Selasa, 11 Agustus 2009

Pertemuan

Oleh: Hasyim Ashari

Lama aku tertahan untuk tidak pulang ke tanah kelahiranku, Bekasi. Meski sebenarnya, hasrat untuk bertemu ayah, ibu dan ketiga adikku membuat dadaku penuh sesak oleh rindu. Belum lagi kenangan masa kecil yang tercecer pada jalan setapak, melekat pada pematang sawah, pada angin dan gerai tawa penduduk desa yang renyah, segar dalam ingatan.

Seolah tidak pernah lelah memanggilku kembali. Untuk sekedar singgah atau bahkan mencumbui mereka sepanjang usia tidurku. Tentu saja, karena seperti aku menyimpannya, mereka juga memiliki lembaran indah bersamaku.

Setiap saat, setiap nafas yang kuhela dan pandangan yang kubuang. Namun kesibukanku sebagai wartawan, nyaris tidak memberikan ruang yang cukup untuk pulang. Kecuali kemarin, ketika pimpinan memintaku mengikuti lokakarya Peace Jurnalisme di Surabaya.

Peace Jurnalism adalah sebuah pendekatan yang menempatkan jurnalis sebagai juru damai di daerah konflik. Aku tidak punya kata untuk menolak. Karena lokakarya tersebut, sangat berarti untuk menopang tugas-tugas peliputanku kelak. Apalagi Pontianak dikenal sebagai daerah yang memiliki potensi konflik cukup tinggi.

Tujuh kali kerusuhan antar etnis. Ratusan nyawa tak berdosa terkubur sia-sia. Dan, perih yang memilukan itu, nyaris menganga setiap tahun. Lebih dari itu, aku memang memerlukan jeda untuk membebaskan diri dari aura andrenalin.

Tugas peliputan dan deadline yang tidak kenal kompromi, telah menyisakan guratan didahiku, menyerupai alur anak-anak Sungai Kapuas. Aku masih dikerubung keraguan, sesaat sebelum pesawat yang membawaku dari Surabaya, landing di Cengkareng.

"Singgah ke Bekasi, atau langsung ke Pontianak" gumamku. Kulirik jam di lobi bandara, pukul 15.30 WIB. Sementara pesawat ke Pontianak take off jam lima sore. Aku menuju cafe, kemudian memesan secangkir kopi hangat dan Dunkin Donnuts.

Bekasi, kota itu selalu membangkitkan kenangan pada kekasihku. Tujuh tahun yang lalu. Ketika kebesaran cinta melebihi tubuhku yang ringkih. Sebelum keputusan menyakitkan lahir, dibidani oleh keadaan yang melunjak. Sebelum cinta menyerah oleh dua keinginan yang berlainan. Dan pelukan hangat tidak lagi mampu menyatukannya.

Meskipun aku tidak pernah merasa ditinggalkan, karena ku tahu ia tidak sungguh-sungguh ingin melakukannya. Aku tidak pernah berhenti mencintainya. Pribadinya selalu kukagumi dan tak mampu kutolak, hadir setiap saat.

Bahkan hingga aku menjauh ke Pontianak, bahkan jika dia sedang bercumbu dengan laki-laki lain sekalipun. Hatiku mengingatnya, karena itu dia selalu hidup. Tidak pernah jauh apalagi menghilang.

Sebaliknya, namanya menjadi bunga yang menerbarkan aroma wewangian putri-putri khayangan, tumbuh subur di lubuk hatiku. Aku merasakannya. Dia membuatku mabuk kepayang. Jika aku singgah, kuasakah aku menolak perasaan seorang laki-laki? Haruskah terkoyak kembali luka lama yang merahnya membakar seluruh emosiku?

Belum setengah kopi kureguk, ketika langkah kaki gemeretak mendekat. Tapi aku terlalu lelah untuk terusik karenanya. Sampai kudengar suara yang nadanya dawai nirwana dan nyanyiannya adalah senandung dewa-dewi. Ketika mereka rindu redam.

"Darma? Hei..sedang apa di sini?," suara itu menohok tepat dijantungku. Aku rasa dadaku gemetar. Gemetar oleh pertemuan yang sudah lama kuhindari. Gemetar seperti terbangun dari mimpi menakutkan.

Tapi aku tidak bermimpi, sama sekali tidak. Laras benar-benar berdiri di sampingku. Menemukanku bulat-bulat ketika aku menjaga jarak. Meski aku sebenarnya tidak ingin menghindar. Keadaan yang memaksaku.

Tapi ternyata Tuhan selalu tahu, kapan memisahkan dan mempertemukan. Tiba-tiba aku seperti lahir kembali, setelah perasaan cemas membunuh keberanianku pelan-pelan.
"Laras !!. A..aku menunggu pesawat ke Pontianak. Laras sendiri sedang apa?,"
"Laras kan memang sering ke Bandara. Biasa antar anak-anak berangkat ke Singapura. Ini juga baru selesai check in,"
"Kamu...sudah punya anak? Berapa?" tanyaku penuh selidik. Melirik cincin di jari manisnya.

"Becanda kamu. Anak-anak itu maksudnya Tenaga Kerja Wanita. Dua tahun terakhir, Laras bekerja di sebuah PJTKI sebagai tutor bahasa inggris dan mengurusi keberangkatan. Kantornya di di Belakang Terminal Kampung Rambutan. Jadi, hampir setiap hari Laras ke bandara. Ngomong-ngomong tidak singgah ke Bekasi?"

"Sebenernya, aku ingin sekali. Tapi ..."
"Takut bertemu Laras...!," dia selalu begitu. Selalu bisa membaca isi kepalaku.

Ya Tuhan, tatapan itu masih bijak. Senyumnya mutiara dan wajahnya seteduh cemara. Kecuali kejelitaannya yang semakin dewasa, semua masih belia seperti tujuh tahun lalu, ketika aku melumatnya dengan cemas.

Ketakjuban itu dan pesona kesederhanaanya adalah sisi lain keajaiban yang kutemukan dari diri seorang perempuan. Tidak, emosiku harus kutekan sekelebat kilat di tengah prahara. Edan!
"Laras. Maaf aku harus chek in. Sebentar lagi pesawatku berangkat. Senang bertemu denganmu," aku tergopoh menyabet ransel.

Perasaanku berkecamuk. Rindu dan perih menjadi satu. Walau sebenarnya, aku ingin menatap wajahnya sepanjang hari ini. Jika saja, dia bukan milik orang lain dan tidak di tengah keramaian, aku pasti sudah memeluknya, hingga tulang belulangnya luruh dan bersatu dengan kulit serta dagingku. Dia lantas menghidupi separuh sisa hidupku.

"Dar..tunggu sebentar. Laras ingin menjelaskan semuanya,"
"Simpan saja penjelasan itu. Aku sudah tahu semua. Aku memakluminya, karena itu aku tidak pernah menaruh sakit hati, apalagi dendam. Waktu yang mengajariku demikian. Aku sungguh tak ingin mengusik bahagiamu. Sudahlah..!" aku bergegas. Meninggalkan Laras yang berlari kecil memburu langkahku.

"Dar..tunggu," Laras meraih lenganku. Jemarinya dingin, bergetar.
"Kamu yang mengajari Laras untuk jujur dan mendengarkan apa kata hati. Laras tahu perasaan Darma, jadi jangan membohongi diri sendiri,"

"Laras tahu apa tentang perasaanku. Mengapa baru sekarang. Bagaimana dengan tujuh tahun yang lalu. Mengapa Laras menutup hati, hingga seluruh pengorbanan, pengertian, dan kesetiaan yang kutanam, tidak mampu membukanya,"

"Tidak bolehkah orang membuat satu saja pilihan keliru dalam hidupnya. Sementara, kekeliruan itu yang kemudian mengajarinya bagaimana menjadi dewasa. Karena itulah, Laras ingin menebusnya Dar. Sekarang.! Har ini.!

Aku terperanjat. Menatap bibirnya yang bergetar. "Laras kuatir besok Laras sudah benar-benar menjadi milik orang lain dan kita tidak punya kesempatan lagi memperbaikinya. Jika tidak ingin memulainya lagi, maka akhirilah ini dengan indah. Pikirkanlah. Sehari saja. Laras tidak minta apa-apa, hanya seluruh waktu dalam satu harimu."

Matanya basah. Aku tahu Laras, dia tidak pernah main-main. Hatiku terenyuh. Tidak pantas memang aku bersama tunangan orang lain, meskipun dia mantan kekasihku. Lebih dari itu, karena akupun milik juwita yang sedang menunggu. Yang digenggamannya kecemasan dan harapan.

Tapi, aku masih mencintai Laras. Bahkan, kadarnya tidak berkurang. Malah bertambah sayangku. Jarak dan waktu, telah memupuknya menjadi kasih. Sore itu aku membatalkan penerbangan pulang.

Aku meraih jemari Laras dan menuntunnya ke dalam bus kota, ketika senja jatuh di Jakarta. Sinarnya keemasan dan warnanya kuning gading berebut ruang dengan pekat di ufuk timur. Gedung-gedung pencakar langit, takzim bertengadah menyambut malam, sebelum kerlip temaram neon menambah kemegahannya.

Senja ini, keindahannya masih seperti tujuh tahun yang lalu. Ketika kami berdekapan dalam seragam abu-abu. Sejak saat itu, kami selalu menunggu datangnya senja. Dimanapun ia menjatuhkan diri.

"Darma..satu senja saja sudah membekukan seluruh cinta yang Laras bina selama empat tahun bersama Doni. Laras semakin yakin, kalau cinta sejati itu benar-benar ada. Laras juga percaya bahwa setiap manusia memiliki pasangan jiwanya. Laras tahu cinta sejati tidak harus mengorbankan cinta orang lain. Sementara pasangan jiwa, kebijaksanaannya melebihi simbol-simbol ikatan perkawinan. Laras boleh jadi melahirkan lusinan keturunan laki-laki lain, tapi kenyataan tidak terbantah, kalau kamulah sebelah jiwa Laras,"

Pernyataan Laras berpacu dengan bus yang melesat menyisir belantara Jakarta menuju timur. Dia menyandarkan kepalanya dibahuku. Sementara aku melepaskan bebanku pada kelembutan sikapnya, pada harum dan kehangatan kulitnya dan pada rambutnya yang bergelombang.

Kami berbicara penuh makna, tanpa kata, tanpa penjelasan, tanpa pertanyaan. Kami sudah mengerti tanpa harus memberi pengertian. Sehingga tidak ada lagi yang harus diungkapkan. Hanya nafas cinta yang memburu. Seperti tujuh tahun yang lalu.

Sepanjang senja itu, aku tidak hanya memaafkan Laras, tapi juga mengampuni keadaan. Dan bila saja Tuhan memanggilku saat ini, aku ingin diserakan bersama gugusan gemintang. Bersama cakrawala menjadi pandu bagi seluruh sejoli yang sedang kasmaran, di bumi.

Juwita, aku tahu ini penghianatan atas percayamu. Tak kusangsikan kau adalah kekasihku, istriku, hidupku selamanya. Tapi Laras, jiwanya sudah menikahi jiwaku, jauh sebelum kita bertemu. Aku tidak mampu menolak, meski untuk satu hari. Setelah itu, akan kuserahkan semua milikku di bawah panji-panji kesetiaanmu. Maaf!

Jakarta, 4 Maret 2003

Tidak ada komentar: