadap suku Monggol. Pemberontakan terjadi karena suku Han dijajah oleh suku Monggol yang berkuasa kala itu.

Sehingga untuk menggerakan semua suku Han dibikinlah Kue Bulan yang disisipkan kertas berisi pesan agar melakukan perlawanan serentak pada tanggal 15 bulan 8 penanggalan Imlek.

"Dengan demikian, Kue Bulan dapat dijadikan media untuk mengirim pesan agar rasa solidaritas tumbuh untuk melawan penjajah. Untuk masa sekarang perayaan festival Kue Bulan dapat dijadikan semangat persatuan dan kesatuan bangsa untuk melawan korupsi," ujarnya.

Oleh sebab itu, Hasan Karman berharap, setiap ada perayaan etnis Tionghoa dapat diceritakan kembali kepada generasi muda, apa saja asal usul suatu perayaan itu. Karena setiap tradisi Tionghoa banyak mengandung filosofi atau penuh dengan makna dan bangsa akan jadi besar kalau bangsa itu berbudaya.

Pertahankan Tradisi Keluarga

WARGA Tionghoa melakukan sembahyang bulan yang disebut Pai Guek Hua (dialek Tio Ciu), dan Pai Nyiat Fa (dialek Hakka). Pada tengah malam perayaan Festival Kue Bulan atau Cung Chiu Ciek, merupakan satu di antara kebudayaan yang mulai terkikis oleh zaman.

Namun, masih ada warga Thionghoa yang mempertahankannya. Seperti warga Jl Gajah Mada, Gg Gajah Mada III, The Siam Kheng (56). Ia masih mempertahankan ritual Pai Guek Hua atau Pat Nyiat Fa.

Ia mengatakan, tradisi ini sudah dilakukan turun temurun dan merupakan tradisi keluarga atau orangtua. "Ritual ini setiap tahun kami laksanakan dan sudah berlangsung 60 sampai 70 tahun. Sejak orangtua kami masih hidup. Jadi ritual ini termasuk tradisi keluarga," ungkapnya.

The Siam Kheng beralasan kenapa tradisi ini dipertahankan, karena selama melakukan ritual sembahyang pada Dewi Bulan, sangat baik untuk kesehatan dan keselamatan. Sementara anak perempuannya, Lim Ai Cu (33), bertekad akan meneruskan ritual Pai Guek Hua atau Pat Nyiat Fa, yang selama ini digelar oleh orangtuanya.

"Kalau tradisi ini tidak dilanjutkan maka akan berhenti sehingga anak kita tidak akan tahu. Oleh sebab itu, kelak saya akan melanjutkan tradisi orangtua saya ini," ungkapnya.

Ia menambahkan, dengan perkembangan zaman yang serba modern masyarakat mulai meninggalkan hal-hal seperti ini. Padahal ritual ini meruapakan tradisi yang unik sehingga memiliki nilai jual. Melestarikan ritual Pai Guek Hua atau Pat Nyiat Fa termasuk bagian melestarikan budaya Tionghoa, terlepas dari keyakinan akan diberi kesehatan dan keselamatan.

"Saya dari dulu turut melakukan sembahyang dan berdoa pada Dewi Bulan. Dulu saya berdoa minta jodoh dikabulkan, terus minta anak juga dikabulkan. Selama ini apa yang kita doakan selalu dikabulkan, dan terpenting kita minta kesehatan dan keselamatan," ujarnya.

Pedagang Raup Rezeki

FESTIVAL Kue Bulan mendatangkan berkah bagi para pedagang, setiap harinya mendekati hari H, mereka mampu menjual sekitar 300 kotak per harinya.

"Kuenya bermacam-macam dan berbagai jenis. Ada yang menggunakan minyak hewani adapula yang menggunakan minyak sayur khusus untuk yang bervegetarian sehingga bisa dimakan siapa saja. Sedangkan jenisnya ada belasan jenis baik yang diproduksi di Pontianak maupun berasal dari luar seperti Singkawang dan Bengkayang," kata penjual kue bulan, Asua, kepada Tribun, Sabtu (10/9).

Asua yang berjualan di Jl Gajah Mada, tepatnya di samping Pemadam Kebakaran Budi Pekerti ini, mengaku setiap tahun tidak pernah absen menjual kue bulan. Ia memiliki langganan tetap yang tidak hanya berasal dari Pontianak tetapi juga dari luar kota bahkan ada yang dari luar Kalbar.

"Langganan saya sudah cukup banyak, harga satu kotak kue bulan dimulai dari harga Rp 30.000 sampai dengan harga Rp 90 ribu per kotak dan rasanya beragam. Ada yang berisi telur, kacang hijau, sayuran serta ada yang tanpa isi," ujarnya.

Kendati demikian, Asua mengaku pembeli tahun ini tidak seramai dengan tahun lalu. Menurutnya, tahun ini dipengaruhi musim buah yang bertepatan dengan perayaan festival kue bulan sehingga banyak langganan memilih membeli buah daripada kue bulan.

Sementara pewaris Toko Hong Hak, spesialis Kue Bulan di Jl Gajah Mada No 55 Pontianak, Tan Kim Hai, mengatakan Kue Bulan hasil produksinya tidak hanya dipasarkan di Pontianak dan sekitarnya tetapi hingga ke Pulau Jawa.

"Proses produksi Kue Bulan Hong Hak masih menggunakan cara tradisional sehingga mempunyai khas tersendiri. Hal ini yang membuat kue kita digemari oleh pelanggan selain kualitas yang selalu dijaga," tutur Tan Kim Hai, pewaris generasi ketiga ini.

Ia menceritakan, Kue Bulan yang terbuat dari tepung terigu dan dipanggang ini memiliki rasa dan bentuk yang beragam. Di antaranya La Pia atau Gwek Pia yang memiliki tiga rasa Tau Sha (kacang hijau), Cui Cia (buah kundur), dan Bu Tang Chai (sayuran).

Selain itu, ada juga Kho dan Ma Kau Pia yang terdiri dari Go Jin dan Tau Sha, serta ada yang terbuat dari ketan putih dan hitam yang berisi kacang hijau.

Kue Bulan yang mempunyai berbagai bentuk dan ukuran ditawari dengan harga yang bervariasi. Satu di antaranya La Pia dijual dengan harga Rp 90 ribu per kotak yang berisi dua buah. (steven greatness/tribun pontianak)

Tidak ada komentar: