Kamis, 17 Desember 2009

Harley Davidson WLC, Kagak Jodoh


Dapat si Villiers dalam keadaan mengenaskan. Tidak disangka-sangka. Saya pernah keliling pedalaman Kalbar hanya untuk mencari motor antik. Ada informasi sedikit saja saya pasti berangkat. Termasuk bela-belain izin dari kantor yang lama.

Daerah Bengkayang, Sanggau, Sintang, Singkawang, dan Ngabang pernah saya telusuri. Ada sih motor tua tapi, kebanyakan Jepang. Itupun tidak tua-tua amat. Paling banter Suzuki GT 125, GT 380, CB 125, dan Binter "KZ 200" Mercy.

Untuk Binter Mercy, saya sempat menemukan beberapa motor untuk anak-anak Black Jack, yang notabene pegila motor Chopper di Pontianak. Bahkan di Rasau Jaya, Kabupaten Kubu Raya, saya menemukan Mercy 250 cc. Seumur-umur saya baru pertama itu melihat jeroan mesin Mercy dan tertulis 250 Cc.

Sangat sulit menemukan motor-motor tua buatan Eropa di Kalbar. Informasi yang saya terima dari beberapa rekan yang sampai saat ini belum membuahkan hasil di antaranya adalah ada motor tua teronggok ditumpuk bersama sabuk kelapa (Batu Buil, Sintang), BSA M21 (Sompak, Ngabang), Norton zespan (Sanggau, keuskupan), HD WLC (Entikong, keuskupan), BSA Twin (Sanggau Permai, Sanggau), BSA C11 250 cc (Sintang), BSA 250 cc (Jeruju, Pontianak), dan terakhir HD WLC serta NSU Quicky (Pontianak).

Dicari kesana-ke sini, rupanya hanya HD WLC, NSU Quicky (Pontianak) dan BSA C11 250 cc Sintang yang infonya valid. Sayang untuk BSA C11, harganya tidak cocok. Sementara untuk HD WLC dan NSU Quicky Pontianak, sudah beberapa kali saya tawar tidak mau dilepas.

Cukup lama saya bersabar menunggu agar HD WLC bisa saya tebus. Hampir tiga tahunan saya tunggu. Selama itu, beberapa kali saya ke rumah yang punya. Namun, tetap tidak di jual. Motor dalam kondisi lengkap dan orisinil, malah masih ada bensin di tangkinya.

Di simpan di sebuah garasi yang terbuat dari kayu di depan rumah. Saking beratnya si HD, garasi itu miring tidak mampu menahan beban. Saya sendiri heran, ternyata ada WLC 750 CC di Kalbar. Kabarnya ada dua WLC, yang satu punya Pak Mal anggota Motorhead. Namun, saat motor sudah sehat dan dibawa jalan-jalan, ada PM yang menahannya. Motor buatan Amerika itu pun hingga kini tidak ada kabar beritanya. Konon kini WLC itu sudah dimiliki seorang anak jenderal di Jakarta.

Sekilas pasti tidak ada yang menyangka, rumah tua yang seluruhnya terbuat dari kayu itu, dan ada di pemukiman nyaris kumuh, ada harta karun tidak terhingga. Ya..warisan otomotof dunia yang banyak diincar pegila motor tua. Apalagi motor dalam kondisi yang orisinil pula. Bahkan, katanya motor yang sudah ditinggal pergi pemiliknya itu, sempat hidup dan dipakai keliling kampung.

Sambil menunggu pemiliknya ikhlas ditebus rupiah, saya tidak menyangka bertemu Villiers 200 Cc. Belakangan, setelah Villiers hidup, saya terpaksa menjualnya karena butuh uang untuk tambah-tambah membeli rumah. Sedih sih sedih, tapi hanya itu pilihannya. Apalagi masih ada harapan bisa memiliki HD WLC yang saya impikan siang malam.

Belakangan saya baru merasakan betapa tidak enaknya hidup tidak mengelus, melihat, dan menaiki motor antik. Hampa, tak bersemangat, seperti sebagian dari jati diri saya hilang entah kemana. Apalagi melihat rekan-rekan lainnya konvoi dan touring, plus kumpul bareng waktu ada acara temu bikers.

Sejak bekerja saya memang sudah akrab dengan motor tua. Diawali dengan Vesva Super 1966, kemudian Sprint 1978, Binter Mercy 1981, Binter Mercy Cobra 1984, dan Suzuki GT 125 Cc. Disusul Villiers 200 Cc. Saya hanya berdoa sambil sedikit-sedikit berupaya bisa memiliki motor Eropa lagi. Motor yang saya impikan adalah BMW R25 dan BSA B31 350 Cc. Buat brother yang baca tulisan ini, doain yah he he he he..biar cepat terkabul! Amin.

Di tengah asa memiliki WLC 750 Cc, saya kembali menelan kekecewaan. Sebulan lalu, saya mampir lagi ke rumah tersebut. Tentu saja untuk kembali menanyakan apakah motor itu akan dijual atau tidak. Saya kaget karena di garasi hanya ada Honda Supra 125.

WLC sudah tidak ada lagi! Yang punya rumah menuturkan motor itu sudah dijual. Ia enggan menyebut harganya. Hanya, ia bilang disamping uang tunai, Supra 125 itu juga untuk alat tukar si Tujuh Setengah. Sampai sekarang saya tidak tahu siapa yang akhirnya menjadi orang paling beruntung di dunia itu. Yang saya tahu, perasaan saya mirip lagunya Olga Syahputra...hancur hancur haaatiku!

1 komentar:

Ivo Dangga mengatakan...

Boleh tau harga motor yg pernah admin tunggangi??
Hehehe