Senin, 19 Juli 2010

Tanjidor, Bertahan di Panggung Hiburan

PONTIANAK, TRIBUN - Pimpinan Grup Tanjidor, Setia Kawan, Ibrahim SPd, mengaku sempat jatuh bangun mempertahankan kesenian tradisional Tanjidor. Ia mengaku kesulitan mencari para pemain Tanjidor. Kalau diibaratkan mati sepuluh yang muncul hanya satu untuk kaderisasi.

"Setahun lalu pernah bubar. Saat itu, nama grupnya, Mustika. Kami bubar karena para pemainnya ada yang meninggal dan pindah. Sementara mencari penggantinya sulit sekali," kata Ibrahim kepada Tribun, Sabtu (3/7).

Kepala SDN 28 Pontianak ini menjelaskan karena terlanjur cinta, ia berupaya bangkit dan membentuk grup Tanjidor baru dengan nama Setia Kawan. Kali ini, ia memberikan sedikit sentuhan untuk menarik minat generasi muda.

"Kita masukan unsur-unsur eletronik. Istilahnya kita kolaborasikan. Antara alat-alat musik Tanjidor tradisional seperti saxophone, terompet, tambur senar, drum bass, dan terombon dengan eletrik seperti gitar melodi, gitar rhythm, dan bass," ujarnya.

Hasilnya, Arif, yang baru berumur 15 tahun ikut serta. Ia memegang gitar melodi. Maka, Tanjidor yang awalnya bernuansa tradisional, kini lebih modern. Sebab ada kreasi lain dengan memunculkan suara-suara dari gitar elektrik. Bahkan, kadang ditambah keyboard.

"Jadi, hampir semua lagu sekarang bisa kami bawakan. Dari mulai yang berirama gambus, sampai lagu-lagu pop. Dampaknya, Tanjidor, bisa dinikmati lebih luas oleh masyarakat," kata Ibrahim.

Ditemui di rumahnya di Jl Husein Hamzah Nomor 89 Pontianak Barat, Ibrahim berharap upaya para pegiat seni Tanjidor didukung oleh niat baik pemerintah untuk melestarikannya.

"Itulah. Di satu sisi pemerintah minta agar kesenian ini dilestarikan, namun pemerintah sendiri tidak ada perhatian sama sekali. Kalau pun saat ini masih bertahan, itu lebih karena kecintaan mereka yang bergabung dalam grup Tanjidor," imbuhnya.

Penuturan serupa diutarakan Pimpinan Tanjidor Tanjung Besiku, Muhammad M Saad Ahmat (62). Ia khawatir jika tidak ada campur tangan pemerintah untuk melestarikannya, Tanjidor tradisional bisa punah.

"Mungkin dalam kurun lima tahun mendatang sudah tidak ada lagi. Sekarang saja sulit cari pengganti para pemain yang rata-rata umurnya sudah menjejak senja. Sudah 50 tahunan," kata M Saad.

Padahal, lanjutnya, Tanjidor di daerah lain terus berkembang karena besarnya perhatian pemerintah setempat.

"Sudah beberapa kali pergantian wali kota, tidak ada perhatian sama sekali. Padahal, kami sudah beberapa kali mewakili Kota Pontianak mengikuti pageralan dan perlombaan dan selalu keluar sebagai yang terbaik," ujarnya.

Pegiat seni yang tinggal di Kampung Dalam Bugis, Jl Tritura Nomor 7 Pontianak Timur ini, menjelaskan syukur ia masih bisa bertahan. Semua berkat dukungan teman-temannya yang masih perduli.

Di antara mereka, ada yang menunjukkan kepedulian dan kecintaannya kepada Tanjidor dengan membelikan alat-alat Tanjidor yang dibutuhkan. Termasuk seragam tradisionalnya. Sebab, alat- alat Tanjidor warisan kakek dan ayahnya sudah berumur.

"Datuk saya sudah main Tanjidor sejak 1935. Alat-alatnya diwariskan ke Bapak, Ahmad Abubakar, dengan nama Grup Tanjidor, Sukaraja. Bapak mewariskannya ke saya," kenang M Saad.

Sebagai seniman Tanjidor, ia mengaku Tanjidor sudah mendarah daging. Dorongan akan kecintaan kepada seni tradisional itulah yang membuatnya berupaya keras mempertahankan kesenian itu.

"Cukuplah untuk makan sehari-hari. Dalam sepekan, biasanya sampai lima kali mentas. Untuk hajatan biasanya Rp 600-700 ribu. Khusus untuk pekan olahraga pelajar 24 Juli ini Rp 1,5 juta," ujarnya.

Terpanggil
Tidak banyak generasi muda yang mau berkecimpung di Tanjidor. Namun tidak bagi Arif (15). Remaja yang baru lulus dari SMPN 9 Pontianak ini justru merasa terpanggil melestarikan kesenian tradisional Tanjidor, Mustika, yang sudah dirintis ayahnya, Ibrahim (53).

"Saya sudah ikut-ikutan Bapak main sejak sebelum SD," kata Arif kepada Tribun, Sabtu (3/7).
Ditemui di rumahnya, Arif yang biasa disapa Lulu ini menuturkan pada umur 13 tahun, baru menyadari kalau Tanjidor itu musik yang bagus. Ia pun tertarik mendalaminya.

Kehadiran Lulu di Grup Mustika memberikan warna baru. Kebetulan, Tanjidor yang dikelola ayahnya merupakan Tanjidor kreasi. Di mana, mengkolaborasikan alat-alat tradisional dengan yang modern. Arif memainkan gitar melodi.

"Saya belajar gitar melodi dari teman. Hanya sedikit-sedikit. Lama kelamaan, saya jadi lancar," ujar Lulu yang punya Grup Nasyid, The Fulltime ini.

Lulu yang mengincar kursi di SMAN 4 Pontianak ini, mengaku tidak pernah malu saat tampil memainkan Tanjidor. Bahkan, ketika pada suatu pementasan disaksikan teman-teman SMP-nya.

"Saya sama sekali tidak malu. Saya bangga bisa main Tanjidor. Teman-teman juga banyak yang bilang bagus," ujarnya.

Ia berharap akan semakin banyak anak-anak muda yang terlibat aktif dalam Tanjidor. Dengan begitu Tanjidor akan lestari dan tidak lekang di telan zaman.

Selain Arif, di grup Tanjidor lainnya, Tanjidor Tanjung Besiku, ada nama Muhammad Alkasa. Usianya baru menginjak 14 tahun. Namun, cucu dari Muhammad M Saad Ahmad ini, sudah piawai memainkan kendang drum.

"Dari 10 anak-anak yang masih kerabat yang saya kumpukan untuk melanjutkan Tanjidor, hanya tiga yang masih bertahan. Satu di antaranya adalah Alkasa. Saya sangat berharap, ia yang akan mewariskan kesenian ini," kata M Saad.

Dewan Kesenian
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Pontianak, Ir Utin Khadijah, mengakui pembinaan terhadap kesenian tradisional di Kota Pontianak menemui sedikit kendala. Kendala itu disebabkan Dewan Kesenian Kota Pontianak yang selama ini menjadi lokomotif pembinaan kesenian tradisional fakum untuk beberapa waktu.

"Kefakuman itu karena adanya peleburan perangkat SKPD. Dahulu, bidang kesenian masuk di Dinas Pendidikan Nasional. Sekarang berada dalam tanggungjawab Dinas Kebudayaan dan Pariwisata," kata Utin Khadijah kepada Tribun, Sabtu (3/7).

Sehingga Ketua Dewan Kesenian Kota Pontianak, Dra Herawati, saat ini berada di lingkungan Dinas Pendidikan. Sementara, seharusnya Dewan Kesenian bernaung di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. "Dalam waktu dekat, saya akan berkoordinasi dengan Ibu Hera untuk membicarakan hal ini," ujarnya.

Utin menjelaskan pihaknya sudah bertemu dan berbicara langsung dengan anggota DPR yang membidangi pariwisata belum lama ini.

"Hasilnya kami akan menghidupkan kembali Dewan Kesenian. Tapi, kepengurusan yang lama akan dibubarkan dahulu, baru kemudian dibentuk pengurus yang baru. Setelah itu, disusun program kerja. Baru kami akan audiensi ke Wali Kota Pontianak. Baru kemudian ke provinsi. Yang jelas semuanya harus sesuai dengan aturan main," paparnya.

Dewan Kesenian, menurutnya, selama ini dibagi menjadi empat komite. Komite 1 (Seni tari), Komite II (Seni Musik), Komite III (Seni Lukis), dan Komite IV (seni Suara). Untuk pembinaan alat musik kesenian tradisional seperti Hadrah, Tanjidor, dan sebagainya masuk dalam komite II.

"Kita akan libatkan mereka yang selama ini berkecimpung di musik tradisional, termasuk Tanjidor dalam kepengurusan Dewan Kesenian. Sebab selama ini mereka yang lebih memahami apa yang paling mereka butuhkan untuk pengembangan Tanjidor," ujarnya.

Utin membantah jika selama ini Pemkot Pontianak tutup mata atau tidak perduli dengan upaya pelestarian Tanjidor. "Kita cukup sering melibatkan mereka dalam berbaggai kegiatan Pemkot Pontianak. Nanti, setelah Dewan Kesenian ini terbentuk, program-program pembinaan itu akan lebih tepat sasaran," katanya.

Ia menegaskan seni musik modern boleh-boleh saja berkembang, namun musik dan kesenian tradisional tidak boleh dilupakan. Sebab, menjadi identitas dan aset budaya daerah. (hsm/*)

Tidak ada komentar: