Kamis, 01 April 2010

Pertemuan setelah 14 Tahun


Rabu (24/3), sekitar pukul 11.00 WIB, handphone-ku berbunyi, pertanda ada pesan singkat masuk. "Ass.wr.wb. Syim, ane udah di Pontianak. Robby," begitu isinya. Aku terperanjat. Bujug busyet, si Robby! ya siapa lagi kalo bukan Robby J Prihana, Ketua OSIS SMAN 2 Bekasi era 1992-1993.

Dia ke Pontianak karena ada urusan dinas menyiapkan kedatangan Wapres Boediono dan sekitar delapan menteri ke Kalbar. Rombongan berada di Pontianak, untuk meresmikan dan memberikan bantuan sejumlah proyek pembangunan pada 26-27 Maret.

Ketika Robby menjabat Ketua OSIS, aku adalah Sekretaris OSIS. Namun, ketika di Pramuka, Aku Pradana (Ketua), Robby adalah sekretarisku. Saat acara-acara OSIS, biasanya Robby minta aku membawakan map. Sebaliknya, giliran Robby yang kuminta membawakan map ketika ada kegiatan pramuka.

Dua tahun terakhir, aku baru tahu kalau Robby ternyata bekerja di Sekretariat Wakil Presiden. Urusan protokoler menjadi satu di antara tugas yang melekat dalam pekerjaannya. Termasuk ketika Wapres masih dijabat Sang Maestro Jusuf Kalla (JK).

Tahun 2008, ketika JK ke Pontianak, rupanya Robby juga mencariku di Universitas Tanjungpura. Dari seorang teman lama (Deddy Wibowo alias Komar alias Pablo), ia mendapat informasi kalau aku dosen di almamater ku itu. Ha ha ha ha....tampang begini jadi dosen, kagak dah! Saat itu, Robby kehilangan nomer kontak karena aku ganti nomor ponsel.

Maka, kami tidak bertemu. Padahal, satu di antara proyek yang diresmikan JK saat itu adalah Gedung Graha Pena, kantorku yang lama. Lebih lucu lagi, karena saat itu, aku juga menyantap hidangan Paspampres, setelah keliru mengambil jatah makan siang di Hotel Grand Mahkota. Kebetulan Kompas Gramedia, tempat kerjaku yang baru, sedang menggelar kegiatan Journey to Exellence di hotel yang sama.

Sampai akhirnya, facebook mempertemukan kami. Meski tidak terlalu intensif balas membalas status, namun kami tahu nomor masing-masing dari laman persahabatan tersebut.

Sebelumnya, aku tahu Wapres Boediono bakal ke Pontianak drai rekan-rekan redaksi Tribun Pontianak. Namun, tidak menyangka kalau Robby ikut juga. Jadi, Rabu itu, meski ingin sekali bertemu, aku tidak bisa segera bertemu Robby. Pekerjaan di kantor benar-benar tidak bisa ditinggalin. Sementara Robby juga sibuk menyiapkan segala sesuatunya. Mulai protokoler acara, hingga survei lokasi yang akan didatangi Boediono.

Padahal, aku sudah tidak sabar ingin mendengar dan berbagai kisah dengannya. Mungkin lebih tepat melepas kangen. Kami berpisah setelah lulus pada 1996 dan tidak pernah bertemu lagi setelah itu. Aku harus merantau ke Pontianak karena lulus UMPTN di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tanjungpura. Robby, aku tidak tahu ada di mana. Belakangan dia cerita, kuliah di FISIP Universitas Padjajaran.

Waktu yang kami sepakati akhirnya datang. Waktuku cukup luang, dan Robby punya kesempatan di sela-sela jadwal kunjungan yang padat. Aku menjemputnya di lobi Hotel Kapuas Dharma, karena memang ia dan rombongan menginap di sana. Setibanya di lobi, aku menelponnya untuk segera turun.

Di kepala ku muncul berbagai pertanyaan. Apakah Robby yang akan kutemui ini adalah Robby yang ku kenal dulu? atau dia sudah berubah. Sambil menunggunya, aku berbincang-bincang dengan beberapa relasi dari Kabupaten Kubu Raya. Mereka adalah sarjana pelopor untuk program PNPM Mandiri.

Tak berapa lama, sosok yang kutunggu muncul dengan senyum khasnya. "Wah tambah buncit neh," kata Robby melempar senyum. Aku membalasnya dengan ujaran serupa. "Eloe juga Bay (aku dan teman-teman di SMA memanggilnya Obay). Tambah gemuk,"

Aku mengajaknya ke sebuah sudut kota, tepatnya di Jl Gajahmada Pontianak. Di sana memang terkenal dengan jajanan pinggir jalan. Ada begitu banyak warung kopi tempat nongkrong. Dari mulai pelajar, pejabat, pengangguran hingga para pewarta. Kami memilih kursi tepat di depan Hotel Orchardz.

Sambil mencicipi kopi Pontianak, Robby bercerita tentang pahit, manis, dan getirnya perjalanan hidup yang ia lalui. Sebuah cerita yang ternyata tidak jauh berbeda dengan yang kualami. Jujur, aku terkejut dengan semua penuturannya. Robby juga begitu.

Kami bicara ngalor ngidul. Dari kisah di SMA, bagaimana susahnya kuliah, pekerjaan, hingga urusan keluarga. Aku dan Robby sama-sama terkejut karena perjalanan hidup selama 14 tahun, nyaris sama. Kami pun mengambil hikmah masing-masing untuk menjadikan kualitas hidup ini jadi lebih baik.

Aku mendapat energi baru dari sosok Robby yang baru saja kutemui. Ia jauh lebih dewasa, lebih bijak, lebih kebapakkan, lebih religius, dan pribadi yang begitu menikmati hidup. Di luar itu, ia tetap sosok Robby yang ku kenal 14 tahun lalu. Robby yang tidak kehilangan selera humor dan rendah hati. Robby yang idealis karena memang dibesarkan oleh kemapanan organisasi.

Robby kembali ke Jakarta, Sabtu (27/4). Sampai kami berpisah, kami masih tidak percaya bahwa bisa bertemu dan bertatap muka setelah sekian lama tidak bertemu. Dari sana, kami yakin kesempatan untuk bertemu teman-teman lainnya, pasti mimpi yang bisa jadi kenyataan. Terimakasih Tuhan!

Tidak ada komentar: