Jumat, 02 April 2010

Mbah Lanang dan Sejarah Becak Siantar


Rambut dan kumisnya berwarna putih semua. Jalannya pun harus dibantu dengan tongkat. Namun, jika bicara semangat, dia tak kalah dengan biker mana pun. Namanya Kartiman, tetapi semua biker di Pematang Siantar mengenalnya sebagai Mbah Lanang.

Jika ingin mencari tahu sejarah becak siantar, becak bermesin sepeda motor BSA buatan Inggris tahun 1941-1956, Mbah Lanang adalah orang yang paling tepat untuk menceritakannya. Memang masih ada pionir becak Siantar yang masih hidup, seperti Muhammad Rohim (67). Ada juga Tikno dan Mbah Sari.

Mereka mengusai seluk-beluk mesin motor Birmingham Small Arms (BSA) produksi The Birmingham Small Arms Company. Merekalah orang pertama yang kreatif menjadikan sepeda motor tua peninggalan Perang Dunia II itu sebagai becak di Pematang Siantar, Sumatera Utara.

Akan tetapi, di tangan Mbah Lanang, catatan sejarah hingga foto-foto dokumentasi berbagai jenis serta modifikasi becak Siantar disimpan. Ia membuat catatan sederhana tentang perjalanan becak Siantar dari waktu ke waktu.

Dia juga mencatat beberapa bagian dari spare part atau suku cadang motor BSA yang sudah bisa buat sendiri oleh bengkel-bengkel dari industri rumahan di Pematang Siantar. Becak Siantar bisa sebanyak ini, sekarang tinggal sekitar 850 unit dan pernah mencapai 2.000 unit, dengan mayoritas BSA sebagai penariknya, adalah jasa orang-orang seperti Mbah Lanang.

Meski beberapa di antara motor BSA merupakan peninggalan pasukan sekutu, terutama dari Inggris saat mereka di Pematang Siantar, dan juga bekas milik pengusaha perkebunan dari Eropa, jumlahnya paling banyak hanya 200 unit.

Sebagian besar BSA justru didatangkan dari luar Kota Pematang Siantar oleh orang seperti Mbah Lanang. Kini, mengisi sisa hari-hari tuanya, Mbah Lanang didapuk sebagai sesepuh sekaligus Penasihat BSA Owner Motocycles Siantar (BOM'S), organisasi yang mewadahi ratusan pengemudi becak Siantar dan puluhan penggemar BSA di kota yang terletak 45 kilometer dari Danau Toba ini.

Setiap siang hingga sore menjelang senja, Mbah Lanang biasa berkumpul dengan bikers muda maupun pengemudi becak di Sekretariat BOM'S, Jalan Kartini, Pematang Siantar. Kakek 12 cucu ini dulunya hanya penjaga tempat penitipan sepeda di Pasar Horas, Pematang Siantar.

"Tahun 1962, saya kerja di tempat penitipan sepeda di Pajak Horas. Kerjanya menjaga agar jangan sampai ada sepeda yang masuk ke dalam pajak (pasar). Setiap pulang saya selalu naik becak dan minta ke penariknya agar saya yang bawa becaknya," kenang Mbah Lanang.

Dari kebiasaan itu, Mbah Lanang mulai belajar seluk-beluk motor BSA. Tak lama setelah menikahi Atom Saragih pada 1963, ia membeli sendiri becak Siantar. Saat itu, harga becak Siantar bermesin BSA tipe ZB31 (350 cc) hanya Rp 220 ribu. "Kalau disesuaikan dengan emas, harga sebesar itu sama dengan harga emas 12 mayam," ujarnya.

Baru satu tahun dibeli, becak tersebut kemudian dijualnya. Namun, Mbah Lanang tetap menarik becak. Hanya, kali ini dia menarik becak punya orang lain. "Dalam waktu dua tahun saya sudah bisa beli becak sendiri lagi," imbuhnya.

Pengalaman jual-beli becak kemudian membawa Mbah Lanang pada profesi baru sebagai penjual becak Siantar. Apalagi saat itu jual beli becak Siantar tengah booming. Pekerjaan sebagai pengemudi becak Siantar masih sangat menjanjikan.

Berbekal pengalamannya itu, dia berani mencari motor BSA hingga ke seluruh pelosok Sumut. "Mulainya di Pematang Siantar, setelah enggak ada lagi, saya mulai cari ke kota-kota lain di Sumatera Utara. Setelah di Sumatera Utara enggak ada lagi, saya cari hingga ke provinsi lain, tetapi masih di Sumatera. Baru setelah di Sumatera sudah kehabisan, saya mencari di Pulau Jawa," tutur kakaek kelahiran Pematang Siantar, 1 Februari 1941, ini.

Sejak 1980-an, Mbah Lanang mulai mencari motor BSA hingga ke pelosok kota-kota di Pulau Jawa dan Bali. "Saya datangi kota di Jawa, mulai dari Ngawi, Kediri, Surabaya, malah sampai ke Bali. Sekali berangkat paling banyak saya dapat tiga unit dan langsung dibawa ke Pematang Siantar," katanya.

Menurut Mbah Lanang, di kota-kota Pulau Jawa waktu itu dia sering menemukan kondisi motor BSA teronggok begitu saja tanpa perawatan. "Banyak yang diletakkan di kandang ayam dan tak terurus," ucapnya.

Dengan menggunakan transportasi darat naik bus Antarlintas Sumatera (ALS), motor BSA itu dipereteli sebelum dibawa ke Pematang Siantar. Selain jalur darat, terkadang Mbah Lanang mengangkutnya melalui jalur laut dengan KM Tampomas, yang telah tenggelam di perairan Masalembo pada 1981.

Kegiatan jual-beli sepeda motor BSA dilakukan Mbah Lanang hingga era 1990-an. Dia pun tetap setia menarik becak saat tak sedang mencari motor BSA untuk dibeli. Ketika jumlah motor BSA yang dijadikan becak di Pematang Siantar mencapai puncaknya, sampai ada 2.000 unit, terjadilah titik balik.

Belakangan ini justru banyak orang luar yang meminati sepeda motor BSA yang telah dijadikan becak di Pematang Siantar. "Kolektor sepeda motor tua membelinya dengan harga Rp 10 juta hingga Rp 17 juta. Saat jumlah BSA mulai berkurang, baru orang sadar kalau dibiarkan terus bisa tidak ada lagi yang tersisa di Pematang Siantar," ujar ayah empat anak ini.

Kini, bersama para pengemudi becak Siantar dan bikers yang tergabung dalam BOM'S, Mbah Lanang gigih mengampanyekan kelestarian becak Siantar. Dia pun berada paling depan saat Pemerintah Kota Pematang Siantar dan DPRD setempat merancang perda peremajaan becak motor pada 2006.

Dengan perda tersebut, memungkinkan sepeda motor baru buatan Jepang atau China menjadi penarik becak di Pematang Siantar. Sesuatu yang selama ini eksklusif untuk sepeda motor tua, seperti BSA. “Padahal, di dunia ini, sepeda motor merek BSA yang masih tegar menjelajah jalanan hanya ada di Siantar. Biarlah, kalaupun becak siantar ini harus mati, matilah dengan alami. Bukan punah karena perda," ujarnya.

Disadur dari http://www.boms-bikers.com

1 komentar:

志其 mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.