Kamis, 21 Agustus 2008

Sepeda NSU


Percaya atau tidak sebuah bahan olok-olokan ternyata menjadi kenyataan. Aku punya teman , namanya Ateng sesama pegila sepeda tua. Kalau kami sedang berjalan bersama naik sepeda, begitu melihat sepeda melengkung aku teriaki NSU, NSU. Rabu (20/8) aku benar-benar menemukan sepeda Neklersummer (NSU).

Sepeda buatan Jerman itu teronggok di sebuah rumah tua di Jl Kemakmuran, Pontianak. Pemiliknya, Brawijaya (76) yang semasa muda dikenal sebagai penjual kelapa muda. Sebagai bukti, dia masih menyimpan foto di sebuah surat kabar lokal yang memuat fotonya sedang mendorong sepeda penuh kelapa di Jl Jenderal Urip, sekarang SMP Negeri 1 Pontianak, 30 tahun silam.

Sekitar pukul 15.00 WIB, aku pulang dari Kantor Komisi Penyiaran dan Informasi Daerah (KPID) Kalbar di Jl Sutan Syahrir, Kotabaru. Karena waktu masih senggang aku tidak memakai motor, melainkan menggunakan sepeda BSA kesayangan. Begitu melintas di Jl Kemakmuran, mataku secara tidak sengaja menatap sepeda warna biru muda, bersandar di sebuah pohon Jambu Air. Awalnya aku menduga sepeda itu sepeda sport biasa. Tapi, lengkungannya sepeda berukuran 28 itu aneh.

Terdorong penasaran, aku memberanikan diri ke rumah yang terbuat dari papan kayu itu. Aku tidak bisa langsung masuk karena pagarnya terkunci rapat. Aku mengucapkan salam dan seorang lelaki tua datang menghampiri. Kepalanya botak, keriput bergelayut di kuit wajahnya yang kecoklatan. Dia hanya mengenakan celana pendek warna merah. Dari pinggang hingga dada tanpa penutup sehelai benangpun.

"Cari siapa," tanyanya.
"Permisi Mbah. Mau lihat sepeda. Boleh kah," jawabku sambil menunjuk sepeda di samping rumah.
"Apa,"
Aku mengulangi lagi perkataanku. Tapi dia tetap tidak mendengar.
"Apa," tanyanya lagi.

Ternyata lelaki tua yang kemudian kuketahui bernama Brawijaya itu, sudah kehilangan sebagian pendengarannya. Setelah menjelaskan dengan suara agak keras, dengan ramah dia mempersilakanku masuk. Aku bergegas karena tidak sabar mellihat jenis sepeda apakah itu. Beberapa bagian batangnya sudah dilas karena keropos. Tapi masih jelas kalau itu sepeda
NSU. Yes!! teriaku dalam hati.

Pertanyaannya, bagaimana sepeda buatan Jerman itu, bisa sampai ke rumah Mbah Brawijaya. Dengan kalimat terbata-bata, Mbah Bra, begitu aku memanggilnya mengajakku masuk ke dapur. Kondisi dapurnya jauh dari bayanganku. Dinding dan lantainya banyak yang rusak karena kayunya sudah rapuh.

Di dapur, istri Mbah Bra, Marsitah, sedang duduk di pinggir tungku. Dia menunggu nasi yang dinanak dengan cara liwet (tidak menggunakan langseng). Sementara itu, dia sibuk menyiapkan ikan asin untuk makan sore mereka hari itu. Sajian yang mereka makan sehari-hari.

"Beginilah. Sehari-hari kami hanya tinggal berdua. Anak sudah berkeluarga semua," kata Mbah Bra lirih.
"Jangan hiraukan dia," ujar Mbah Bra sambil melirik wanita yang sudah memberinya empat orang anak.

Marsitah memang terlihat sehat. Tapi nenek yang hanya mengenakan kemban itu, kerap berbicara sendirian. Dia sering melamun di tepi jendela. Rupanya, sudah dua puluh tahun ingatannya terganggu. Warga sekitar bahkan menyebutnya sudah gila.
"Kalau sedang marah, semua barang dibantingnya sampai pecah. Sudah tak terhitung lagi berapa piring dan gelas yang hancur," papar Mbah Bra menyembunyikan gundah di hatinya.

Mataku menyapu seluruh sudut dapur. Di dindingnya puluhan kantong plasti tergantung berjejer. Entah apa isinya. Ada tumpukan kayu bakar, seng yang diikat, topi polisi kusam, dan bangkai sepeda Rambler Dames yang hanya tinggal batang dan setang. Ada juga kursi kayu tempat Mbah Bra melepas lelah.

Sebuah pelita minyak tanah dari botol Kratingdaeng, jatuh. Lenganku menyenggolnya. Aroma minyak tanah bercampur dengan bau comberan menyengat dari belakang rumah.
Nenek Marsitah bangkit dari duduknya. Dia ternyata masih mampu memasak. Dia tahu kalau nasi dalam panci sudah matang. Aku menatap dua suami istri yang terlihat lelah menghadapi beban hidup itu.

Serta merta, aku teringat Abah dan Emak di Bekasi. Entah bagaimana keadaannya saat ini. Sudah lama aku tidak bertemu mereka, termasuk menelponnya. Saat itu juga, aku mengambil handphone dan menekan nomor telepon adikku Zidun. Aku mendadak kangen dengan Abah dan Emak. Lebih dari itu, aku jadi membayangkan, bagaimana hari tuaku kelak, kalau anak-anak meninggalkan aku dan istriku. Duhh...Gusti,..tidakkah sepi rasanya..

"Mbah sudah biasa begini," ujar lelaki itu.
Kemballi ke sepeda, Mbah Bra mendapatkan sepeda itu tahun 1960-an. Saat itu, dia yang sering melintas di depan Gereja Katedral, Pontianak di dekat Lapangan Bola Keboen Sajoek (kini-PSP) dipanggil seorang suster (Biarawati). Rupanya suster tersebut kerap melihat Brawijaya muda, memikul kelapa muda keliling kota.

"Dia bilang ke saya, mau sepeda apa tidak. Kalau mau ada sepuluh sepeda yang akan dilelang. Sepeda-sepeda itu tidak dipakai lagi karena dri Jerman sudah datang motor Dark Klein Wunder (DKW). Saya bilang mau," paparnya.
Mbah Bra kemudian melihat sepeda-sepeda yang masih bagus itu. Dari 10 unit, dia hanya mengambil dua saja. Delapan lainnya diambil orang lain. Harganya Rp 30 ribu per unit.

3 komentar:

RUSNAN mengatakan...

sy juga sneng speda tua ,saya ingin skali speda nsu . ....blom dapet .
isi crita anda sangat mengharukan ,sy suka skali, dan berfikir sama. bagaimana kelak bila mengarungi hari tua nanti. itu tergantung pada diri kita dan di suport oleh apa yg tleh kita lakukan semasa hidup .

gila^ontel mengatakan...

iya om rusnan..
makasih udah mampir ke blog saya yang jauh dari sederhana ini..
smoga kita bisa beruat yang terbaik semasa hidup...
ngomong2 udah dapat kah NSU-nya..
saya malah ingin motor antik sepertinya BSA di depan rumah tuh he he he..
salam

gila^ontel mengatakan...

iya om rusnan..
makasih udah mampir ke blog saya yang jauh dari sederhana ini..
smoga kita bisa beruat yang terbaik semasa hidup...
ngomong2 udah dapat kah NSU-nya..
saya malah ingin motor antik sepertinya BSA di depan rumah tuh he he he..
salam