Minggu, 18 Juli 2010
Meneladani Kearifan Gus Dur via Kang Sobary
PONTIANAK, TRIBUN - Lugas, ceplas-ceplos, dan penuh warna. Itulah refresentasi dari sikap Mohamad Sobary dalam bedah buku Jejak Guru Bangsa: Mewarisi Kearifan Gus Dur, di Pendopo Rumah Dinas Wakil Walikota Pontianak, Sabtu (17/7).
"Saya tidak menjual popularitas Gus Dur (KH Abdruahman Wahid. Red). Tapi, saya terpanggil menulis buku ini setelah ada begitu banyak buku tentang Gus Dur yang lahir dari penilaian penulisnya. Saya membayangkan berjalan di belakang Gus Dur. Mencatat apa yang dipikirkan dan dirasakannya. Inilah "kitab" tentang Gus Dur menurut Gus Dur," papar Mohammad Sobary yang mengaku hanya butuh waktu sepekan untuk menyelesaikan bukunya.
Pria yang akrab disapa Kang Sobary juga memaparkan bagaimana Gus Dur memelihara humor untuk menandai kearifan hidup. "Gus Dur pernah berseloroh tentang penyakit matanya. Untung sakit, jadi tidak bisa melihat gambar-gambar porno," ujar Kang Sobary disambut riuh peserta bedah buku yang berasal dari berbagai etnis, organisasi, dan lintas agama.
Sobary juga memaparkan bagaimana Gus Dur sebagai remaja awal yang baru tumbuh. Kekecewaan terhadap kematian ayahnya, menjadikan Gus Dur si luka hati yang suka rebellious dan tidak perduli menabrak batas-batas yang wajar. Sebuah kenakalan yang justru membuat Gus Dur istimewa.
"Ia menolak bersekolah karena hanya sekolah mengajarkannya tentang tata buku dan manajemen. Untuk apa belajar tatabuku. Toh, selama ini tanpa belajar manajemen pun pesantren mampu bertahan dalam usia ratusan tahun," katanya.
Untuk itu, Gus Dur kemudian memilih bacaan lain yang lebih menyita perhatiannya. Ketika teman seusianya belajar tentang kitab, ia menyendiri di pojok ruangan. Ia menyimak buku-buku Karl Max tentang perjuangan kelas dan novel The Old Man and The Sea.
"Ada yang menghampirinya. Man, kamu baca apa. Gus Dur menjawab, hadist. Kok hadist bahasa Inggris? Gus Dur menjawab singkat. Ini hadist Amerika," papar Sobary kembali memecah tawa.
Gus Dur lalu menjelaskan kepada rekannya yang bertanya itu, tentang pelajaran yang bisa dipetik dari novel yang dibacanya. Bahwa novel itu juga berisi tentang bagaimana Nelayan Tua menghargai pembantunya, menghormati tetangganya.
Di kesempatan lain, Gus Dur dari Krapyak, membawa buku-buku berbahasa Inggris karya Karl Max dan pemikiran-pemikiran kiri lainnya ke tempat Kiyai Khudori. Sang kiyai nyentrik ini sangat memahami Gus Dur. Ia menyiapkan rak agar buku-buku Gus Dur bisa tersimpan rapi.
Dalam perjalanannya, kepribadian dan sikap Gus Dur kemudian ikut terwarnai oleh Kiayai Khudori. "Kiyai Khudori adalah kiyai yang berani membela dan melindungi mereka yang dianggap sebagai PKI. Kepedulian terhadap kaum minoritas ini selanjutnya turut mewarnai Gus Dur," ujar Sobary.
Namun, dari sekian banyak nilai tentang Gus Dur, Sobary hanya menyebut dua sifat yang merupakan kata kunci untuk representasi Gus Dur. Kata itu adalah, ikhlas, berani, dan Adil. "Dalam tataran pribadi, Gus Dur itu tulus. Kalau pun ia menabrak norma, ia menabraknya dengan tulus," seloroh Kang Sobary disambut gelak tawa.
Berani adalah kata kunci berikutnya. Sobary mencontohkan saat Arswendo ditangkap karena tulisannya di Majalah Monitor, Gus Dur tampil paling depan membela Arswendo. Saat itu tidak ada satupun yang berani melawan tirani Orde Baru. Saat itulah, orang kemudian baru tahu, kalau Gus Dur adalah aset bangsa.
"Ia berani memperjuangkan apa yang diyakininya. Ia pembebas dari segenap keterbelengguan. Demokrasi terbelenggu. Media terbungkam. Minoritas tertindas. Gus Dur membebaskannya. Meski begitu, tidak perlu ada pengkultusan terhadap Gus Dur," papar Sobary.
Karena sepak terjangnya itu, Nahdlatul Ulama (NU) kemudian menjadi besar. Bahkan organisasi sebesar Muhamadiyah seperti tenggelam. Dalam bukunya, Sobary memasukan beberapa dimensi penting. Di antaranya tentang pendidikan dalam arti luas, wawasan kebangsaan, kebudayaan dan toleransi keagamaan, perlindungan kaum minoritas, dan sikap dan idealisme politik.
Buku Jejak Guru Bangsa: Mewarisi Kearifan Gus Dur, memiliki tebal 179 halaman, diterbitkan pertama kali oleh PT Gramedia Pustaka Utama anggota IKAPI Jakarta, 2010. Buku bisa diperoleh di Toko Buku Gramedia. Bedah buku sendiri diselenggarakan Nahdatul Ulama (NU) PC Kubu Raya, Gerakan Pemuda (GP) Ansor PC Kota Pontianak dan Center for Research and Inter-religious Dialogue (CRID).
Direktur CRID, Paulus Florus, menyebut kegiatan ini lahir dari diskusi ke diskusi yang digelar (CRID). "Nilai-nilai yang dikembangkan Gus Dur misalnya tentang demokrasi, perlindungan kaum minoritas, kami nilai menyentuh kondisi masyarakat Kalbar. Ke depan, kita akan terus sosialiasikan kearifan Gus Dur melalui dialog-dialog," kata Florus.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kalbar, Achmad Zaim, mengatakan dalam konteks Kalbar, pemikiran Gus Dur sangat relevan. Apalagi, kita baru saja menggelar Pilkada di beberapa kabupaten.
Ia mengajarkan etika dalam politik. Siap menerima kekalahan jika kemenangan yang diraih tidak melanggar aturan. Kalau melanggar proses hukum, Tapi, tanpa hasutan, saling benci, dan beritikad baik saling menghargai.
Praktik demokratisasi kemudian melahirkan pergeseran. Semua orang memiliki kesempatan sama, termasuk kaum minoritas. Merupakan sunatullah kita diciptakan berbeda. Etnis, agama, dan golongan. "Kalbar yang rawan konflik mestinya mengadopsi warisan Gus Dur, tulus, adil, berani, dan ikhlas," ujar Achmad Zaim.
Sementara Tokoh Tionghoa Kalbar, XF Asali, mengenal Gus Dur sebagai sosok yang lahir melebihi zamannya. Oleh karena itu pemikirannya kadang tidak bisa diterima orang banyak dan menjadi kontroversi. Ia sering melawan arus dan mendobrak norma kewajaran.
"Ia membela kaum minoritas dan membebaskan segala yang terbelenggu. Ia muncul dan mengaku ke publik memiliki garis keturunan Tionghoa bermarga Tan ketika warga Tionghoa sendiri malu mengakui identitasnya sebagai Tionghoa," ujarnya. (hsm)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar