Kamis, 22 Agustus 2024

Sisi Lain Menlu Retno Marsudi: Dari Joget, Tanpa Pengawal, hingga Keras Soal Prinsip

AUCKLAND – Menteri Luar Negeri Retno Marsudi jadi sosok sentral di Pacific Exposition 2019, selain Dubes Indonesia untuk Selandia Baru, Tantowi Yahya.

Bagaimana tidak, sejak Pacific Exposition 2019 dibuka Jumat (12/7/2019), agenda yang harus dihadiri Retno Marsudi benar-benar padat.

Ia harus keluar masuk forum, menggelar pertemuan bilateral dengan delegasi Negara-negara Pacifik, hingga melayani dengan sabar seluruh pertanyaan wartawan.

Retno juga kerap membawa sejumlah dokumen, termasuk didampingi terus oleh Desra Percaya, Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika.

Namun, siapa sangka sosok yang sepintas terlihat amat serius ini, punya sisi lain yang mungkin tidak banyak orang tahu.

Apa saja?



Tantowi Yahya: Dubes Entrepreneur di Balik Sukses Pacific Exposition 2019

AUCKLAND -  Perhelatan Pacific Exposition 2019 yang diinisiasi Pemerintah Indonesia berlangsung sukses. 

Banyak delegasi yang dibuat terkaget-kaget, bahwa Indonesia bisa menggelar ajang strategis yang mempertemukan 20 negara Pasifik ini, duduk bersama untuk pertama kalinya.

Pasifik Eksposisi, tidak hanya meneguhkan posisi diplomasi Indonesia di Negara-negara Pasifik, namun juga melahirkan upaya konkrit kerjasama di bidang kebudayan, perdagangan, investasi, dan pariwisata.

Yang lebih penting dari itu, event ini juga mengurai benang merah soal akar budaya, sosiologi dan antropologi Negara-negara Pasifik sebagai ras Melanesia. Sosok di balik suksesnya pagelaran Pacific Exposition adalah Dubes RI untuk Newzealand, Tantowi Yahya.

Bagaimana Dubes “entrepreneur” ini memiliki ide Pasifik Eksposisi hingga mewujudkannya, berikut wawancaranya:



Mengenang Viryan Aziz! Untuk Hasyim Ashari Yang Bukan Ketua KPU RI

Hari Raya Idul Fitri 1443 Hijriah kemarin, saya menerima banyak ucapan Selamat Hari Raya Idul Fitri. Khususnya via aplikasi WhatsApp (WA).  Namun, ada satu ucapan yang agak nyentrik. Beda dari yang lain.

Ucapan itu datang dari mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Viryan Aziz. Kira-kira tulisannya begini: "Assalamualaikum Wr Wb Hasyim Ashari yang bukan Ketua KPU dan Keluarga.

Di Hari Idul Fitri 1443 H, izinkan kami menyampaikan taqoballahllahu Minna Wa Minkum. Mohon dimaafkan lahir dan batin.

Viryan menggaris bawahi kalimat Hasyim Ashari yang bukan Ketua KPU. Sehari sebelumnya, saya mengunggah status di Facebook tentang Ketua KPU RI, Hasyim Asyari. Isinya, bahwa saya dan Ketua KPU RI punya kesamaan nama, namun rezekinya berbeda.

Karena kesamaan nama itulah, banyak KPU Provinsi, Kabupaten, dan Kota di seluruh Indonesia, yang men-tag akun media sosial saya.  Terutama di Instagram. Tak terhitung jumlahnya teman-teman KPU yang menandai, atau minta berteman di IG.

Mungkin mereka mengira, saya adalah Ketua KPU Hasyim Asyari. Nama kami memang nyaris sama. Hanya beda di huruf H dan Y. Saya Hasyim Ashari, dan Ketua KPU RI Hasyim Asyari.



Rabu, 21 Agustus 2024

Menjadi Penguji Yang Bijak Dalam Uji Kompetensi Wartawan

Oleh: Hasyim Ashari (Pemred Tribun Batam)


PENGANTAR

Era Reformasi Tahun 1998, menjadi titik tolak bagi perkembangan pers di Tanah Air. Zaman di mana kebebasan menyampaikan pendapat ini menjadi sebuah kebutuhan, membawa konsekuensi logis pada arus perubahan ke segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Apalagi Presiden BJ Habibie saat itu, berupaya melucuti citra Indonesia sebagai negara otorianisme di bawah Presiden Soeharto, menjadi negara yang demokratis. Dalam era demokratis ini juga, keran kebebasan pers dibuka seluas-luasnya yang ditandai dengan dibubarkannya Kementerian Penerangan.

Lembaga ini, kerap menjadi momok bagi industri media, karena memiliki kewenangan untuk melakukan pembredelan terhadap media yang dinilai oposan terhadap kekuasaan selama era Orde Baru. Untuk melindungi perusahaan pers dan pekerja pers, maka lahir Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Dalam pertimbangannya, UU Nomor 40 menekankan bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat, memperoleh informasi sebagai hak asasi yang sangat hakiki, pers sebagai wahana komunikasi massa, bahkan ikut dalam menjaga ketertiban dunia.

Maka, jadilah di era reformasi ini media massa bak jamur di musim hujan. Semua pihak bisa  mendirikan surat kabar, majalah, tabloid, radio, televisi, termasuk dalam bentuk website. Siapapun bisa menjadi wartawan.

Di tengah euphoria tersebut, dalam perjalanannya, tidak semua perusahaan pers dan wartawan, memegang teguh UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Di tengah situasi tersebut, muncul kekhawatiran pers yang bertanggungjawab berubah menjadi pers yang kebablasan.